CakNun.com

Human is Nothing, God is Everything

Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 4 menit

Kebenaran yang kita yakini hari ini. Bisa jadi adalah kesalahan di esok hari.” –Sabrang MDP.

Nothing. Mungkin kata itu yang paling pantas mewakili saya atau kita semua yang masih mengaku sebagai manusia. Manusia bukan siapa-siapa. Tak berdaya. Tak bisa apa-apa. Dan tak punya apa-apa. Ia lemah, kecil, kerdil, picisan. Tidak tahu peristiwa apa yang akan terjadi sedetik kemudian. Tidak paham, apakah besok cuaca cerah, mendung atau hujan. Tidak benar-benar mengerti apakah hari ini, besok, lusa, masih diberi umur panjang atau mati. Manusia berada pada posisi berencana. Dalam ranah menerka-nerka. Wilayah berharap. Koridor berusaha dan berdoa. Serta berpijak dalam kawasan pasrah, menyerah, bersandar hanya kepada Yang Maha Menggenggam seluruh sistem takdir kehidupan manusia.

Alhamdulillah, pasca menikah banyak sekali hal baru sekaligus mengejutkan yang saya temui. Terutama pada diri sang istri. Dulu saya mengira dia itu begini, tapi nyatanya sekarang begitu. Dulu menilai dia seperti itu, tapi kini malah seperti ini. Geli. Lucu. Aneh. Namun mengagumkan.

Beberapa contohnya adalah, jika dilihat dari luar, istri saya sosok perempuan yang kalem, soft, lembut, lugu, dan sedikit jaim. Karakter itu yang saya tangkap sebelum kita resmi suami-istri. Namun siapa sangka kalau dia ternyata pecinta musik dangdut Pantura. Saya kaget setengah mati. Selang beberapa bulan menikah, ia mulai kelihatan wujud aslinya.

Jadi, kalau di rumah lagi sepi, istri saya kerap goyang-goyang sendiri. Berdendang ria penuh gaya. Tatapannya manja. Goyangannya menggoda. Tak lagi jaim di depan suaminya. Sosok yang kalem, soft, lembut, lugu pada dirinya yang selama ini saya yakini, luntur seketika. Mendadak sirna. Mungkin ini yang dimaksud oleh Mas Sabrang bahwa kebenaran yang kita yakini hari ini. Bisa jadi adalah kesalahan di esok hari.

Ada lagi. Ini soal makanan. Ternyata istri dan saya punya menu makanan favorit yang sama. Makanan yang murah meriah, bikinnya mudah namun rasanya Waaah. Ya, tempe goreng. Istri dan saya tidak ada bosan-bosannya untuk mengonsumsi tempe goreng setiap hari. Kalau sehari saja nggak makan tempe, rasa-rasanya ada yang kurang. Dan sama sekali tidak mengira, jika istri yang notabene terlahir dan besar dalam keluarga yang berada, kaya, berkecukupan, namun seleranya sungguh sangat sederhana. Suka sama tempe goreng. Padahal di awal saya menduga, ia cenderung suka dengan menu makanan ala junkfood, seperti pizza, spaghetti, steak dan sejenisnya. Namun dugaan itu salah. Keyakinan saya padanya soal selera makanan akhirnya terpatahkan. Pernyataan Mas Sabrang tentang kebenaran kembali terbukti. Bahwa kebenaran yang kita yakini hari ini. Bisa jadi adalah kesalahan di esok hari.

Sampai pada karakter sifat, sikap dan kebiasaan kita sehari-hari. Ada banyak persamaan. Namun juga tak sedikit perbedaan. Kalau diperhatikan, postur tubuh istri saya itu tidak terlalu besar dan juga tidak begitu tinggi. Sedengan lah. Pas. Ideal. Melihat itu, jelas asumsi saya sebelumnya mengatakan bahwa  porsi makannya tidak banyak, alias sedikit. Tapi setelah menikah, dan melihat dengan mata kepala sendiri, saya merasa tertipu. Jadi, istri saya itu bisa makan nasi empat kali dalam sehari. Edaaan. Kok bisa yaa… Tapi anehnya, badan istri saya tidak gemuk. Bobotnya berkisar antara 45-48 kg. Lha terus, nasinya lari ke mana? Itu baru makan besar, belum ngemilnya sehabis makan. Awal-awal melihat adegan tersebut, jujur saya ilfil.

“Arek mbois-putih-manis ngene, kok mbadoke akeh temèn.”

Tapi selanjutnya, kebiasaan makan banyak sang istri sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi saya. Tak masalah. Yang penting sehat dan waras. Itu baru yang kasat mata, hal katon dan dapat dilihat. Belum sesuatu yang tak nampak secara fisik atau gaib.

Padahal jauh lebih banyak yang gaib dibanding yang seolah-olah nyata dalam kehidupan manusia”, Brakodin menambahkan, “cinta itu gaib. Hati setiap orang sebenarnya gaib bagi orang lainnya. Bahkan hati kita sendiri sering gaib bagi kita sendiri. Sekurang-kurangnya sering terdapat ruang-ruang gaib di dalam hati dan pikiran kita sebagai manusia…” Daur II-144Allah dan Muhammad.

Pikiran, hati, angan-angan, khayalan, imajinasi itu gaib. Begitu juga cinta dan rindu. Tak dapat diraba, disentuh apalagi dipegang. Saya tidak benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran dan hati sang istri, begitu juga sebaliknya. Dari dulu sampai sekarang. Yang kami bisa lakukan hanya menebak, menganalisa dan niteni setiap harinya. Kemarin dia begitu, hari ini begini, dan lusa mungkin bisa begitu lagi. Dulu saya A, sekarang B, entah di masa akan datang bisa saja bertransformasi menjadi C, D, E atau bahkan Z. Yang benar bisa salah. Yang salah bisa jadi benar. Kepastian bisa berubah. Dan berubah itu pasti. Sudah kodrat alam.

Bermodal ketidaktahuan itulah kita sebenarnya diingatkan oleh Tuhan, betapa kerdilnya kita manusia. “Human is nothing but God is everything”. 

Manusia sekadar dibekali akal dan hati. Untuk menalar, memikirkan, merasa dan memaknainya. Tanpa dapat mengetahui apa yang sebenar-benarnya. Yang sejatinya. Terkadang isyarat dan sesuatu dari Tuhan, tidak bisa serta merta kita ukur panjang-pendeknya, baik-buruknya, manfaat-mudaratnya dengan parameter budaya kita. Itu karena pendeknya akal kita, buruknya hati kita dan banyaknya kemudaratan yang selama ini sudah kita lakukan. Pikiran dan hati kita lamaten (berjelaga). Sehingga tak mampu untuk menangkap pendaran-pendaran cahaya. Maka satu-satunya cara atau jalan yang dapat kita tempuh untuk paling tidak mendekati pengetahuan akan sesuatu yang berasal dari Tuhan, yakni dengan nyenyuwun. Nembung kepada Allah agar disilihi “Mripat dan Hati”-Nya untuk dapat mencernanya.

Sekali lagi, kebenaran yang kita yakini hari ini. Bisa jadi adalah kesalahan di esok hari. Dengan memegang rumus tersebut, maka tidak akan ada kesombongan dalam diri kita. Tidak akan mbagusi, egois, kaku, dan merasa paling benar sendiri. Tidak mungkin berani menyalahkan-nyalahkan orang lain. Menghina, mencela, mengutuk, mengkafir-kafirkan sesama. Tidak mungkin ada hati untuk membenci, menyakiti dan juga menzalimi.

Kebenaran tidak untuk disebut, ditunjukkan apalagi dipamer-pamerkan. Kebenaran cukup kita simpan dalam hati dalam-dalam. Yang kita tampilkan, kita pajang dan kita obral sebanyak-banyaknya adalah kebaikan. Kebermanfaatan. Kemaslahatan bersama. Tidak ada kebenaran yang selamanya benar. Menurut Mbah Nun, paling tidak ada tiga macam kebenaran. Pertama, kebenaran diri sendiri (pribadi). Kedua, kebenaran bersama. Yang mana secara tidak tertulis telah disepakati oleh orang banyak. Dan yang ketiga adalah kebenaran sejati. Kebenaran yang mutlak. Hakiki. Yakni kebenaran milik Allah Swt.

Sudah sangat jelas, maqom kebenaran kita sebatas yang pertama dan kedua. Bukan yang ketiga. Maka sifat dan sikap kita yang paling bijak adalah senantiasa hati-hati dan berendah hati.

Terakhir, di dunia ini semuanya berpotensi untuk berubah. Alam, manusia, musim, suhu, cuaca, waktu dan seterusnya. Namun ada satu yang tetap. Tak berubah. Yakni Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Muhammad Rahmat bagi semesta alam.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Mencari Kesalahan Diri, Menemukan Kebenaran Orang Lain

Mencari Kesalahan Diri, Menemukan Kebenaran Orang Lain

Saat ada orang yang menyalahkan Cak Nun akibat “Doa Mohon Kutukan”, ada hal menarik yang disampaikan beliau, “Di setiap awal langkah, apapun dalam kehidupan ini, yang kutuding dan kucari kesalahannya adalah diriku sendiri,” demikian salah satu petikan dari Daur perdana yang berjudul, “Doaku Dosaku”.

Mahmud Budi
Mahmud Budi