CakNun.com

Ingat Mati Supaya Ingat Engkau Abadi

Reportase Sinau Bareng CNKK dan Sabrang, Yogyakarta, 28 Juli 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

Senada dengan itu, Mas Sabrang membabarkan soal finite war dan infinite war. Mereka yang petarung sejati tentu tahu cara merawat berlangsungya battle, sehingga mereka akan menyayangi sungguh-sungguh sparring partner-nya. Sparring partner kita, mungkinkah kehidupan itu sendiri? Mbah Nun juga memberi masukan bahwa orang perlu menetapkan standar dari dirinya sendiri, bukan mengadopsi standar yang lain. Ketika NKRI berdiri dengan bentuk nation-state-nya ini, maka sudah total lah sebenarnya kita menyerahkan standar kemajuan dan kemunduran dari budaya yang bukan kita.

Kita perlu menemukan standar kita sendiri, bisa saja cocok dengan yang itu bisa saja tidak. “Telkom ini kan urusannya sangat akhirat, karena menyambung silaturahim manusia.” Kita sering mendengar pernyataan bahwa era ini adalah era inforemasi. Tapi ini diberi pertanyaan oleh Mbah Nun bahwa kalau memang teknologi informasi sudah berkembang, bukankah semestinya produknya adalah manusia saling lita’arofu satu sama lain? Saling mengerti dan saling memberi ruang pada yang berbeda? Tapi kenapa justru yang terjadi adalah berkebalikan?

Kenapa justru fitnahan, hoax, gelembung pencitraan, rekayasa informasi serta kabar palsu berseliweran? Mudah saja kalau sekadar berkata bahwa itu memang persoalan manusianya, tapi kenapa? Toh di semua kubu yang saling bertikai belakangan ini, entah pro NKRI maupun anti, pro wahabi maupun anti wahabi, pro capres ini lawan pembenci capres sana dan sebagainya, ada saja orang-orang yang memproduksi disinformasi-disinformasi begini. Maka di sini kita juga perlu menetapkan standar sendiri mengenai silaturahim, pola teknologi komunikasi seperti bagaimana yang kita cocok kedepankan?

Mbah Nun memberi contoh dari shalawat Thola’al Badru dan Shalawat Nariyah, kemungkinan adalah kidung shalawat paling tua yang dikenal. Dari dua ini, “Bahwa ada hal-hal yang tampak sederhana namun punya stamina maraton sangat jauh hingga berabad-abad, sedangkan ada hal-hal seperti sekarang ini yang tampak canggih, gemerlapan tapi akan hilang dalam arus zaman.”

Nusantara rasanya masih akan terkenang jauh, walau sekarang juga didangkal-dangkalakan. Tapi NKRI, tampaknya tidak punya kualitas untuk dikenang hingga seabad lagi. Mungkin kelak hanya akan terdengar bahwa pernah ada Negara bernama itu, yang entah apa kontribusinya. Kita tidak boleh seperti itu. “NKRI ini bahkan tidak mengerti bedanya pemerintah dengan Negara.” PT Telkom kita tahu statusnya BUMN, Badan Usaha Milik Negara tapi, “Kok tanggung jawabnya ke kementerian, kok ada menteri BUMN?” Padahal nanti menteri berada di bawah presiden atau pemerintah. Jadi, mana pemerintah dan mana Negara? Wajar kalau dengan kesadaran macam ini, orang mengira kalau presiden dihina berarti negaranya dihina. Padahal, menertawakan keduanya sebenarnya tidak apa-apa juga. Artinya, pada hal-hal yang sederhana kita banyak sekali luput. Masihkah kita punya stamina maraton untuk berpikir jangkep, detail, dan mengelaborasi segala data dan temuan?

Hal-hal yang punya stamina maraton itu macam apa? Nah, itulah kemudian bapak-bapak ini diajak mengalaminya sendiri. Mas Doni, Pak Jijit, Pak Joko SP dan Pak Nevi mengajak mereka bermain “Lepetan” dan “Jamuran”. Tawa-tawa ceria bergema, ternyata hidup sangat luas. Kita saja yang terlanjur dikungkung oleh batasan imajiner yang merasuk dalam diri kita. Ingatlah terus bahwa kita akan mati. Dan ingatlah bahwa kematian hanyalah pembatas satu lingkaran maraton menuju maraton-maraton lain.

Sesekali memacu jantung dan paru-paru untuk sprint, sekolah, berkarier, mengejar jabatan bolehlah. Sekadar menjaga kemudaan sel-sel tubuh atau mengerti batas kemampuan. Tapi jangan kehabisan nafas karena perjalanan masih panjang dan abadi.

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta