Emergence Semut-Semut Maiyah
Strategi Hidup, Membuka Ruang Inklusif
Malam itu ada perwakilan dari diskusi Martabat, Buletin Mocopat Syafaat dan Nahadlatul Muhammadiyin. Ya ampun, dari lik Tripan saya baru sadar, NM sudah tujuh tahun usianya. Masih fresh dalam ingatan saya ketika pada sebuah MS, NM diresmikan (atau milad pertama?). Para sesepuh termasuk Mbah Nun di atas panggung, dihujani hujatan, cemoohan, tudingan sesat, merusak pikiran ummat dan lain sebagainya oleh seorang pemuda. Mbah Nun bergeming, duduk persis dengan posisi duduk beliau pada malam ini.
Itu acara NM, saya sedang bersama dengan seorang sahabat saya Dede Babik panggilannya. Sejak lama dia mau ikut Maiyahan tapi baru kali itu berkesempatan hadir, eladalah kok dapat beginian. Dede Babik ini, pentolan tawuran juga. Tanya aja Mas Angga yang mewakili diskusi Martabat. Kok tanya Mas Angga? Iya, sebab ternyata belakangan saya tau bahwa Dede ini kawan SMA-nya Mas Angga.
Segar dalam ingatan saya, waktu itu saya lagi giat-giatnya nyufi. Baca Rumi sampai At-Tar, sampai Hallaj, sampai Al-Baghdadi. Waktu libur lebih banyak sowan kiai sana-sini. Jadi sedang sok bijak makrifat menenangkan Dede “Sing jembar, sabarrr…”
Apa kabar pemuda itu? Yang dibiarkan oleh Mbah Nun bicara sampai habis bahan omongannya. Dan saya saksikan sendiri, karena duduk di barisan paling depan, dia (sang pemuda, bukan Dede Babik) terpaku di panggung. Bingung mau ngomong apa. Akhirnya dia taruh microphone ke depan Mbah Nun, yang langsung diambil dan Mbah Nun hanya mengucap singkat, datar. “Uwis lehmu ngomong? Ora ta jawab yo le, soale nek ta jawab salahmu akeh, ndak kowe isin dewe”.
Pemuda itu, mencium tangan Mbah Nun dan… pergi. Saya tegaskan dulu, jangan dramatiskan ini seolah kejadian magis ngeri-ngeri. Tapi saya kagum kemantapan psikologi Mbah Nun. Apa yang dimaksud “salahmu akeh?”. Butuh waktu lama, akhirnya saya sadar karena kita emosi, kita luput mendengar detail ayat-ayat yang dibacakan pemuda itu untuk menghujat Maiyah dan Mbah Nun. Mbah Nun mendegar teliti–susah teliti kalau kita emosi dan tidak tenang–ayatnya banyak salah baca!
Kekaguman kedua datang ketika pemuda itu sudah pergi, Mbah Nun bertanya pada jamaah. Emosi tidak melihat seperti itu? Saya yang sedang nasawwuf gitu-gitu ya gegayaan dalam hati “ndak kok sabar kita mah”. Tapi Mbah Nun bilang, “Ya emosilah, edan po ndak emosi ndelok bocah ngunu?” Tapi emosi ditampung dalam ruang batin, produk ekspresi ditata, akal sehat tegak. Jangan sok sabar seolah sudah boddhisatva tercerahkan kayak saya dulu itu, malu sendiri jadinya.
Pemuda itu sekarang bagaimana kabarnya? Setelah saya pikir lagi, salut juga sama mental kendelnya. Untung di Maiyahan. Entah apa yang terjadi kalau itu dia lakukan sekarang di jamaah lain. Apalagi di tengah orang yang menganggap ulamanya dan tokoh sepuhnya sudah seperti sepupunya Gusti Allah. Membayangkannya saja kok, ngilu.
Dua poin yang saya dapat malam beberapa tahun lalu itu; meruang bahkan berikan ruang pada diri sendiri, pada kemarahan, pada emosi, dinamika dan konflik. Namun kemudian berstrategi politik kecil-kecilan mengalahkan diri. Produk yang keluar mesti presisi pas timing, momentum dan konteks. Rupanya justru pada malam dingin bulan Juli 2018 ini bahasan itu ditegaskan oleh Mbah Nun.