Harmoni Sinau Bareng, Ruang Publik Ilmu dan Kemesraan
Beberapa orang hadirin Sinau Bareng malam ini, sebagian besar berusia muda, mahasiswa-mahasiswi, sebagian lebih dewasa dari lainnya. Diajak oleh Mbah Nun naik ke atas panggung. Kecepatan untuk menjadi terlibat dalam kegiatan-kegiatan di panggung, tanpa sengaja mulai terpetakan dalam kepala saya. Ada perbedaan yang bisa ditarik dari latar belakang sosio-kultural, pembagiannya bisa macam-macam.
Hasil pembacaan saya begini: Sinau Bareng di kampus agak lebih aktif daripada kalau di pondok pesantren, Jawa bagian timur lebih mudah bereaksi terhadap ajakan serupa daripada di Yogya. Di antara Jawa bagian timur itu, Malang adalah yang paling liar, dalam soal sahut-sahutan, njawab dan nyeloteh. Pada bagian itu setingkat dengan Jombang, hanya Jombang sedikit ‘terjinakkan’ dengan kultur pondok.
Nah, malam ini Senin 3 Desember 2018M, Sinau Bareng digelar di Polinema, tentu saja ini kota Malang, yang saya nobatkan jadi ibukota pribadi saya. Maka ajakan Mbah Nun untuk ke atas panggung itu menunjukkan gabungan dari beberapa pemetaan rise-risetan pribadi saya, mahasiswa-Jawa bagian timur-malang = Rame!!!
Saya tidak akan mengajak pembaca yang budiman untuk ke dugeman, tapi kadang bahkan pada tempat yang sehedon itu sekalipun, pemetaan macam ini tetap berlaku. DJ kawakan sekalipun, ujian untuk bikin massa ‘pecah’ itu ya di Yogya. Biasanya sudah sangat larut barulah massa dugem Yogya pecah. Ihwal antropologi dugem ini saya pelajari otodidak ketika masih mahasiswa. Tapi saya cukup bangga bahwa sampai sekarang saya terselamatkan dari mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan haram apapun.
Saya sempat bilang ke Mbak Hilwin, “Malang ini liar sahut-sahutannya.” Mbak Hilwin nanya, memangnya kalau di Yogya bagaimana? Saya katakan, ya Yogya lebih berbakat ke arah filsuf sufi dan kebatinan, terlalu jinak keraton kalau istilah saya mah. Liputan singkat Mbak Hilwin sudah bisa anda baca sebelum ini. Tambahan sedikit, pasca Diponegoro memang beberapa wilayah (di)lepas(kan) dari kekuasaan keraton peningalan Mataram. Bahkan beberapa keraton otonom seperti Madura dicabut statusnya oleh Hindia-Belanda, kelak ini yang kita sebut daerah manca dalam tata kelola pemerintahan Hindia-Belanda.
Maka adapun mereka yang telah berada di panggung, beruntungnya mereka langsung dimursyidi oleh Pak Jokam untuk melatih ekspresi dan gerak tubuh. Kenapa saya sebut beruntung? Sebab tidak semua mursyid thariqat lihai berteater, sedangkan Pak Jokam adalah maestro dunia teater dan latihan semacam ini saya akrab sebagai latihan dasar teater. Jarang yah, ada pengajian yang ada latihan teaternya, tapi ini Sinau Bareng, gebrakan pola pendidikan.
Dari latihan semacam ini, kita dilatih beberapa hal sekaligus. Pertama mental yang mana menurut saya pribadi mahasiswa Malang sudah mental baja dari sananya. Tapi selain itu juga kita dilatih untuk total. “Kalau marah, ya marah. Ekspresikan marah, bukan pencitraan marah,” Mbah Nun pun ikut membimbing workshop.
Coba itu mereka digarap langsung oleh dua tokoh living legend teater. Kemudian kita juga terlatih mengenali diri, kita jadi paham tekstur otot wajah dan gestur dasar tubuh kita. Itu penting sekali, karena nantinya ketika kita akan mengembangkan (per)gerak(an), kita perlu paham potensi bentuk dasar kita. Jangan bikin gerakan yang jauh dari muasal ketubuhan. Saya pribadi misal bisa mengerti bahwa sehari-harinya otot wajah saya itu kurang ekspresif, ketika berjalan kaki saya suka melempar sekenanya dan tangan saya menggantung kurang tegas, saat duduk tulang leher saya agak maju khas santri yang kebanyakan ngaji (???). Man arofa nafsahu dalam teater, tidak langsung ke jiwa dulu tapi kenali pertama tubuh, serat otot, volume tulang, syaraf, ekspresi dan banyak hal lagi. Dan yang paling inti untuk masuk ke pembahasan utama malam ini adalah harmoni gerak dan ketubuhan.