CakNun.com

From PSK to PSK

#65TahunCakNun
Muhammadona Setiawan
Waktu baca ± 3 menit

Mengetahui tanggal 27 Mei Mbah Nun berulang tahun, seketika saya menggeledah laci lemari tempat bersemayamnya buku-buku koleksi. Koleksi buku-buku karya Mbah Nun tentu. Berpuluh buku tertumpuk lusuh. Lesu dan sedikit berdebu.

Ada buku Slilit Sang Kiai, Jejak Tinju Pak Kiai, kumpulan cerpen BH, Tidak! Jibril Tidak Pensiun,99 untuk Tuhanku, Kitab Ketenteraman, Orang Maiyah, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki, Tuhan pun berpuasa, dlsb.

Dan terkejutnya saya ketika mendapati buku yang terakhir tersebut bagian pinggirnya tercerabut. Kertasnya morat-marit. Cuwil. Tak seperti aslinya. Dan ternyata dipangan rayap saudara-saudara. Keparat! Jan asem tenan.

Dengan perasaan getir dan bersalah, buku-buku tersebut saya bersihkan satu persatu sembari menahan kecewa di dada.”Wahai rayap, kenapa kau tega mencederai buku yang dituliskan oleh guruku. Kenapa kau tidak menghargai aku yang telah menebusnya dengan rupiah untuk membelinya. Apakah kau tidak tahu betapa susahnya aku untuk mendapatkan tanda tangan guruku di buku itu. Kenapa kau tega rayap…kenapa…?”

Dan rayap pun menjawab, “Wahai fulan, kaulah yang mencederai gurumu. Kau beli buku itu tapi hanya kau simpan dalam ruang gelap-pengap. Kau enggan untuk Iqra’, membaca, ngangsu ilmu dan nilai-nilai yang terkandung di dalam buku tersebut. Dan asal kamu tahu, aku juga butuh ‘makanan’ bergizi untuk mengenyangkan jasad dan rohaniku. Maka aku ‘makan’ tulisan-tulisan renyah nan menyehatkan itu.”

“Lha dalah, emang ente Jamaah Maiyah?”

“Entahlah, yang jelas aku hamba Allah.”

Tetiba dialog antara saya dengan rayap buyar, tatkala adzan maghrib berkumandang. Selamat berbuka teman-teman.

***

Usai berbuka, saya membuka kembali buku-buku karya Mbah Emha. Saya membaca dalam rangka menebus dosa. Dosa karena sudah lama tak mensilaturahminya.

Buku-buku Mbah Nun merupakan karya agung. Layaknya sumur ilmu-sawah nilai. Sayang kalau tidak ditimba. Bodoh kalau tidak diolah. Dengan membaca buku-buku Simbah, kita akan mendapatkan mutiara-mutiara hikmah. Meluaskan cakrawala, melapangkan dada, menjernihkan hati dan pikiran.

Memandangi tumpukan buku tersebut, saya jadi terheran-heran sendiri. Kapan dan bagaimana cara Mbah Nun menulis tulisan sebanyak itu? Padahal agenda rutin Maiyahan terus bergulir. Diluar itu jadwal undangan acara Sinau Bareng diberbagai daerah terus mengalir. Dan juga seabrek kepentingan di luar sana yang secara langsung atau tidak langsung memungkinkan Mbah Nun untuk ikut turun tangan ambil bagian.

Dari situ kita dapat mengambil satu kesimpulan bahwa seorang Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun adalah manusia multidimensional. Betapa tidak. Ia bisa memainkan peran apa saja. Sebagai penulis, penyair, sastrawan, budayawan, kiai, ulama, ‘dukun’, penasihat, motivator, public speaker, pendongeng, penyanyi, pelaku teater, dll. Dan kita semua kecipratan, ikut merasakan manfaat atas peran-peran yang beliau lakoni.

Mbah Nun juga serupa pekerja sosial. Kalau boleh menambahkan, mungkin lebih jangkepnya Pekerja Sosial Kemasyarakatan, disingkat PSK. MasyaAllah. Dulu ‘sekolah’nya di PSK (Persada Studi Klub), dan sampai sekarang tetap setia bekerja menjadi PSK (Pekerja Sosial Kemasyarakatan). From PSK to PSK.

Kenapa disebut PSK (Pekerja Sosial Kemasyarakatan), sebab waktu dan hidupnya lebih banyak diabdikan untuk menemani umat. Melayani masyarakat. Puluhan provinsi, ratusan kabupaten, ribuan kecamatan dan desa telah disambanginya. Hingga melanglang ke berbagai belahan mancanegara. Untuk apa? Untuk ‘mengelus-elus’ hati anak manusia. Agar apa? Agar urip-nya urup-bercahaya (mowo), tegak (hayya), luas (jembar) dan selaras (rampak) .

Tak hanya itu, Mbah Nun juga masih dimintai tolong banyak orang untuk memberikan nama-nama bayi mereka yang baru lahir. Dengan telaten dan sabar, Mbah Nun urunkan nama-nama yang bermakna baik, elok, terpuji, yang membuat mereka para orang tua senang hati. Untuk yang satu ini, sepertinya saya ingin ikutan mencoba. Kebetulan sang istri tengah hamil enam bulan. Nyuwun tulung njeh Mbah Nun.

Sebagai penutup, kami haturkan sugeng tanggap warsa kagem Mbah Nun. Semoga perjalanan selama 65 tahun, ditaburi cahaya oleh Sang Maha Penuntun.

Maturnuwun.

Lainnya

Topik