Indonesia Wallahu A’lam Bish-showab
Menengahi Sistem Agama Podium dan Lingkaran
Fadil, Mas Angga dan Gus Niam telah rampung tugasnya di atas panggung. Fadil kembali ke tempatnya semula di warung langganan. Mang Mulyana masih di situ juga.
Tak berapa lama, Mas Helmi selaku Redaktur Maiyah naik ke panggung membersamai dua tamu malam itu yakni Ustadz Hasan Dalil dan Habib Ahmad Barakba.
Setelah Mas Helmi dengan singkat lugas memperkenalkan keduanya. Dipersilahkan lah beliau berdua menugutarakan apa-apa yang perlu diutarakan. Majelis kemesraan dan ilmu di Maiyah memang selalu adalah penerimaan terhadap berbagai fenomena.
Baik Ustadz Hasan yang memang sejak awal gerakan sholawatan CNKK sangat men-support Mbah Nun, dan Habib Ahmad Barakba menampakkan fenomena yang lain dari biasanya malam itu. Beliau berdua membawa nuansa yang disebut “agama podium”. Yang menyebut begitu sih Fadil, belum terbukti secara ilmiah, dia emang gitu orangnya. Mocopat Syafaat kali itu terasa seperti acara tausiyah.
Fadil sempat tidak nyaman. “Kok sekalinya Mang Mul ke sini malah kayak tausiyah ya?”, katanya pada Mang Mul. Jawaban Mang Mul singkat, namun melahirkan introspeksi mendalam pada si Fadil, “Gak papa, aku mah emang butuhnya yang begini”.
Fadil langsung sadar, ada hak apa dia mendikte-dikte Maiyah harus begini atau begitu? Mang Mul yang menurut ceritanya kerap dengan pergaulan seniman yang hedon hura-hura, ternyata mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Fadil sendiri tersadar, bahwa dia baru saja bersikap keminter. Penelusuran pelajaran sejarah otodidaknya membawanya pada kesimpulan bahwa Rasulullah Saw membangun sistem komunikasi lingkaran, bukan podium. Tapi detik itu juga Fadil sadar bahwa Islam juga rupanya tidak anti kepada sistem Podium yang lebih banyak dipopulerkan oleh kemegahan Romawi.
Memang Rasulullah Saw dalam keseharian lebih banyak memakai lingkaran. Secara psikologis ini memungkinkan untuk misal dalam kitab hadits Bukhari, dikisahkan sahabat-sahabat perempuan menanyakan perihal yang sangat pribadi, dari urusan rumah tangga sampai soal penyakit keperempuanan. Sulit membayangkan hal itu terjadi bila memakai sistem podium.
Namun jejak podium juga ada, khutbah jum’at misalnya. Dalam khutbah jum’at jelas podium. Komunikasi satu arah. Setidak setuju apapun jamaah terhadap isi khutbah, tidak boleh ada suara sedikit pun. Kalau ternyata khatibnya tidak kompeten (misal mengutip lirik lagunya Queen tapi disebut sebagai ayat Al-Qur`an), maka sistem pemilihan khatib lah yang nanti perlu memperbaiki diri. Tapi ketika khatib berbicara, kudu diam. Tak ada interupsi. Bukan saatnya berdemokrasi saat itu.
Jadi bila ini ada dalam Islam, wajiblah kita mengambil hikmahnya. Ternyata memang sistem podium adalah wahana penggemblengan batin jamaah. Kesabaran diuji. Ketangguhan dan konsentrasi pikiran pertapa dibutuhkan. Kekurangannya adalah, dia tidak dialektis. Sehingga kerap terjadi persoalan yang dibahas tidak ngeklik dengan kahanan konkret pendengarnya. Tapi itu juga tidak terjadi saat Ustadz Hasan dan Habib Ahmad menguraikan tausiyah.
Islam itu wasith-wustha, di tengah. Hal-hal baik dari sistem podium diambil dan kemudian diseimbangkan dengan majelis-majelis melingkar yang juga tentu punya kelebihan dan kekurangan. Kalau sudah dinikahkan, maka kelebihan dan kekurangan dari dua yang berlainan, akan saling menutupi. Maka itu menikah wajib dengan yang berbeda bentuk perlengkapan perangnya, namun masih satu species. Kenapa malah kesitu bahasannya coba?
Sejak detik menemukan kesimpulan baru itu, Fadil mencoba berkonsentrasi mendengarkan hikmah-hikmah yang disampaikan oleh Ustadz Hasan dan Habib Ahmad. Cukup sulit, padahal beliau berdua ini adalah pembicara yang baik, keren malah. Fasih dan kritis. Tampak sekali baik Ustadz Hasan dan Habib Ahmad, akrab dengan tulisan-tulisan dan pemikiran Mbah Nun.
Kesulitan berkonsentrasi ini kemudian membuat Fadil teringat satu kali Mas Helmi di atas panggung pernah berkata kira-kira begini: “Maiyah itu selalu membongkar kenyamanan, namun tidak jarang Maiyah menyimpan kenyamanannya sendiri dan itu juga perlu dibongkar”. So, melawan kenyamanan. Itu tantangan. Orang Maiyah selalu suka dengan tantangan baru. Fadil menemukan tantangan yang mesti ditaklukkannya sendiri malam itu.