CakNun.com

Ingat Mati Supaya Ingat Engkau Abadi

Reportase Sinau Bareng CNKK dan Sabrang, Yogyakarta, 28 Juli 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

Di sebelah café, hamparan lapangan golf malam hari, beberapa obor dipasang sekadar menambah kesan etnik seperti juga para hadirin yang berjumlah sekitar 150-an orang (terdaftar 200) beserta keluarga. Kebanyakan yang pria mengenakan sorjan. Dibeli barusan nampaknya, mungkin oleh panitia, melihat cap kertas dibagian belakang yang rata-rata belum lepas dengan utuh. Butuh dua-tiga kali dicuci baru stempel kertas itu bersih setahu saya. Lokasi dan penanda ini memang penegasan kelas ekonomi mereka. Kami sudah mapan, kami tidak akan melupakan kebudayaan kami dan tetap religius. Mungkin itu pesan di balik simbol-simbol itu. Namun apakah agama? Apakah Nusantara? Yang selama ini dipahami, kemudian di-gathuk-kan serampangan pula belakangan ini?

Kita juga perlu mengingat bahwa ajakan kemesraan dan memesrai kehidupan di Maiyah tidak melulu untuk orang-orang seperti kita yang, yang… yaah… Begitulah. Sinau Bareng ini memang bareng semuanya, segala lapis dan kelas. Dan tidak ada yang berubah juga dari pola kemesraan Mbah Nun, KiaiKanjeng serta Mas Sabrang malam itu. Tetap gojek kere dan membersamai kebahagiaan serta tentu saja ilmu-ilmu keluasan hidup.

Manusia sekarang banyak stres karena agak sempit dan dangkal saja memandang hidup. Apalagi manusia Nusantara ini. Coba sisi keliarannya dibuka sedikit dan saksikan betapa dahsyat-dahsyat sebenarnya mereka punya ide. Maka itu, Islam dan Nusantara jangan dijinakkan, karena itu berarti menghambat kesempatan peradaban manusia menjadi lebih progresif.

Dien tidak selalu seperti agama yang kita pahami, dan Nusantara tidak melulu yang kita tahu saja. Setiap orang berhak merasa Islam dan merasa Nusantara tanpa mesti tergabung pada kubu-kubu berdasar kesetujuan dan ketidaksetujuan wacana istilah Islam Nusantara. Nusantara masa anti wahabi? Wahabi bisa anti Nusantara karena memang segitu maqom kesadarannya. Tapi masa Nusantara disepantarkan dengan kesadaran kubu “setuju vs tidak setuju” seperti ini?

Mbah Nun memberi analogi, bahwa air karena sifatnya yang cair tidak bisa dipecah. Dia hanya bisa diremukkan dan dipecahkan ketika sudah dibekukan dingin menjadi es. Ini bukan sedang bahas wacana dan istilah tanpa substansi Islam Nusantara, bukan. “Kita sedang mengalami pembekuan dan pemecahan-pemecahan, maka kita perlu lebih cair satu sama lain,” ujar Mbah Nun. Karena, “Tugas kita pertama bukan mencari ridlo Allah, tapi ridlo terhadap apapun yang Allah kehendaki, ridlo terhadap Allah. Nanti produknya maka Allah menjadi ridhlo dengan kita.” Segala hal saling berdialektika, bukan ditaut-tautkan serampangan namanya tapi substansinya semakin melempem. “Yang cair, yang mesra sama Allah.” Bukankah supaya sedikit cair, kita perlu kehangatan? Bukan hati yang dingin satu sama lain.

Mbah Nun mengingatkan, “Anda ini hidup sprint atau maraton? Itu dipikirkan, karena tentu beda strateginya.” Oleh Mas Sabrang juga ditambah elaborasi soal finite battle dan infinite battle, pertempuran terbatas atau pertempuran tiada habisnya? Avengers Infinity Wars baru saja booming di bioskop sebulan lalu, tapi bukan itu sepertinya. Hidup diibaratkan kita sedang berlari. Kalau sprint tentu jarak pendek yang perlu lonjakan revolusioner di awal dan terus memacu hingga ke finish. Namun bila matraton, jangka panjang, stamina memegang peran penting. Tak jarang yang saat start santai-santai malah bisa melambung ketika menjelang akhir putaran. “Ada hal-hal yang memang kita perlu sprint, sekolah, karier dan sebagainya. Tapi juga jangan dilupakan bahwa kita berada pada hidup yang maraton.” Bahkan dengan garis finish yang kita tidak mungkin mengetahuinya sekarang, jadi stamina dijaga. Stamina apa? Tentu stamina akan keluasan, radikalisme, keliaran, kehangatan, kemesraan, kreativitas mengolah persoalan.

Pada pola pendidikan formal yang berkiblat industri, orang diyakinkan bahwa usia muda adalah usia pencarian jati diri. Lalu kemudian usia produktif adalah kesempatan mengembangkan diri. Beberapa kali pola ini justru sedikit dirombak, bahkan mungkin dibalik oleh Mbah Nun. Bahwa yang namanya mencari itu ya terus tak ada habisnya. Toh yang dimaksud mencari jati diri dalam pola didik industri mcam itu juga bukan jati diri, melainkan berdasar takaran (lagi-lagi) industri.

Kalau kita ingat, pada Sinau Bareng di KPU Surabaya misalnya, Mbah Nun menyarankan seorang pemuda agar ‘mempuasai’ radikalnya dan terus tumbuh agar makin tua makin radikal dan revolusioner. Beda dengan kebanyakan pola didik di mana orang disuruh liar saat muda dan makin tua makin jinak. Mainstream-nya, orang muda liar nalarnya dan makin tua makin nasawuf dan nyufi. Kenapa tidak saat muda nyufi, semakin tua justru semakin memberontak? Kenapa tidak begitu? Jadi kaffah tantangannya, kalau sudah tua nyufi dan penuh puasa, lantas apanya yang dipuasain? Wong hasratnya memang sudah makin terkikis. Jangan-jangan kita itu hanya terlalu sering baca novel dan film silat di mana guru-gurunya selalu orang tua bijak bestari petapa makrifat sih.

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta