Fiksi Kok Nuduh Fiksi
Nakal juga berkaitan dengan kekayaan perspektif. Sudut, jarak, sisi pandang. Kenampuan zoom in dan zoom out, kelincahan mengambil angle gambar dari jepretan realitas. Keponakan saya namanya Bima, saya temani jalan-jalan lihat mbek (kambing maksudnya), dia tertarik pada sebuah batu. Batu itu dia bawa seperti harta berharga, dia bawa pulang, dia lihatin dari berbagai sisi sambil matanya berbinar. Kayak dia kagum bahwa itu benda yang sama bentuknya beda dari berbagai sisi, saya menikmati sekali kalau Bima sedang begitu. Dalam Sinau Bareng, kita diajak melihat dunia keras kepala batu itu dari sudut yang beda-beda, jadinya asyik. Kita gembira pada kenyataan, seperti Bima keponakan saya itu. Penuh ketakjuban, beda dengan gumunan.
Saya baru-baru ini, lagi senang ikut kelas statistik, ini rupanya mirip dengan yang namanya interpretasi data. Mbak yang mengajar statistik bahkan menyarankan, jangan kebanyakan baca buku kalau soal data. Baca saja data aslinya, pakai metodologi pembacaan yang pas dan cocok. Anda bisa saja menemukan interpretasi yang berbeda dengan interpretasi dalam penyajian data itu (buku, koran, televisi dlsb). Begitu katanya. Ini saya juga masih belajar, jangan dituduh sudah paham.
Mbah Nun menyontohkan, misal anda dengar kisah ketika kanjeng Rasulullah saw. bertanya pada para sahabat, di mana ibu-ibu yang biasa terlihat di masjid. Para sahabat memberi tahu bahwa ibu itu sudah meninggal, Rasulullah langsung menuju ke makam dan shalat ghaib. Ratusan tahun berlalu dan interpretasi kita terhadap data yang disodorkan itu cuma berkutat pada hukum fiqih baku soal boleh atau tidaknya sholat di kuburan. Itu tidak salah, itu juga satu interpretasi, tapi masa iya berabad-abad berlalu kita berkutat di persoalan itu melulu?
Padahal kita bisa menggali banyak data tambahan dari situ. Soal kemesraan dan cinta kanjeng Rasul pada ummatnya, pada orang-orang yang dianggap kecil oleh lingkungan sosial. Bisa juga kita cari tahu, siapa si fulanah itu? Bagaimana bentuk makam saat itu? Terjadinya tahun berapa hijriyah? Rasul sedang sibuk apa saat itu kok bisa agak terlambat menyadari? Ataukah berkaitan dengan sudah meningkatnya jumlah kaum muslimin dan muslimat? Banyak, agak-agak punya naluri Sherlockian sedikit boleh lho.
Miskinnya cara kita membaca data, kurang nakal minim imajinasi kawin pula dengan degradasi akhlaq. Orang kemudian mengangkat tokoh dari fakultas-fakultas interpretasi, hasil ijtihad pada masanya sendiri-sendiri. Kesadaran ketokohan, narsistik golongan, niat baik tanpa ketajaman pikiran. Jadilah kêrêngan, pertengkaran perdebatan tanpa henti. Masih adakah kegembiraan hidup jadinya?
Semoga tidak berdosa kita melihat wacana agama dari sudut pandang klasifikasi data. Intinya, kaum muslim disediakan Al-Qur`an dan As-Sunnah, yang posisinya sebagai data adalah data primer. Selebihnya, posisinya adalah–tanpa menyepelekan capaian para alim ulama–sekadar data sekunder, dia adalah data yang telah disajikan dengan interpretasi sang penyajinya. Ada proses dialektika ijtihad di situ, yang tentu sesuai panggonan zamannya. Belakangan, manusia ribut berantem berdasarkan data sekundernya masing-masing, kitab rujukan kelompoknya dengan tokoh-tokoh yang cocok dengan nilai grupnya.
Sedangkan orang awam seperti kami, kalau mau memesrai Al-Qur`an dan As-Sunnah, dipagari tembok tebal. Dicegah mendekati Qur`an karena itu hanya tugas mufassir dan mujtahid. Memangnya, siapa manusia yang bukan mufassir dan mujtahid? Hanya kemudian, etika penyajian data itulah yang perlu dijaga memang. Kalau hasil elaborasi sendiri jangan lantas dikoar-koarkan, atau dibuat status di socmed karena manusia beda-beda pengalamannya dalam berinteraksi dengan sumber data primer itu.
Maka itu dalam Ngaji Bareng, Mbah Nun selalu mengajak kita untuk khatam dengan diri sendiri, yang pada satu sisi juga adalah Al-Qur`an yang tidak bisa berhenti kita iqro`. Khotmil Qur`an pun dilantunkan juga oleh KiaiKanjeng pada Sinau Bareng di PAPP Zuhriyah malam itu. Sudah sampai mana khataman Qur`an pribadi kita?
Bahwa ramai disebut Islam akan menjadi 73 golongan. Menjadi terbagi, tapi bukan harus berarti pecah kan? Ini saya bicara tanpa bekal ilmu alat atau bahasa Arab, tapi masa maksudnya pecah saling berantem seperti sekarang? Rasanya kok susah saya percaya Rasulullah menganjurkan (meramalkan?) kita berpecah-belah. Justru terbagi 73 golongan itu menurut saya, menandakan betapa kayanya kaum muslim sebenarnya, betapa data primer Al-Qur`an dan As-Sunnah ini, bisa dibaca dengan berbagai metode interpretasi data.
Semuanya benar, semuanya pasti punya kekurangjangkepannya. Ada pedagang jajanan beragam, ada santri-santri salafi, ada NU dan Muhammadiyah. Ada sekeluarga yang bapaknya berpeci celana cingkrang, anaknya masih kecil berpakaian gamis dan istrinya bercadar. Banyak ibu-ibu yang anaknya tertidur di pangkuan. Remaja-remaja berkerumun memperhatikan sajian kemesraan, beberapa dari kompleks pemakaman. Aneka ragam yang hadir dalam Sinau Bareng, pun yang digelar di PAPP Zuhriyah. Bagi anak-anak, ini adalah uswatun hasanah yang bagus sekali. Metode pendidikan sendiri agar mereka tumbuh wajar melihat perbedaan. Tetap takjub, tidak gumunan.
Dari 73 golongan, satu yang selamat adalah yang tetap keukeuh dengan data primer kaum muslim dan hidup dalam jamaah, kebersamaan, silaturrohim, srawung dan bebarengan. “Ahlu sunnah wal jamaah” rasanya adalah sikap, bukan golongan sendiri. Karena dia adalah konsekuensi logis dari beragamnya pembacaan interpretasi data maka kita perlu bergaul dengan tafsir-tadabbur data yang sangat berbeda dari diri dan kelompok kita, memperkaya variabel perhitungan. Karena pasti kita punya ketidakjangkepan pembacaan, ingat bahwa manusia tempatnya khilaf. Maka itu kita Sinau Bareng.
Di manapun, kapan pun, perjuangan Sinau Bareng, Ngaji Bareng, seluruh lingkar Maiyah adalah perjuangan membangun kembali kebersamaan, hidup berjamaah yang sekian abad telah hilang oleh ideologisasi agama. Nakal-nakal sedikit supaya mesra sama Maha Pecinta.