CakNun.com

Harmoni Sinau Bareng, Ruang Publik Ilmu dan Kemesraan

Catatan Sinau Bareng CNKK di Politeknik Negeri Malang, 3 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 7 menit

Ruang yang kosong akan diisi oleh banyak pihak. Akhirnya, manusia cenderung memilih jadi massa, luruh dalam simbol yang dia bikin dan dia sakralkan sendiri serta sentimen pada simbol yang dianggap berbeda dari simbolnya, kalau perlu dibakar-bakar. Puluhan tahun, kita dikomando jadi massa, belum ada usaha untuk jadi individu mandiri, jamaah, yang merespons ruang-ruang publik. Pertikaian antar ummat muslim di negeri ini sangat tidak fundamental, sama-sama massa, sama-sama manut pada komandan ideologi dengan narasi keramat agama, hanya beda simbol. Caranya sama.

Sinau Bareng memilih berjalan dan merespons. Merespons ruang publik dengan ilmu dan kemesraan serta mengisi ruang-ruang kosong itu dengan cahaya. Ketika kelompok-kelompok workshop dipersilahkan ikut request lagu dan bernyanyi diiringi musik pelayanan KiaiKanjeng. Baiklah perlu kita akui suara Mas yang nyanyi “Sebelum Cahaya” itu agak maut. Saya membayangkan kita jadi seperti Nobita yang harus mendengar Giant bernyanyi, atau kalau mau agak heroik kita jadi seperti berhadapan dengan seruling mautnya Wirasaba dalam serial Nagasasra, atau semacam Pendekar Syair Berdarah, yang ternyata Masnya Arya Kamandanu dalam Tutur Tinular. Atau…, gabungkan semuanya.

Tapi Mas yang nyekel microphone, pede meninggikan suara, meliuk-liukkan nada, imrovisasi dan entah apa yang terjadi, bukannya berakibat kuping berdarah-darah tiba-tiba menghampar keindahan. Jamaah bersatu dalam koor (mungkin adalah usaha menyelamatkan kuping masing-masing) sambil menyalakan flashlight seluler. Sinau Bareng bermandikan cahaya. Bahkan nonton konser JKT48 di theater JKT langsung belum tentu menghampar keindahan semacam ini. Untuk Mas yang nyanyi, jangan marah ya Mas, bercanda hehee… Ini beneran, salut untuk kepercayaan diri tak terkira itu, hanya kalau bisa yaa ambil kursus vokal sedikitlah, gitar jatuh kebanting juga masih ada nadanya. Mas juga pasti bisa, semangat! (Peace yaaa).

Menyalakan lampu flashlight seluler di Sinau Bareng, terjadi saya alami pertama kali di Magetan. Sinau Bareng yang tak akan terlupakan itu. Kali ini, dia juga terjadi tanpa aba-aba, tanpa komando. Entah apakah akan jadi tradisi atau tidak, yang paling penting adalah bagaimana kita memaknai tradisi itu sendiri dan agar tak hilang sanad-nasab sejarah, kita catat muasal idenya.

Sinau Bareng adalah tradisi, yang tercipta atas kebutuhan akan komunalitas, ilmu dan kemesraan. Tidak dramatis dengan sentimen golongan, tidak goyah oleh badai pilpres, liar anarkis tapi mencintai bangsanya. Sinau Bareng, Maiyah, merespons ruang publik dan mengisinya dengan cahaya.

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Exit mobile version