Fiksi Kok Nuduh Fiksi
Entah kata yang tepat apakah nakal atau bandel? Karena memang detail-detail kata dalam capaian peradaban Jawa-Nusantara sudah sedemikian presisi sehingga beda pilihan kata sudah bisa melenceng pemaknaannya. Tentu, biasanya detail kata per kata dalam sebuah budaya juga berkaitan dengan pengalaman sebuah suku atau bangsa dengan objek yang dialaminya. Aduh, kenapa jadi teoritis begini ya? Maaf.
Intinya seperti saat Mbah Nun mencontohkan kekayaan kata dalam bahasa Jawa untuk menggambarkan berbagai proses dari padi, gabah, jadi beras, nasi dan seterusnya. Itu wajar kalau kita mengingat bahwa pengalaman budaya bangsa Jawa dengan padi sangat akrab. Tapi yang luar biasa memang, Jawa-Nusantara punya kekayaan bahasa seperti itu dalam berbagai hal.
Mbah Nun menjelaskan, bahkan huruf dan aksara sudah jauh-jauh hari dibedakan klasifikasinya oleh manusia Jawa-Nusantara. Aroma, indra yang entah kenapa paling kurang diperhatikan oleh budaya modern (capaian industri entertainment kita baru audio-visual lho, aroma belum pernah dicari medianya) itu saja manusa Jawa-Nusantara sudah detail, mana pesing, mana prengus, mambu, tengik dlsb.
Itu hanya salah satu dari berbagai hal yang dielaborasi dan dikupas dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam rangka milad Panti Asuhan Pondok Pesantren (PAPP) Zuhriyah. Bertempat di halaman masjid Sulthoni PAPP Zuhriyah, Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 10.
Ini kali kedua saya ikut Maiyahan atau Ngaji Bareng di tempat ini. Nampaknya para pinisepuh dan pendidik di PAPP Zuhriyah merasa pandangan-pandangan Mbah Nun, wacana Maiyah sangat dibutuhkan di tengah perjuangan mereka mendidik generasi muda. Memang, ketika beberapa tahun lalu saya ikut Maiyahan di sini, nampak para pemuda sangat antusias menyimak jalannya acara.
Malam itu pun juga, jangan-jangan yang dulu pemuda sekarang sudah tidak muda. Saya sempat mencari-cari kamar kecil, sempat menjumpai dan bertanya pada bocah-bocah yang bergerombol di sekitar lokasi acara. Saya bayangkan, kalau beberapa tahun lagi ada acara Ngaji Bareng atau Maiyahan di sini mereka sudah jadi pemuda. Pemuda yang sekarang, nanti sudah cukup matang. Antri-antrian generasi. Oiya, ngomong-ngomong saya gagal menjumpai kamar kecil hingga acara berakhir menjelang pukul 01.00 WIB. Tapi, rasa kebelet plus ngêmpêt, plus lapar, plus haus, plus capek sedikit pusing lama-lama tidak terasa lagi ketika saya menyeburkan diri pada tawa dan kemesraan di acara Sinau Bareng ini.
Percayakah anda bahwa dalam acara Sinau Bareng, justru Mbah Nun mengajak kita untuk lebih nakal? Bukan maksudnya nakal yang melanggar batasan norma dan akhlaq, saya merumuskan sendiri kategori nakal karena tidak sempat cek KBBI. Maksudnya nakal di sini, Mbah Nun mengajak para hadirin untuk lebih imajinatif, lebih liar berpikir, luas dan jembar.
Coba itu almaghfur Abdurrahman Ad-Dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari alias Gus Dur contohnya. Mbah Nun cerita bagaimana Mbah Nun memproses agar perjalanan Gus Dur ke tingkat Presiden saat itu lancar. Namun Mbah Nun meminta dua hal pada beliau, yakni agar persoalan Aceh beres dan pemangku kekuasaan politik negeri ini memutus hubungan ‘diplomatik’ dengan Kanjeng Ratu Kidul. Gus Dur mengaku sudah SMS-an sama Kanjeng Ratu Kidul, sehingga sekarang beliau (Kanjeng Ratu Kidul) berkenan jilbaban.
“Kalau anda mau belajar dari Gus Dur, belajarlah imajinasinya yang liar dan nakal-nakal begitu”, pungkas Mbah Nun.
Kenakalan pada satu sisi, juga adalah bentuk kemesraan. Asal kita tahu panggonan koordinat konteksnya. Mesra sama hidup, supaya bisa bercinta dengan Yang Maha Hidup. Sekarang orang banyak terlalu serius, nyeleneh pun juga serius, jadinya cuma supaya berkesan nyufi. Padahal bukan itu, kita bisa nakal bin imajinatif kalau kita sadar bahwa ini semua hanya lakon carangan. Ya, fiksi. Giliran sesuatu yang sakral, sekarang malah difiksikan.
“Fiksi kok nuduh fiksi?” kata Mbah Nun, disambut tawa para hadirin. Apa sih yang bukan lakon carangan fiksi? Apalagi sekadar fiksi yang diinisiatifi manusia sendiri, konsep negara misalnya. Santai saja, bisa kita nakal-nakal sedikit berpikir, kenapa sih harus pakai kata republik? Kok pakai Presiden sih? Memangnya negara dalam konsep para founding father itu tidak tercemar pendidikan Eropa? Memangnya Eropa mengalami pengalaman kultural kita? Jangan-jangan cara kita memandang sejarah masa lalu kita juga masih pakai kacamata pandang akademisi kontinental? Pembebasan dan merdeka pun, ala ideologi sana?
Berpikir macam begitu-begitu kan tidak salah, tidak lantas dramatis juga lantas mau kudeta pemerintah. Santai saja, buat apa boros tenaga mengkudeta pemerintahan yang fiksinya kuadrat?