Eling Bèn Waspodo, Tafsir yang Menggembirakan
Ketika melihat Masjidil Haram yang megahnya masyaAllah itu terbersitlah kekaguman, ingin membawa kemegahan serupa ke tanah asalnya. Dan ini tentu dengan didasari oleh niat suci (tapi kurang jangkep) untuk berdakwah, untuk membangkitkan kekaguman pada peradaban Islam yang tengah diserang habis-habisan, sedang sangat diantagoniskan, sedang banyak jumlahnya tapi ruang geraknya selalu dicurigai. Semua saling berkelindan, kekurangpahaman sejarah atau, kekurangwaspadaan melihat versi sejarah bahwa kemegahan masjid-masjid sebenarnya baru terjadi pada era pasca Rasulullah Saw karena ummat Islam mulai mengadopsi nilai kemegahan Romawi serta sastra Persia juga berpengaruh. Kitab-kitab rujukan kita kebanyakan ditulis dengan gaya kesadaran Persia walau isinya berbahasa sastra Arab. Untuk inilah kita perlu “eling bèn waspodo”.
Mbah Nun justru mengajak kita untuk lebih bisa membawa Mekkah dan Madinah di dalam hati. Karena dua kota tersebut dijanjikan oleh Rasulullah Muhammad Saw sebagai tempat yang tidak bisa dimasuki oleh Dajjal. Mekkah dan Madinah yang sekarang, kalau boleh kita sebut sebenarnya sudah tidak berjiwa Mekkah-Madinah seperti kesadaran tata kelola komunalitas desa yang dibangun Muhammad Saw.
Kalau kita perhatikan sikap-sikap Muhammad Saw, sebenarnya akan kita temukan banyak sekali nilai-nilai pedesaan di dalamnya. Kota selalu berbeda satu budaya dengan budaya lain dan dialah yang kemudian jadi identitas peradaban serta diakui sebagai jejak sejarah. Tapi desa justru adalah jaringan trans-global kebatinan, baik desa Eropa, desa Amerika, desa Jawa, desa Arab selalu seperti satu jejaring yang tak bisa diputus. Saya masih akan kesulitan menjelaskan ini dalam tulisan, tapi hal semacam ini tampak jelas kok. Jadi ketika ada wacana “desa mowo coro, negara mowo toto” tepat sekali Mbah Nun mejelaskan bahwa kalaupun negara masih gagal “mowo toto” tapi desa tidak pernah tidak “mowo coro”. Banggalah sebagai orang desa, kemuto dikit yah sesekalilah. Tersilau sedikit oleh kemegahan biasa itu kata Mbah Nun, “Nanti juga pasti mbalik ke desa lagi ke desa lagi”.
Gus Ato yang menyampaikan beberapa materi di awal acara, mendaku diri sebagai murid Mbah Nun sejak 1999. Beliau membaca semua buku Mbah Nun. Dari sini mungkin Gus Ato ini mendapat kewaspadaan berpikir, sejak awal Sang Gus ini mengajak warga untuk berhati-hati pada godaan yang “seolah menyelamatkan tapi sesungguhnya menjerumuskan”. Ini disambung oleh beliau dengan sekarang ini dana desa mengucur sangat lancar tapi bila kita tidak hati-hati bisa justru mengikis sifat kedesaan itu sendiri. Mungkin di antara orang-orang yang bertugas mengiringi jalur dana desa dari pusat ke daerah-daerah juga ada yang berkesadaran seperti itu tapi mungkin tidak begitu kedengaran. Saya masih ingin percaya bahwa pasti tetap ada orang-orang baik yang berada di dalam sistem.
Jangankan begitu, ketika dulu tanah Jawa diserbu oleh investor-investor dunia yang menyewa lahan-lahan pribadi para pribumi untuk jadi lahan produktif, masih ada usaha penyelamatan budaya komunal itu di kalangan birokrat Hindia-Belanda yang mengucurkan dana bantuan usaha pribumi ke seantero Jawa. Hasan Mustafa sempat mengantarkan Hurgronje berkeliling ke jaringan pergaulannya di Jawa bagian tengah ke timur hingga Madura. Hasan Mustafa yang budayawan sufistik Sunda ini punya banyak jaringan pergaulan di sekitar sana karena dia juga pernah nyantri ke Syaikhona Kholil Bangkalan.
Dalam suratnya, Hasan Mustafa menyebutkan bahwa Hurgronje sahabatnya itu membawa sejumlah uang untuk dibagikan. Mungkin ini berkaitan dengan dana bantuan usaha pribumi itu, dan mungkin itu adalah hal terbaik dari yang terburuk yang bisa dilakukan karena geng konservatif yang mempertahankan tanah komunal desa sudah tidak punya suara diserbu golongan politisi liberal. Kita perlu mengkaji anggaran pengeluaran dan belanja negara pada era Hindia-Belanda memang. Banyak detail yang perlu kita presisikan dalam pemahaman sejarah kita.
Yah, tapi hidup di desa tidak mudah memang. Reportase ini saya tulis agak terlambat dan harus segera saya ending-kan karena harus menghadiri kenduren di tempat tetangga. Mertua saya mulai meneror karena saya sering absen pada kegiatan warga. Bersosial-komunal sebenarnya agak berat buat saya dan entah dari mana datangnya sifat seperti itu. Tentu saja saya juga tergoda untuk menghindari kegiatan-kegiatan sosial yang tidak saya senangi dengan berbagai pembenaran, dalih dan dalil. Saya bisa cari ayat, atau bilang bahwa kegiatan-kegiatan semacam tahlilan, kenduren dan sejenisnya ini dulu adalah tinggalan era culturesteelsel (yang belum tentu benar juga sih) dan banyak lagi.
Mungkin begitu sebenarnya kenapa orang jatuh pada purifikasi agama atau tafsir garis sekeras wahabi. Aslinya orang hanya membenarkan kesukaan dan ketidaksukaanya dengan nilai-nilai dan pengetahuan. Aslinya hanya dramatisasi kebenaran. Ah andai saya wahabi, mungkin saya bisa memberi argumen anti-tradisi yang lumayan ciamik dari yang ada sekarang ini. Tapi saya tidak ke wahabi atau ke kubu lawannya, karena yang melawan wahabi juga bisa saja terjebak pada hal semacam ini. Dan kita yang tidak keduanya bisa terjebak juga. Intinya memang seperti Mbah Nun pesankan bahwa kita mesti mengasah sensor diri kita sendiri. Asah terus, jangan kasih tumpul!
Saya memutuskan menyudahi tulisan ini dan bersegera berangkat kenduren karena teringat Mbah Nun berpesan, “Orang yang menuju kemuliaan adalah orang yang mau melakukan apa-apa yang tidak dia senangi, dan mampu menahan diri untuk tidak melakukan apa yang dia sukai”. Lagipula teror mertua juga semakin menakutkan.
Sinau Bareng memberi kita kemampuan untuk sanggup mengatasi diri kita sendiri. Jadi saya berangkat saja ke kenduren. Demikian.