CakNun.com

Jabal Musa: 2750 Trap Curam Menuju Tangis

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 6 menit

Kalau tidak karena ada Nabi Musa di puncak sana, tak maulah capek-capek naik ke Gunung Katerina alias Jabal Musa. Dari pos berhentinya bis menuju awal pendakian gunung yang pertama saja mending jalan kaki Jombang-Surabaya. Setelah itu harus mendaki jalan naik rata-rata 30 derajat, berkelok-kelok, melintir-melintir seperti menelusuri badan ular raksasa yang amat sangat panjang—ular raksasa yang meliliti dua gunung.

Jalanan sangat kering, debu dan batu-batu. Mungkin ada satu dua helai rumput berwarna coklat kering, tapi jangan bayangkan ada warna hijau, jangan berharap ada satu tanaman atau apalagi pepohonan yang rimbun sebagaimana gunung-gunung di tanah air.

Udara sangat dingin, angin berhembus menusuk-nusuk tulang. Semakin ke atas semakin deras angin menyerbu. Semakin ke atas semakin mendekati titik beku—sekitar 2 atau 3 derajat Celcius. Siapakah rombongan gila yang mendaki gunung Musa di musim dingin ini? Apakah mereka pendaki-pendaki gunung yang berpengalaman? Kenapa tidak menunggu musim panas, agar badan tidak membeku? Apakah mereka berpakaian rangkap 18? Apakah mereka menyangka angin Firaun tidak mampu menembus 18 lapisan kain tebal? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka kepanasan di Cengkareng?

Di ujung ekor sang ular di leher gunung yang kedua, tiba-tiba, sesudah ada lorong panjang yang membelah batu-batu raksasa–terdapat jalanan yang menurun. Semua warga KiaiKanjeng bersorak-sorak! Sesudah pendakian sangat panjang yang sangat melelahkan dan mencopot dengkul–kini jalanan sudah menurun, berarti inilah puncaknya!

Mereka menghentikan langkah, duduk di batu-batu sekenanya, atau menyandarkan punggung, Yudi bahkan langsung melingkar, tidur, dan mengorok. Di beberapa bagian jalanan, ketika rombongan beristirahat–Yudi punya keahlian sendiri: ada beberapa menit istirahat ia gunakan untuk mengorok. Luar biasa bahagia hidupnya.

Tapi ternyata rombongan itu GR. Di ujung jalanan yang sedikit menurun itu tampak samar-samar ada jalanan batu-batu sangat curam yang menaik sampai ke langit…

Rombongan masih harus mendaki gunung ketiga, gunung yang sebenarnya. Kaki mereka yang rasanya bukan hanya sangat pegal-pegal tapi juga rasanya sudah tidak ada kaki–masih harus mendaki trap-trap batu curam 60 derajat ke atas sebanyak 2750 trap. Mampus mampuslah mampus. Almampusu malmampusu wama adroka malmampus… ini benar-benar kal-ihnil manfuuuusss….

Kalau sesudah mendaki dua gunung lantas di 2750 trap ini Anda sanggup menapak naik langsung sampai 20 langkah tanpa berhenti, berarti Anda belum punya penyakit dalam dan kaki Anda masih bisa dipakai untuk pertandingan sepakbola. Kalau Anda keberatan perut, jantung tidak fresh, atau ada suatu penyakit dalam tubuh–berhentilah sebelum naik trap, cari onta dan suruh dia mengantarkan Anda turun ke bumi.

Kalau 10 langkah berhenti 10 langkah berhenti masih bisa, cobalah mendaki sampai tuntas. Saya dirahmati Allah karena berjalan bersama Ustadz Jamal dari Departemen Kebudayaan Mesir, yang badannya besar dan agak gemuk sehingga sangat kecapekan dan sangat lamban mendaki. Bersama kami juga ada Ustadz Muhammad Nursamad Kamba, Atdikbud KBRI yang juga selemah saya. Tidak tega saya meninggalkannya. Nanti pasti saya akan kalah duluan sampainya ke puncak–dan saya punya alasan: “Aduh saya tidak tega sama Ustadz Jamal….”. Padahal saya bersyukur mendaki bersamanya, karena kalau beberapa langkah beliau berhenti, saya juga bersyukur punya alasan yang indah untuk berhenti. Seakan-akan saya toleran kepadanya, padahal saya memang benar-benar capek.

Mbak Via bahkan termasuk juara pertama bersama Bobiet, Cak Fuad dan Irfan. Para juara ini menempuh perjalanan sekitar 4,5 jam, sempat shalat subuh di puncak, sementara lainnya ada yang 5 jam ada yang 5,5 jam.

Bayu dan Jijit tidak ikut mendaki karena dalam keadaan sakit. Nia, Yuli dan Roh, juga mengambil keputusan yang arif: tidur di penginapan, sebab kalau sampai putri-putri ini ikut naik, lantas resikonya harus digotong pulang dari atas gunung–siapa yang akan kuat menuruni gunung seram dan medan sangat berat itu dengan menggendong orang lain?

Yang mengagumkan adalah bahwa SP Joko dan Islamiyanto sanggup menuntaskan perjuangan sampai puncak. Sebagaimana Yudi, Islami juga banyak menyempatkan diri untuk tidur di pos-pos peristirahatan. SP Joko ternyata diberi tenaga oleh Allah melalui calon anaknya: “Hari ini adalah HPL kelahiran anak saya, sehingga saya berniat tirakat sampai tuntas demi anak saya….”

Rahmat sempat naik onta di gunung pertama dan kedua. Semula ia memang berniat tidak berangkat, tapi setengah saya paksa untuk pergi dari penginapan. Di leher gunung kedua ia juga sudah memutuskan untuk tidak meneruskan, tapi saya paksa dan saya pelototi. Akhirnya ia sukses sampai ke puncak, dan bahkan turunnya berlari menuruni tiga gunung.

Nevi merasa jari-jarinya lenyap karena berani-beraninya tidak pakai sarung tangan. Joko Kamto berwirid sepanjang pendakian “YaaHu YaaHu Yaahu...” dan tercapai. Giyanto dan Ardani terbiasa hidup keras di desanya. Yoyok dan semua teman lainnya tidak pernah kehabisan alasan untuk ndagel dan mengejek diri mereka sendiri sehingga lulus dengan penuh kegembiraan.

Pakde suntuk khusyuk menghayati sesuatu di dalam dirinya dan hanya ia yang tahu kenapa untuk menaklukkan sesuatu itu ia mendaki tiga gunung tanpa memakai sepatu atau sendal melainkan hanya pakai kaos kaki. Dan, tentu saja, Pakde, gelandang kesebelasan MAS ini lulus dengan mulus.

Bobiet menjadi salah satu juara karena sejak di Jogja dia sudah mematerikan niat bulat istiqamah total bahwa ke manapun KiaiKanjeng pergi ia mewajibkan dirinya untuk berdiri di depan dan tidak akan membiarkan dirinya berputus apa oleh apapun juga.

Cak Fuad punya metode sendiri. Ia sangat stabil berjalan naik dan berjalan turun. Konstan, tidak ada keluhan, tidak tersendat-sendat. Rupanya diam-diam ia mempraktekkan bahwa ketika naik 2750 trap curam itu kalau berjalan miring ternyata lebih ringan dan tidak sangat kelelahan. Di puncak Jabal Musa Cak Fuad mewawancarai penjual wedangan… Bagaimana orang ini kok jualan teh kopi di puncak gunung? Kita membawa badan kosongan saja mau mati rasanya, lha dia membawa semua peralatan warungnya ke sini bagaimana caranya?

“Bapak ini bukan hanya seorang penjual minuman. Dia mengerti sejarah, hapal ayat-ayat dan memiliki logika berpikir yang tidak kalah dibanding profesor-profesor ilmu Agama di Indonesia. Dua minggu dia jualan di atas, dua minggu ia bersama keluarganya di bawah sana…”

Yang Cak Fuad tidak mengerti adalah Mbak Via itu mendaki demikian beratnya, bawa kamera, dan sepanjang pendakian terus omong bercerita-cerita dan melucu. Padahal omong satu kalimat saja irama napas akan terganggu karena sepanjang 5 jam itu kami semua dalam keadaan tersengal-sengal.

Dan ketika kami maiyahan di Musholla, setapak di atas tempat Nabi Musa AS bertapa melakukan uzlah 40 hari–Mbak Via untuk pertama kalinya berbicara agak panjang. Sambil menangis mengguguk-guguk, dan memang semua yang berbicara pagi itu di puncak Jabal Musa, tak seorang pun yang tak menangis. Mbak Via menyatakan rasa syukur kepada Allah bahwa delapan tahun terakhir dalam hidupnya ini Allah menganugerahkan pengalaman, nilai-nilai, kebahagiaan dan segala sesuatu yang luar biasa nikmatnya–yang tak mungkin ia dapatkan jika ia menjadi artis di Jakarta.

Memang demikian pulalah yang diperoleh oleh KiaiKanjeng–pengalaman-pengalaman sosial, spiritual, kultural, yang luar biasa, yang sangat luas skalanya, yang sangat multi-dimensional. Tidak sebagaimana layaknya grup musik. Jangankan ketika di Indonesia: maiyahan dan main musik di pinggir hutan bersama blandong-blandong, di Dolly tempat pelacuran terbesar se-Asia Tenggara, di hotel-hotel mewah, di gedung-gedung tinggi, di kalangan jetset, di desa-desa terpencil, di kampung-kampung kumuh di mana tempat sampah disulap menjadi panggung, di tambak ikan, di perahu antar pulau, di pesawat, di gunung-gunung, bersama pejabat dan tukang becak, bersama pengusaha dan preman-preman…..

Bahkan selama di Mesir, KiaiKanjeng berjumpa dengan penonton umum di Cairo, pelajar-pelajar dari TK sampai universitas di Ismailia, para VIP di Alexandria, mengiringi penyanyi-penyanyi di Al-Fayoum, outdoor bersama Ibu-Ibu di Tanta, segala macam segmen masyarakat. KiaiKanjeng maiyahan di perahu sungai Nil, di sisi piramid-piramid dan spinx, di Istana Faruq, di pasar, di jalanan-jalanan, jangankan lagi di Masjid maqam Imam Syafii, Imam Badawi, Imam Busyiri, Imam Husein….

Di puncak Musa itu rasanya seperti Mi’raj. Kalau mendaki Semeru atau Merapi, ada siapa di atas sana? Di sinilah Musa mengambil jarak dari kaumnya yang bikin pusing, yang ia titipkan pada Harun, tapi kemudian dikhianati oleh Samiri. Di sisi tembok batu itulah Musa bersemedi. Allah membentaknya dengan meledakkan gunung sampai beliau pingsan–tampak benar bekas ledakan itu: gunung-gunung anakan, yang bentuk dan tekstur bebatuannya seperti cair, karena dulunya adalah lava-lava atau seperti bulatan-bulatan lendir raksasa…

Kemudian Musa turun dari puncak ini, kemudian berjalan sekitar 1300 km mencari Khidlir…..

Ketika sekitar pukul 9 pagi, usai maiyahan, kami turun–ya Rabb, tampak betapa jauhnya kami di atas. Memandang ke bawah, gigir-gigir batu, trap-trap jauh jauh jauh ke bawah, dan ini baru satu gunung. Tentu saja kami melangkah turun dengan penuh kegembiraan, tapi siapapun yang punya kecerdasan segera tahu bahwa perjalanan turun ini juga bukan perjuangan yang ringan.

Turun dari trap ke trap, kemudian masih melingkar-lingkar meliuk-liuk di dua gunung berikutnya. Dan ketika sudah menyelesaikan tiga gunung, ternyata ularnya masih sangat panjang dan tampak dari kejauhan. Ya Allah, kaki kami harus melangkah sekian ribu kali lagi menuju ke planet Mars nun jauh di sana itu…

Dan ketika kami menoleh ke atas, kami hampir pingsan: Bagaimana mungkin kita tadi sampai di atas sana? Memandang ketinggian gunung pertama saja sudah awang-awangen, padahal Jabal Musa yang bertrap-trap itu tak kelihatan dari kerendahan di balik gunung yang pertama. Ya Allah, kalau kami mendaki di siang hari, dan sambil berjalan tampak betapa tinggi dan jauh yang harus kami tempuh….demi Allah kami akan dipenuhi oleh rasa putus asa. Ya Allah, jika tadi malam mata kami bisa melihat ke atas sana, tak mungkin kami sanggup menempuhnya…kami hanya akan titip salam untuk Nabi Musa.

Ya Allah kami bisa sampai di puncak Gunung Kalimullah-Mu hanya dengan dua dorongan. Pertama, kerinduan untuk duduk di tempat uzlahnya Musa AS. Kedua, ketidaktahuan bahwa ternyata tempatnya begitu jauh dan medannya begitu berat.

Ya Allah kami bisa bertahan untuk meneruskan mendaki, pertama karena semangat spiritual. Kedua, karena alhamdulillah ada warung-warung minuman di sejumlah pos, ada rokok dan banyak teman. Itupun jalanan yang kami tempuh sudah ditata rapi. Sedangkan Musa-Mu naik mencari jalan sendiri, tanpa warung, tanpa rokok, hanya berbekal iman dan kerinduan kepadaMu… kerinduan kepadaMu…[]

Yogya, 14 Juni 2007

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version