CakNun.com

Eling Bèn Waspodo, Tafsir yang Menggembirakan

Reportase Sinau Bareng di Dusun Langkap, Desa Papringan, Kaliwungu, Semarang, 21 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Mbah Nun sering bercerita pada kita mengenai kedahsyatan manusia Jawa-Nusantara, ya? Tapi saya tidak bisa membayangkan sebelumnya bahwa kedahsyatan itu adalah meng-gathuk-kan segala persoalan dari kartel, bandar internasional di Singapura, keuangan negara, harga saham hingga Syekh Siti Jenar. Membelalak mata saya yang sayu ini.

Berat sekali jadi waliyullah di negeri ini. Pikir saya, yang benar saja urusan dunia sudah selesai, eh masih didatangi terus buat nanya taruhan bola? Kapan istirahatnya coba? Tapi obrolan dengan bapak itu masih mengalir dan dia cerita mengenai yang mana makam Syekh Siti Jenar yang asli, cirinya gimana, letaknya di daerah apa. Dan ujungnya bagaimana dia menang dengan bertanya pada sang Syekh pencetus konsep Manunggaling Kawula Gusti itu.

Mbah Nun juga punya banyak sekali referensi mengenai kisah Syekh Siti Jenar dan berbagai versinya. Dari Syekh Siti Jenar sebagai aktivis kebatinan hingga komrad revolusioner, atau ada juga versi bahwa dia sebenarnya adalah Sunan Kalijaga yang menyamar. Banyak, kita ini kaya sekali dengan ragam versi cerita, masa beginian tidak dianggap harta? Kita tidak miskin, kita sangat sugih. Orang yang terlanjur bepikiran post-kolonialis seperti saya, bisa saja mengambil kesimpulan bahwa kisah Siti Jenar adalah mimikri budaya pada era industrialisasi percetakan, di mana para pemodal percetakan kebanyakan berkiblat pada naskah Eropa yang suka sekali cerita mengenai santo atau orang suci yang dimartirkan atau martyrdoom. Tapi tentu itu juga satu versi saja, kebetulan saya sedikit banyak percaya dan bukan berarti selainnya salah.

Asyiknya ketika kita Sinau Bareng ya begini, entah kenapa versi lain yang tidak seperti kita anut tampak menjadi sama menyenangkan. Kita tidak–sekali lagi–dramatis dengan urusan salah benar.

Sinau Bareng malam ini di hadapan warga Dusun Langkap, Desa Papringan, Kaliwungu, Semarang, seperti juga selalunya terasa meriah. Penjaja jajanan berlalu-lalang dan bahkan seorang penjual kopi lewat di depan panggung dengan teriakan “kopi panaaaasss”. Suaranya masuk ke sound dan terumumkan ke seantero penjuru cakrawala. Semuanya menyenangkan.

Tapi tentu walau kita menjadi ruang yang menampung segala macam versi kebenaran itu, kita juga perlu satu paket. Kita perlu komplit membekali diri dengan kewaspadaan, bukannya apa. Belakangan ini banyak juga versi kebenaran yang ditunggang-tunggangi. Maka “eling bèn waspodo” itu juga salah satunya aplikasi dari pemahaman di berbagai majelis Maiyah, bahwa taqwa artinya waspada.

Presisi selalu, kita diajak oleh Mbah Nun untuk bisa mengukur diri sendiri, “Mana pelit mana hemat? Mana istiqomah, mana keras kepala?” dan banyak lagi. Kita bisa simulasikan sendiri misal “mana Nusantara, mana NKRI. Mana negara, mana perusahaan?” hingga sekarang, kecarut-marutan pemahaman sejarah kita juga terjadi karena kita jarang membagi mana kebijakan Kerajaan Belanda dan mana kebijakan Hindia-Belanda. Padahal itu jelas dua entitas yang berbeda tapi satu juga atau seperti tulisannya Mas Helmi “bersatu-satu tapi beda”. Kalau itu sih orang politik sepertinya ya?

Intinya banyak hal yang tampaknya sama tapi sangat berbeda dan itu hanya bisa dilihat dalam kandungan niat batinnya. Dan siapakah yang bisa menilai batin? Ya hanya Allah sahaja. Dalam ilmu psikologi, kadang niat itu sendiri tidak begitu dipahami oleh sang empunya sikap, akal jiwa manusia selalu berlapis-lapis kerumitannya. Maka pemahaman bahwa Allah-lah Yang Maha Tahu, adalah penyelamatan jiwa manusia dari menggilanya peradaban. Maka Mbah Nun menyarangkan agar kita “kudu punya sensor yang sangat halus untuk diri sendiri”.

Kita juga perlu mewaspadai diri kita sendiri, atau bahkan niat baik kita sendiri pun perlu kita ukur-ukur jangkauan kebaikannya. Mbah Nun bercerita, saaat perjalanan beliau dari Ponorogo hingga ke wilayah Sinau Bareng ini tadi Mbah Nun menyaksikan bangunan-bangunan desa yang tampak mewah-mewah bahkan banyak cafe yang free wifi. “Jebul saiki ki wong deso wis kemuto,” ujar Mbah Nun. Itu bukan soal baik-buruk sepertinya. Seperti di desa tempat saya tinggal, banyak orang desa juga ingin punya bangunan-bangunan, infrastruktur bahkan masjid yang megah seperti yang mereka lihat di kota-kota. Sedangkan, dari mana bisa orang kota mengarah ke sana? Biasanya itu dari kelas menengah yang setelah ekonominya mapan sering berlibur ke luar negri atau bahkan dari perjalanan berhaji.

Lainnya

Exit mobile version