Getar Jalinan Paseduluran Padhangmbulan
Ini malam pertengahan bulan Sya’ban. Orang kerap menyebutnya malam Nishfu Sya’ban. Usai shalat maghrib, di mushala dan masjid terdengar bacaan surat Yasin.
Kita tidak tengah memancing perdebatan membaca surat Yasin tiga kali di pertengahan bulan Sya’ban bid’ah atau tidak. Kita tidak tengah mengumumkan cara pandang dan sikap pandang yang cupet, cekak dan cingkrang.
Faktanya, malam ini desa Mentoro berbinar terang. Bertepatan dengan malam nishfu sya’ban, pengajian rutin Padhangmbulan digelar.
Pra-acara menampilkan lagu-lagu shalawat yang ditampilkan santri TPQ Halimatus Sa’diyah. Mbak Yuli adalah salah satu ustadzah yang mendampingi mereka.
Nuansa pengajian Padhangmbulan selalu khas dan melekat. Santri-santri TPQ melantunkan puji-pujian dan shalawat nabi dengan lagu khas tempo dahulu. Diiringi rebana lantunan shalawat didendangkan secara rancak.
Sementara itu, di sepanjang jalan, mulai arena parkir di halaman SMK GLOBAL dan lapangan hingga depan pintu masuk halaman pengajian, para pedagang musiman menggelar aneka jualan. Suasananya mengingatkan kita pada pasar malam zaman dahulu.
Ketika saya menulis laporan ini Cak Markesot dan Guk Denan rawuh. Beliau berdua adalah manusia otentik khas Mentoro. Duduk njagong di teras ndalem kasepuhan bersama Cak Mif, Cak Dil, Cak Nang dan anggota keluarga lain — getar paseduluran wong ndusun cukup kental terjalin.
Padhangmbulan, pengajian paseduluran yang mengingatkan kita agar tidak melupakan akar sejarah. (saifullah)