CakNun.com

Hanya Kalam Susu

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 5 menit

Kepulangan Koesyono ‘Mas Yon’ Koeswoyo memaksa generasi zaman now diseret menuju skenario Tuhan untuk Indonesia dalam kurun waktu yang wingit, yaitu era transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pada tahun-tahun wigati tersebut Tuhan membisikkan ke dada keluarga Koeswoyo, meniupkan sejumput hidayah ke ubun-ubun anak-anak Koes, untuk membuat sebuah kelompok musik. Yang, sebetulnya, hidayah itu agak berseberangan dengan arus kepemimpinan seorang Soekarno saat itu. Dikotomi Barat-Timur ternyata cukup berimbas kepada pilihan-pilihan berkreativitas.

Jenis musik yang diramu oleh anak-anak dari keluarga Koes memilki aroma ke-Barat-Barat-an. Sedangkan saat itu Soekarno getol, bahwa untuk memperkuat jati diri, Indonesia harus menjunjung tinggi adat ke-Timur-an, termasuk produk budayanya. Soekarno menyebut musik yang ke-West-West-an itu dengan musik ngak ngik ngok. Dan itu dilarang.

Dan dari sinilah, Indonesia mulai memiliki pemimpin yang menaruh perhatian cukup besar di bidang musik. Saking perhatian dan sayangnya, dilaranglah musik ngak ngik ngok. Nanti Anda akan menemukan asumsi lain soal presiden Indonesia selalu berasal dari Jawa. Ada indikator baru untuk melihat siapa presiden Indonesia selanjutnya. Lihat, apakah dia orang yang peduli dengan musik atau tidak.

Siapa, Jokowi? Dengan anak-anak Metallica beliau dekat. SBY? Empat album selama menjadi presiden ditelurkan. Megawati? Hari musik nasional, ditetapkan oleh beliau diambil dari hari kelahiran Wage Rudolf Supratman. Gus Dur? Ada riwayat sering nonton pertunjukan musik sewaktu mondok. Habibie? Manusia sepuitis itu nggak mungkin nggak suka musik. Pak Harto? Pencekalan pertunjukan musik, jangan ditanya lagi. Sekali lagi itu karena saking sayangnya. Tolong kalau saya keliru diingatkan ya.

Meski agak kurang cocok soal musik Barat, Pak Karno membentuk semacam grup musik tandingan. Namanya The Lensoist. Diambil dari musik tari Lenso Maluku. Grup itu difasilitasi untuk mengenalkan identitas budaya Indonesia. Formatnya, band juga. Kan, absurd ya?

Ketika santer, Koes Bersaudara dituduh sebagai agen budaya asing, dengan sigap mereka merespons, dengan membuat karya bertemakan Pop Melayu dan Pop Jawa. Era di mana kata ‘campursari’ belum muncul. Yang ada baru istilah Langgam Jawa, turunan dari Musik Keroncong. Seketika itu juga Pop Jawa seakan menjadi tren. Band-band era 70-80an melatahi. Lagu Pak Tani misalnya. Lagu itu tidak hanya menjelaskan siapa sejatinya bangsa ini. Lebih dalam lagi, di sana tertanam kekuatan karakter. Kekuatan dan kemampuan untuk mengamankan, mensejahterakan, merukunkan unsur apa saja yang dimiliki bangsa ini.

Melalui lagu Pak Tani Koes Bersaudara berupaya untuk melakukan komunikasi secara langsung dengan masyarakat. Kehidupan para petani dijadikan inspirasi kemudian dikreativitasi, diolah, diberi sentuhan-sentuhan melodi sederhana, dengan menggunakan lirik bahasa sehari-hari para petani di Jawa, kemudian disajikan dengan penuh kesantunan kepada masyarakat Indonesia secara luas dengan membawa pesan, bahwa ada cara sederhana untuk selalu mensyukuri kehidupan. Memandikan sapi di pagi hari dan beramai-ramai mengkhalifahi mengolah tanah sawah dan kebun-kebun. Itu baru satu lagu.

Lagu Kolam Susu. Ah, itu lagu paling ceria yang pernah ada. Keceriaan yang sewajarnya ada di dalam diri bangsa ini. Tergambar jelas di alam khayali kita senyum para nelayan, para petani, dan berbagai macam ketangguhan yang dimilki bangsa ini. Keceriaan komunal. Keceriaan jami’ah. Keceriaan yang menyembul dari tatapan mata tulus manusia-manusia Indonesia untuk terus dan terus bersyukur karena sebenarnya kita kaya. Seolah Mas Yon ingin bilang “Wahai Indonesia, Kau ini amat sangat kaya! Kau ini adalah bangsa yang kuat! Yang berdaulat! Tak usah risau dengan ancaman embargo! Karena tanah kita ini tanah surga!”

Lagu-lagu Koes Bersaudara merasuk hingga ke dalam sel-sel darah manusia Indonesia. Tercatat lebih kurang 89 album. Dengan jumlah lagu hampir 900 buah lagu. Belum termasuk lagu-lagu instrumentalia. Sebuah produktivitas yang saya rasa belum pernah dilakoni oleh musisi manapun. Itu kalau kita melihat Koes Bersaudara sebatas sebuah kelompok musik semata. Bahkan tahun 1974 membuat 22 album.

Koes Bersaudara lahir di zaman ketika Indonesia masih kinyis-kinyis. Mereka membuat lagu-lagu yang bertemakan kesederhanaan dengan bahasa hati dan suara khas Mas Yon. Warna suara yang dititipkan Tuhan kepada beliaulah yang membuat lagu-lagu Koes Bersaudara atau Koes Plus semakin mengena. Lagu-lagu mereka seakan selalu terdengar oleh berbagai hierarki generasi di Indonesia ini. Menghiasi langit-langit Indonesia. Menyusup ke sanubari manusia-manusia Indonesia. Saya pun agak kaget dengan diri saya sendiri. Seharusnya saya juga tidak memilki kewajiban untuk tahu lagu-lagu Koes Plus. Saya lahir tahun 90an. Tapi begitu mendengar satu buah lagu, mendengar suara Mas Yon, otak saya langsung mengidentifikasi, “oh itu lagunya Koes Plus.”

Persambungan terjadi tak tersekat oleh ruang dan waktu. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkannya. Satu, memang karena bapak-bapak kita dekat dengan musik Koes Plus. Yang kedua, tak lain dan tak bukan adalah resonansi yang dihasilkan dari pita suara seorang Mas Yon. Tuhan sudah menghendaki jenis suara yang seperti itu. Bukan suara yang berat seperti penyanyi seriosa Christoper Abimanyu. Atau suara dengan lengkingan tinggi. Atau suara lembut penuh wibawa dan pesona. Atau suara dengan teori dasar menyanyi yang baik dan benar. Bagaimana mengatur pernafasan, ilmu diafragma, falseto, dan sebangsanya. Bukan itu. Bahkan bisa jadi beliau tidak paham-paham amat tentang bagaimana menyanyi yang baik dan benar. Bagaimana mengatur napas ketika pentas bernyanyi 25 lagu tanpa minum. Laku yang agak sulit untuk diterima oleh pemahaman generasi zaman now. Yang kalau mau menyanyi bisa dengan cepat membuka kanal youtube mencari tutorial bernyanyi dan masih bingung harus bernyanyi seperti siapa.

Koes Plus, khususnya Mas Yon, diberi anugerah oleh Tuhan yang orang-orang Barat menyebutnya dengan presistensi. Dengan ikhlas mereka mengiyakan apa yang ditugaskan Tuhan meski dengan berbagai hambatan, kendala, dan terkadang muncul rasa hampir putus asa. Salah satunya pada tahun 2004 Mas Yon masih berupaya untuk menjaga produktivitas dan stamina Koes Plus dengan tambal sulam personel. Bahkan pada tahun 2016 beliau masih sempat membuat Konser Koes Plus bertajuk ‘Andaikan Koes Plus Datang Kembali’. Mas Yon, Panjenengan bersama Koes Plus selalu datang dan tak pernah pergi dari hati bangsa ini.

Karena Koes Plus adalah salah satu kalamullah untuk bangsa ini. Supaya bangsa ini tidak lembek. Tidak minder. Tidak patah semangat dan memiliki stamina yang aduhai kuatnya. Terbukti, dijajah sedemikian rupa, kita biasa saja. Kolam Susu yang kau nyanyikan, kalamullah bagi kami.

Waktu pemilihan presiden semakin dekat. Saatnya kita memilih pemimpin yang tepat. Saya tekankan sekali lagi, bahwa, jika ingin memilih sosok pemimpin di negara bernama Indonesia ini, cari atau pilihlah sosok yang peduli dengan musik. Syukur bisa bermain musik. Atau setidaknya bisa bernyanyi. Atau punya grup musik dengan semangat militansi, presistensi, dan jam terbang yang sudah tak perlu diragukan lagi. Sudah paham siapa beliau?

Kalau jawaban anda Sandiaga Uno berarti anda sepakat dengan saya.

Lho, jangan tertawa. Bisa main gitar lho dia. Lagunya Koes Plus yang Why Do You Love Me, juga bisa. Mas Yon sudah ikhlas kok lagu-lagu Koes Plus dibawakan oleh siapapun. Pejabat yang sehari-hari korupsi kemudian melakukan pesta slametan, mengajak para tamu menyanyikan tembang-tembang kenangan yang salah satunya mesti ada lagu Koes Plus, Mas Yon di surga paling cuma tersenyum. Soalnya yang dinyanyikan pejabat itu,

“Tersenyum dianya padaku, manis… manis… manis…”

Lha gimana Mas Yon nggak tersenyum?

Dan untungnya, di Maiyah kita selalu diajarkan dan diingatkan soal keluasan hati semacam itu. Merajut, menjahit, mencari cara untuk terus mencari yang baik dari sesuatu yang buruk sekalipun. Tentu saja, panjenengan juga memiliki hak yang tak kalah luasnya untuk terus belajar dari pilihan laku hidup manusia-manusia Koes Plus. Salah satunya bisa panjenengan pelajari melalui uraian-uraian yang telah ditorehkan oleh Cak Nun dan menikmati sekaligus menghikmahi satu dua nomor lagu dari Koes Plus yang siapa tahu dibawakan KiaiKanjeng saat maiyahan.

Maturnuwun.

Lainnya

Maiyah Qurban Lintas Generasi

Maiyah Qurban Lintas Generasi

Kesenjangan antar generasi

Dalam berbagai kesempatan muwajjahah maupun dalam tulisan, Mbah Nun selalu mengingatkan kita mengenai pemaknaan qurban yang berasal dari kata “qoroba” dan satu akar kata dari karib atau keakraban.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil

Topik