Ikatan Cendekiawan Musik Indonesia: Musik Negeri Maiyah (2)
Saya berhenti berselancar di dunia maya ketika menemukan satu video musik di kanal youtube. Video tersebut berjudul The Living Room Eps 5 – Gamelan Mben Surup Kawanan Ari Sumarsono (KiaiKanjeng) – Tasbih Semesta. Tanpa berpikir panjang setelah melihat jalannya koneksi internet yang relatif lancar, segera saya unduh video berdurasi lebih kurang dua puluh lima menit empat puluh enam detik itu. Zaman sekarang enak, ora melu nandur, iso ngunduh. Nek pas sing penak.
Saya pikir video itu akan sangat berguna dan bisa menambah perbekalan saya untuk menggali salah satu pusaka abadi nan jaya yang bernama KiaiKanjeng. Potensi musik yang ada di dalam KiaiKanjeng saya rasakan bisa juga ditemukan dan digali dari ‘Manusia-Manusia Kanjeng’. Begitu Cak Nun menyebut para personel KiaiKanjeng. Manusia-Manusia Kanjeng ini memiliki latar belakang pengalaman musikal yang beragam, konteks cerita kehidupan yang tidak sama antara satu dengan yang lain, tapi sangat menyatu ketika bergerak bersama sebagai entitas KiaiKanjeng.
Salah satu Manusia Kanjeng yang punya latar belakang akademisi musik adalah Mas Ari Sumarsono. Atau sering akrab dengan panggilan Ari Blothong. Pemain biola KiaiKanjeng. Seperti yang diungkap dalam sesi wawancara di video tersebut, pria kelahiran kota Sragen itu menempuh pendidikan musik di Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta sebelum kemudian kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan musik dengan konsentrasi utama alat musik biola.
Sentuhan permainan biola beliau di musik KiaiKanjeng sering saya temukan pada komposisi yang bernuansa Timur Tengah, Jawa, dan tentu saja musik klasik Barat. Maka tidak ada salahnya saya dengarkan dengan seksama karya beliau yang dimainkan bersama Gamelan Mben Surup yang berjudul Tasbih Semesta. Saya kurang tahu apakah komposisi musik ini pernah dimainkan bersama KiaiKanjeng. Tetapi tebakan saya mengatakan, pernah. Komposisi ini selayaknya memang sudah dimainkan bersama KiaiKanjeng. Entah apa yang meyakinkan saya, tetapi begitu mendengarkan gesekan Rebab (Jawa) bertemu gesekan Biola, lantas disapa oleh denting-denting Demung, Saron, Bonang, lalu dihentak oleh distorsi gitar elekstrik, dentuman bass, dan gebukan drum elektrik, otak saya langsung nyantol, ini KiaiKanjeng-an. Cuma kurang sentuhan suling bambu. (Pak Is ai mis yu)
Maka sangat menarik untuk lebih lanjut menyimak apa yang disampaikan oleh mas Ari pada wawancara sesi kedua. Menurut mas Ari, Nusantara ini kaya akan beragam jenis musik. Seolah seluruh musik yang ada di Bumi ini semuanya ada dan bisa hidup dengan nyaman di Nusantara. Nusantara menjadi Living Room-ya musik-musik yang ada di dunia. Seperti dalam komposisi Tasbih Semesta ini, selain menyajikan musik dengan berlatar kebudayaan yang bermacam-macam, mas Ari juga ingin menyampaikan sebuah bekal yang menurut saya sangat radikal (sangat mengakar) yang penting dimiliki oleh manusia supaya lebih meluas dan mendalam untuk memahami musik.
Mas Ari mengaku tergelitik dengan jargon-jargon semacam “bahwa musik Arab sama dengan Islam, musik orkestra Barat sama dengan Nasrani Kristen, musik Bali sama dengan Hindu, dan seterusnya”. Mas Ari tidak sepakat dengan yang demikian karena justru keberagaman itu merupakan kekayaan yang dimiliki oleh Nusantara. Bukan untuk dibenturkan antara satu dengan yang lain. Semuanya dipangku, dihargai, dan diayomi sebagaimana mestinya. Dan salah satu wujud syukurnya adalah komposisi Tasbih Semesta.
Di lain kesempatan, saya mencoba mencari tahu lewat dunia maya pula, ada nggak sih manusia di Indonesia ini yang disebut sebagai Cendekiawan Musik? Maaf agak sedikit lancang. Karena biasanya di Indonesia itu kalau Cendekiawan pasti ketemunya sama Muslim ya? Memang dalam sejarah Indonesia, saya pernah mendengar kata ICMI yang merupakan kependekan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Kayaknya di bulan-bulan Mei seperti pada kurun 90-an, kata ICMI memiliki peran sendiri dalam alur cerita sejarah Indonesia.
Keisengan saya mencari siapa yang disebut cendekiawan musik di Indonesia, ternyata menemu jawabannya. Ada satu nama di sana, dan panjengan tahu siapa beliau. Lagunya seperti ini, “Dengarkanlah… wanita impianku… malam ini akan kusampaikan… Janji suci… satu untuk selamanya… dengarkanlah kesungguhan ini… Kuingin… mempersuntingmu… tuk yang pertama… dan terakhir...”. Yap. Beliau Yovie Widianto dari grup musik Kahitna dan Yovie and The Nuno. Versi wikipedia sih.
Saya kira tidak ada lho istilah Cendekiawan Musik. Wong awalnya saya sedikit bermain plesetan. Dari Cendekiawan Muslim menjadi Cendekiawan Musik. Eh, ternyata benar-benar ada istilah itu. Dengan sigap saya buka kembali salah satu tulisan M. Quraish Shihab dalam buku Lentera Hati (1994). Tulisan itu berjudul Cendekiawan Muslim.
Pada paragraf awal tulisan itu dijelaskan arti kata ‘cendekia’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar”. Sedang kata ‘cendekiawan’ artinya orang yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Cukup dahsyat pemirsa.
Masih menurut beliau ada beberapa sikap yang harus dimiliki oleh cendekiawan. Yakni di antaranya adalah Al-Infitoh (keterbukaan) dalam arti kesediaan dalam memberi dan menerima dari dan untuk siapa pun tanpa mempertimbangkan usia atau lokasi. Kemudian insaniyah yakni mengabdikan hasil pengetahuan untuk kemanusiaan tanpa membedakan agama, ras, atau bangsa.
Pada akhir tulisan tersebut M. Quraish Shihab sedikit menyimpulkan ada dua tuntutan besar yang dimiliki oleh cendekiawan. Pertama mempelajari Kitab Suci dalam rangka memahami, menyebarluaskan, dan menerapkan nilai-nilainya di masyarakat yang beragam kebutuhan dan problemnya. Kedua, mengamati ayat-ayat Tuhan di alam raya ini, baik dalam diri manusia secara personal maupun kelompok dan juga mengamati fenomena alam serta berkreasi. Hal ini berarti bahwa para cendekiawan itu harus selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan alam dan sosial. Bahwa peran mereka tidak sekadar merumuskan tujuan-tujuan. Melainkan juga memberi contoh pelaksanaan dan sosialisasinya.
Sekarang let’s try to othak-athik gathuk. Misalnya, misalnya lho ini, istilah Cendekiawan Musik disematkan kepada Manusia-Manusia Kanjeng pripun? Lihat penjabaran dari bapak-e Najwa Shihab itu kemudian dielaborasi dengan aktivitas yang selama ini dilakoni KiaiKanjeng dalam bermusik. Adakah sikap al-infitoh di sana? Adakah sikap insaniyah di sana? Dari lagu dolanan yang hampir punah, lagu Umi Kultsum, sampai lagu yang populis seperti Sayang dan One More Night? Lintas usia kah? Lintas lokasi kah? Racikan musik, dari akar pemahaman yang paling radikal sampai mewujud menjadi lagu, apakah pernah membuat tidak gembira manusia? Lintas agama, ras, atau bangsa? Bermusik di Italia di kala semua aktivitas pertunjukan harus berhenti karena menghormati kepergian Paus Paulus? Sudah terlintas lintasannya?
Dugi mriki, sampun ‘ngeh’ njih?
Lho mas, mau menggali fenomena musik KiaiKanjeng kok landasan teorinya pakai pengetahuan Agama? Karena itu yang belum saya dapatkan selama belajar musik. Banyak teori, antropologi, etnografi, sosiologi, psikologi tapi dari ranah pengetahuan agama belum pernah saya dapati. Belum pernah saya temui ketika menulis landasan teori tentang keindahan, ada yang dengan yakin dengan sikap ilmiahnya menuliskan:
Landasan Teori: Allah Maha Indah. Bunyi-bunyian yang ada di alam semesta ini adalah wujud keindahan-Nya. Maka, tidak ada salahnya manusia mencoba meramu keindahan berdasarkan sifat Allah Yang Maha Indah melalui musik.
Semoga istilah Cendekiawan Musik yang saya kira mengada-ada ini, bisa segera saja dilupakan. Nanti takutnya ada istilah Ikatan Cendekiawan Musik Indonesia (ICMI juga singkatannya). Karena yang diikat itu serba terbatas. Serba sempit. Serba sulit.
Itu pun kalau ini diterima. Kalau nggak ya, gimana? Sudah terlanjur menulis. Yang penting salam untuk para musisi dan muslimat. Sampai ketemu pada penggalian selanjutnya. Semoga tulisan yang saya harap mendasar dan bisa jadi lambaran ini tidak malah membuat panjenengan gusar.
Suwun Mas Ari ‘Blothong’ Sumarsono.