Indonesia Wallahu A’lam Bish-showab
Shalawat melantun, Mbah Nun dipersilakan menempati panggung. Tradisi shalawatan untuk menyambut orang yang dihormati, kerap ditemui di pondok-pondok pesantren. Fadil sering manyaksikannya dan menyimpulkan sepihak bahwa ini adalah mekanisme otokritik. Shalawat dilantunkan, agar sang kiai, guru, mursyid, selalu ingat bahwa bagaimanapun dimuliakan dirinya oleh para pencari ilmu, namun manusia yang sungguh-sungguh mulia adalah tetap Kanjeng Rasulullah Saw.
Fadil sempat mau menghubung-hubungkan hal ini dengan tradisi Romawi, dimana jenderal yang pulang dengan membawa kemenangan penaklukkan, pada rombongan iringannya akan ada seorang budak yang berjalan di belakang sang jenderal. Tugas budak itu sepanjang jalan meneriakkan kalimat “Memento mori”. Ingat, ingatlah mati. Ini dimaksudkan agar sang jenderal tidak takabbur dengan kemenangannya.
Sepeninggal Khulafaur Rasyidin, Romawi memang sudah runtuh berkeping-keping. Namun justru glepungan peradaban itulah yang kemudian merasuk ke cita rasa dan tolok ukur. Sehingga kekhalifahan (kalau mau disebut begitu) mulai menyerap cita rasa kemegahan. Itu juga mengapa ratusan tahun sistem pengajaran ilmu podium, dengan satu sumber ilmu bertutur-tutur pada khalayak, mendominasi dalam nafas pengajaran Islam pasca Khulafaur Rasyidin.
Penyebar Islam angkatan awal di Nusantara, bisa kita sebut secara tidak sadar masih mengantongi serpihan selera Romawi itu di balik jubah mereka. Hingga baru pada era Sunan Kalijaga, serpihan Romawi mulai dipilah secara rasional dan dikhalifahi. Sanad budaya, nasab peradaban. Setiap capaian budaya manusia, toh adalah capaian maksimal pada masanya. Banyak baiknya, tinggal dipilah kecocokannya, itulah seni pencomblangan budaya.
Mbah Nun ringan saja naik panggung dan ringan serta merta mengajak jamaah untuk mengajukan pertanyaan untuk Indonesia. Awalnya tak ada pertanyaan yang terlontar, Mbah Nun mengujar, “Bagaimana kau akan menemukan jawaban bila kau tidak bisa menemukan pertanyaan yang tepat?”. Atau begitulah kalimat beliau seingat Fadil yang kopinya sudah dingin itu.
Suasana sontak mencair. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan. Nuansa podium, berubah menjadi suasana melingkar di mana semua orang berhak bicara, berhak bertanya. Inilah tantangan sistem komunikasi lingkaran, sang pembicara harus siap dengan kondisi tak diduga. Lontaran pertanyaan yang entah apa, olah rasio pembicara di sistem lingkar harus terus diolah. Dan itulah yang ditunjukkan Mbah Nun malam itu. Setiap pertanyaan, langsung detik itu juga dibacakan jawaban dari ayat Al-Qur`an. Tanya jawab terjadi beberapa kali, Mbah Nun melenting dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain, satu ayat kepada ayat kemudian. Hingga berujung “Indonesia, wallahu a’lam bish-shawab”.
Mbah Nun seperti menunjukkan bahwa Al-Qur`an sebagai kitab telah lengkap. Dari pemetaan hingga solusi persoalan dapat ditemukan di situ, namun manusia menjauh dari Al-Qur`an sehingga merasa butuh alat-alat tambahan. Ustadz Hasan dan Habib Ahmad pun terlibat dalam kebahagiaan lingkaran ini.
Fadil yang mulai bisa menajamkan konsentrasi kemudian larut dalam suasana Maiyah. Isi ilmu dari bahasan memang bisa disaksikan pada rekaman-rekaman video. Namun beberapa hal tidak bisa ditangkap oleh kamera. Fadil itu, sambil ngopi (kopinya yang tadi sudah habis, jadi tambah pesan satu cangkir lagi) memerhatikan Mang Mul yang tercengang mendekari akhir acara (“Ini ampe jam tiga beneran? Edaaann euy…” tentu konotasi kalimatnya positif).
Suara cicak di dinding, sapaan-sapaan antar jamaah, Mas Ihsan dari Likuran mengajak istri barunya, maaf, maksudnya dia pengantin baru. Ada juga Mas Bayu yang mengantar undangan hajatan nikahannya dengan Mbak Viha, tanggal 28 nanti di Surabaya (congratz yaaa).
Ada antrian tertib di WC yang kemudian rata-rata setelah menunaikan seruan alam natural di bilik air lantas berwudhu untuk lanjut kembali menyerap hikmah bersama (kebiasaan jamaah nerwudhu di Maiyah belum Fadil temukan muasalnya, karena rasanya tidak pernah ada instruksi demikian, tapi positif tentu saja).
Menjelang akhir acara, Mbah Nun pun juga kemudian menampakkan sisi yang berbeda. Suasana lingkaran yang cair kemudian berganti khusyuk ketika Mbah Nun mengubah teknik komunikasi menjadi pembicara podium, orator. Dua sistem besar capaian peradaban komunikasi dunia, malam itu menemukan panggonane.
Puisi Pak Mustofa W Hasyim menjadi peremuk kebekuan, dan Kiai Muzammil menyusul dengan orasi “anarkisme Madura”. “Selama kita merasa Jokowi-Prabowo, atau Anis-Ahok, atau semua politisi itu penting, maka kita tidak akan berhenti bertikai. Ada pemerintah ini malah merepotkan”, begitu kira-kira Kiai Muzammil.
Fadil yang punya darah anarkisme Bugis, hampir berjingkrak tepuk tangan bersuit-suit mendengar tuturan Kiai Muzammil, tapi saya cegah. Fadil pun larut dalan suasana. Menyatu, menyatu pada tawa dan hawa, pada gelombang dan getar dan alir dan kemesraan dan embun dan kebahagiaan dan segala yang tak tampak dan tak terumuskan oleh kata. Hingga akhirnya, Fadil menyatu dengan yang menuliskan reportase ini. (MZ Fadil)