Emergence Semut-Semut Maiyah
“Takabbur pada masalah itu harus,” ujar Kiai Muzammil. Mendekati wajib mungkin kalau mendengar dari nada bicara Sang Kiai Madura anarkis ini. Takabbur diartikan sebagai sikap menjadi lebih besar dari permasalahan dan sumber masalah, terutama mungkin NKRI. Beliau sedang urun sumbangan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari beberapa sedulur JM pada Mocopat Syafaat 17 Juli 2018 M ini. Siapa saja yang bertanya, saya kurang bisa menangkap dan luput mencatat karena baru saja menunaikan hasrat undangan alam ke kamar kecil. Istri saya yang kalau sedang ikut ber-Maiyah, selalu jadi andalan saya untuk mencatat (rajin mencatat dia, pilihlah istri seperti begini, tapi kalau dia ini untuk saya saja). Tapi saat saya kembali ke tempat, rupanya sudah tertidur pulas.
Aduh, luput beberapa poin, karena saya terlalu mengandalkan dia. Saya jadi bermuhasabah, bahwa istri saya tidak punya kewajiban untuk mencatat. Dan kalau catatan poin-poin Maiyahnya saya pinjam untuk membantu membuat reportase, itu statusnya shadaqah. Sama seperti kalau dia membersihkan rumah, mencuci pakaian, masih juga bekerja, mengandung dan melahirkan anak (kami belum punya anak, mohon doanya), itu semua adalah shadaqah.
Kita tidak bisa mewajib-wajibkan orang lain (pun bini sendiri atau suami sendiri) untuk terus bershadaqah pada kita. Dan betapa tidak tahu dirinya kalau kita tidak punya cita-cita membalas shadaqah itu dengan yang (seperhitungan kita) sebanding. Kaum perempuan adalah yang terbesar saham shadaqahnya pada kehidupan. Saya dan bini mengelaborasi komseo shadaqah dalam berumah tangga, berdasarkan beberapa wacana di Maiyah, ya seperti itu. Pak As’ad yang pembeber kloso di Suluk Surakartan dan turut mendampingi kawan-kawan Martabat di panggung malam itu punya konsep berbeda soal rumah tangga dan negara.
Kehadiran Mbah Nun dan KiaiKanjeng, Pak Toto dan Pak Mustofa W Hasyim, dan Kiai Muzammil pun adalah shadaqah untuk jamaah. Tidak ada keharusan. Lagi pula siapa manusia bumi ini yang berani mengharus-haruskan dan mewajibkan?
Posisi, maqom tempat berpijak dari sudut shadaqah ini, yang pada malam ini juga diberi penekanan oleh Mbah Nun antara manusia dan negara. Manusia-manusia Nusantara ini sebenarnya beres saja hidupnya tanpa perlu ada negara. Maka kalau mereka memutuskan untuk mematuhi regulasi, menghormati undang-undang bahkan bikin KTP sekalipun, semuanya itu adalah bentuk shadaqah. Karena beda dengan regulasi dari Allah yang oleh Allah diciptakan untuk kebaikan manusia sendiri, regulasi negara apalagi setelah mengadopsi bentuk nation-state (trend nation-state mula populer sejak 1920-an berpuncak 1940-an di Eropa, kita memang ikut trend aja pada masa itu) seperti NKRI ini jauh lebih banyak untuk kepentingan makluk imajiner bernama negara itu daripada pertimbangan untuk kemaslahatan manusia.
Emergence Maiyah Pada Era Pasca Negara
“Kalau anda perhatikan semut, mereka kalau jalan ketemu temannya salaman. Itu mekanisme untuk mengecek, peranan kawannya itu dalam komunitas. Kalau pada pola hitungan tertentu, dia tidak menemukan peran prajurit, misalnya maka dia memutuskan secara mandiri bahwa dia perlu jadi prajurit. Itu emergence,” Mas Sabrang menggiring penggalian.
Sederhananya, peran kemasyarakatan diambil berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bukan karena ingin ada dan pengin jadi sesuatu. Kalau butuh negara ya bikin negara, kalau sudah ndak butuh, ya jangan dibutuh-butuhin. Sekarang terlalu banyak hal yang diada-adakan tanpa benar-benar ada kebutuhan akan keberadaannya.“Anda lihat kenapa orang ribut soal Islam Nusantara. Kita tidak sedang posisi dukung atau anti. Tapi pertikaian yang muncul kan dengan pandangan seolah-olah ini pari, bukan sekadar sego.” Ujar Mbah Nun, seinget saya, sekali lagi. Karena luput catatan.
Kata “pari” dan “sego” dijadikan perumpamaan oleh Mbah Nun mengenai satu “produk tangan pertama” dari Allah Swt sendiri, dalam hal ini Islam. Kemudian “sego” sebagai produk turunan yang berasal dari ijtihad manusia. Islamnya ya pasti benar, tapi aplikasinya, turun-turunan penafsiran, pengkitaban, pengkanonan, pendataan, penerapan dan seterusnya itu ya produk manusia. Dia bisa jadi gelombang An-Nahda (Mesir pasca penaklukkan oleh Napoleon, yang kata ini dibawa oleh Kaum Muda ke sini), Ikhwanul Muslimun, Muhammadiyah, NU, LDII, HTI, MTA dllsb. Maiyah pun posisinya juga seperti ini. Semua bisa benar bisa salah. Bisa saja kurang jangkep perhitungan. Bisa luput pemetaan persoalan atau luput timing dan momentum. Dan bisa banyak kemungkinan kurangnya daripada sempurnanya tentu saja.
“Makanya di Maiyah kita tidak meributkan kebenaran. Tapi senang, bersenang-senang yang mugo-mugo disenangi Gusti Allah”.
Bagi Mas Sabrang, membangkitkan kebahagiaan dan kesenangan hidup itu justru adalah emergence Maiyah pada dunia, karena hampir tidak ada yang mengambil peran itu sekarang ini. Rata-rata orang ingin benar, bukan ingin senang.
“Kalau orang senang, kreativitasnya bisa melonjak 10 kali lipat dalam ranah-ranah yang dia konsentrasi. Ini belum terlihat sekarang. Orang sekarang banyak menuntut peranan untuk perubahan itu yang ketok moto. Antara demo protes atau jadi politisi, nyaleg, istilahnya berjuang dalam sistem. Padahal ada pola perjuangan yang tidak seperti yang dikenal mainstreamnya manusia. Itu emergence Maiyah di situ menurut saya,” ujar mas Sabrang.