CakNun.com

Harmoni Sinau Bareng, Ruang Publik Ilmu dan Kemesraan

Catatan Sinau Bareng CNKK di Politeknik Negeri Malang, 3 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 7 menit

“Malam ini kita belajar membangun harmoni, tidak hanya dengan alam tapi seluruh hidupmu musti harmonis.” Saya jadi yakin sekali bahwa ini memang materi teater, tapi elaborasi Mbah Nun bukan sekadar teknik dasar teater. Harmoni, gerak kaki dengan tangan, dengan kepala, dagu, bahu, mata, alis, punggung. Dalam materi teater, ketubuhan individu ini perlu beres dulu, baru kita mengarah pada harmoni komposisi panggung, perkawinan antar gerak demi gerakan. Dan dalam Sinau Bareng, ternyata jangkauan materi tersebut bisa dibuat sangat luas dan dalam.

“Harmoni Kebhinnekaan”, tajuk acara yang dipilih oleh pihak penyelenggara dan memang gerak harmonis ini yang hilang selama ratusan tahun pada diri bangsa kita. Sejak ketika NKRI berproklamasi ria, panggung negara itu sudah terlanjur tersusun oleh tubuh-tubuh seperti Muhammadiyah, NU, parpol dan berbagai macam tubuh gerak(an) lain. Tubuh-tubuh ini punya memori sejarahnya sendiri, versi heroismenya masing-masing. Kita memang kurang presisi ketika itu, tidak ada kesediaan untuk memulakan sesuatu yang baru.

Dalam lumrahnya revolusi, semua yang lahir pada masa pra-revolusi sebaiknya mundur dulu dari panggung, ditata dan baru kemudian dicarikan kembali tempat yang pas. Itulah kenapa, misal Revolusi Perancis butuh 10 tahun untuk melahirkan Napoleon. Tapi kita tidak, sekadar proklamasi dan tidak ada yang mundur tidak ada organ yang membubarkan diri. Yah proklamasi memang bukan revolusi sepertinya, mungkin kapan-kapan, tapi sudah jangan pakai massa lagi. “Aku nek perang dewean rek, gak ajak-ajak awakmu. Aku ijen!” tegas Mbah Nun. Maknanya dalam sekali itu untuk saya pribadi, bagaimana dengan pembaca yang budiman? Merasakannya juga?

Sejak 1945, tidak ada tubuh yang mau mengalah untuk komposisi panggung utama. Maka sejak awal, komposisi gerak panggung NKRI sudah carut-marut. Apa-apa yang terjadi sekarang ini hanya panen dari kesemrawutan gerak selama puluhan tahun lalu.

Bahkan Bhinneka Tunggal Ika sendiri, yang semestinya adalah racikan formula pakem gerak di panggung, tiba-tiba sekarang ada tubuh aktor yang muncul dengan nama tokoh “Bhinneka Tunggal Ika” dan tiba-tiba melibas semua pemain lain di panggung. Yok opo lho, NKRI ini ludrukan ta? Lho, logat saya jadi Jawa Timuran, padahal baru berapa lama di Malang. Kalau sedang ingin nonton Ludruk saya kok milih Kartolo, jelas lucu dan jenius. Daripada NKRI yang agak garing kalau ditonton. Tapi benar-benar, saya sangat menikmati kemesraan Mbah Nun dengan tanggapan-tanggapan liar ala Kera Ngalam.

Dalam Sinau Bareng, Bhinneka Tunggal Ika kembali dimuliakan, diberi tempat yang sepantasnya. Bahwa dia adalah pakem, bukan nama tokoh dalam panggung. Pun nasionalisme yang muncul, minim kebencian. Nasionalisme bocah, yang murni yang menyanyikan Indonesia Raya dengan bersemangat tanpa berusaha menyingkirkan yang selainnya. Bahwa ada yang tidak nasionalis (seperti saya?), yah terlanjurnya kita memilih demokrasi kan? Eh, kapan ya kita ada pemilihan umum untuk memilih demokrasi? Jangan-jangan dipilihkan saja itu sistem, oleh kaum intelektual dan agamawan yang telah mapan posisi duduk sejak mula.

“Banyak orang sekarang, kurang imbang,” papar Mbah Nun, dan Mbah Nun mengajak kita untuk sesekali berdamai dengan klasifikasi padat ala akademis, kan ini di kampus. “Antara mental, spiritual dan intelektualnya selalu berat sebelah.” Maka di Sinau Bareng ini, kita coba menjadi kaffah lan komplit wal jangkep. Sebisa-bisanya.

Harmoni tubuh yang tidak sempurna, membuat komposisi gerak menjadi tidak indah dan minim presisi. Komposisi gerak yang minim presisi akan menghasilkan komposisi panggung yang tidak imbang. Dalam penilaian teater, itu bisa kita lihat dari seberapa banyak ruang kosong yang mubazir di panggung. Negeri ini sekarang banyak lini dan ruang yang mubazir. “Kita mengalami selama berpuluh tahun ruang publik tidak direspons oleh para stakeholder. Ruang publik hanya dipakai untuk kampanye dan mobilisasi,” kalimat merespons ruang, itu jelas kalimat teater. Gagal merespons ruang, adalah fatal dalam seni panggung. Dan rupanya bagi Mbah Nun ini jugalah yang terjadi pada pemanggungan NKRI yang banyak mubazirnya itu.

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik