CakNun.com

Elang Jawa Bebrayan, Menukik pada Kedalaman

Reportase BCS Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng, 5 April 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 7 menit

“Bungkus atau isi?” Tanya Kanjeng Sunan pada dua pihak yang sedang bertikai memerebutkan tahta sah tanah Jawa pada masanya. Pertanyaan ini tidak soal benar-salah. Tak bisa lagi menetapkan siapa salah dan siapa paling benar dalam persoalan, karena dia adalah pucuk dari lipatan konflik, tumpukan warisan permasalahan. Danang Sutawijaya alias Panembahan Senopati dan Aryo Penangsang, adalah generasi yang menuai panen persoalan tak tuntas generasi-generasi sebelumnya.

Penggalan kisah ini mungkin kurang bisa dibuktikan secara empiris sebagai data sejarah valid dalam wilayah akademis. Tapi sebagai pesan “memanah masa depan”, dia penuh hikmah. Kita tahu kemudian, peradaban kita selanjutnya berlangsung dengan kesadaran bungkus. Sampai kapan?

“Malam ini saya mau mengajak kalian semua untuk revolusi. Revolusi yang saya sebut revolusi substansi, revolusi oyot”.

Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Mbah Nun saat berada di panggung, setelah menyapa para suporter PSS Sleman, laskar BCS—yang kemudian atas jasa Mas Fahmi KC melalui IG dan Bung Arul—saya tahu adalah singkatan dari Brigada Curva Sud. Tak perlu ditelaah lebih dalam, secara bahasa jelas, curva pasti merujuk pada bentuk stadion dan sud (south) selatan. Kesimpulan saya, mereka adalah suporter militan yang bermaqom di sebelah selatan stadion. Saya awam soal sepak bola dan suporter, kalau ada salah mohon dimaafkan.

Edan pikir saya, mau bicara substansi ke kumpulan suporter? Bagaimana itu? Mbah Nun sering bercerita tentang pengalaman beliau bermain sepak bola tarkam di Jombang. Saya tidak pernah menonton Mbah Nun bermain sepak bola, tapi tampaknya beliau mestilah seorang yang handal menggocek bola.

Seperti menggiring bahan diskusi Sinau Bareng, satu persatu bahasan  dilewati, dioper ke rekan satu tim, mengalir kembali, satset-satset, tampak meliuk ke kiri dan ke kanan, umpan ke sana terima di sini, lari kejar ke situ ambil lagi, arahkan ke tawa, ke haru, ke ruang pada waktu, dengan jurus yang dengan sangat jujur mengoceh mata angin. Tapi goal tauhid selalu adalah tujuan utama.

Kalau dalam catur, ada beda permainan Mikhail Tal, Kasparov dengan Fischer apalagi kalau pemain catur kekinian seperti ahli permainan waktu cepat (blitz) Magnus Carlsen. Beberapa pemain konsentrasi menguasai wilayah tertentu pada lapangan catur. Spasky master of middle game prinsipnya mirip “khairul umuuri awsatuha”. Fischer konsentrasi dengan konsep puasa dan menahan, Tal adalah ular yang membelit. Semua tujuannya sebenarnya mengincar skak mat (shah mat? Ada yang bilang istilah ini berasal dari sentimen orang Eropa pada kerajaan Islam di Hindustan). Saya lebih akan menikmati kalau stasiun tivi kita menayangkan pertandingan catur daripada sepakbola, tapi sepertinya itu tidak akan terjadi pada waktu dekat ini. Tak apa, toh sudah zaman internet juga. Pertandingan Carlsen vs Anand di New York bisa saya tonton live dengan modal paket data sebulan ludes sekejap.

Seorang ratu di Eropa (Spanyol kalau tidak salah ingat saya) bertanya kenapa itu queen dalam catur bergerak cuma selangkah-selangkah, ketika nonton para menterinya main catur. Sang ratu tersinggung, ketika dikatakan “Karena dia perempuan” lantas berubahlah tradisi catur lama menjadi seperti yang kita kenal sekarang.

Dua paragraf di atas adalah contoh gocekan bola dari saya yang menuliskan ini. Variasi permainan saja, tidak dibaca juga tidak masalah. Dan menunjukkan betapa tidak lihainya saya menggocek bola. Saya tidak pernah bisa main sepakbola. Inti yang mau saya tuliskan tetap adalah aroma nuansa, gejala dan sapuan-sapuan kebersamaan, bebrayan perjalanan para laskar pendukung Elang Jawa kepada kedalaman samudera batin mereka sendiri-sendiri dalam acara BCS Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng pada Kamis malam, 5 April 2018 Masehi, di lapangan Pemda Sleman, Yogyakarta.

Sepak bola, Cinta dan Dedikasi, adalah kata kunci yang dipilih oleh panitia untuk dielaborasi bersama. Ini saya sedang menyicil kewajiban 5W1H. Saya lebih suka menulis nuansa tapi juga jangan dituduh penganut sastrawi dalam jurnalistik. Hanya karena saya suka shalat, jangan tuduh saya muslim sebagaimana jangan suka nuduh orang kafir. Ya ampun, kontradiksi itu kadang asik, oper ke kiper untuk serang ke depan. Korbankan ratu, incar raja.

Nah, kontradiksi. Bagi saya yang awam sepak bola ini, mengajak suporter sepak bola pada pada kedalaman substansi itu aneh dan kontradiktif. Tapi ternyata bisa dijodohkan pada Sinau Bareng. Pilihan kalimat Sinau Bareng tidak sekadar basa-basi. Memang yang terjadi adalah Mbah Nun menggali dari apa yang telah ada pada diri BCS sendiri. Dan yang mengejutkan (saya sih terkejut), clue-clue untuk menuju goal tauhid (dan) bebrayan sudah mereka miliki sendiri. KiaiKanjeng pun, bukan sekadar pemusik penghibur yang tugasnya hanya memanjakan kuping atau hanya sekadar pemanis supaya orang mau ikut ke acara pengajian. KiaiKanjeng ini juga men-sinau-ni theme song PSS Sleman, menggali nada dan lirik, dan melantunlah:

”Pernahkah kau merasa
Melihat secercah cahaya
Mimpi di depan mata
Super Elja pasti kan juara”

Lagu ini dipuji betul oleh Mbah Nun dan saya pribadi sangat sepakat. Saya baru pertama kali mendengar theme song ini. Ada diksi “merasa” disambung dengan “melihat” ada kata “mimpi di depan mata”.

Ini lirik yang kontradiktif logika tapi matang rasa nuansa. Siapapun yang membuat lirik ini, mesti berjiwa kedalaman tani desa sekaligus memahami raungan samudera. Jelas Jawa-nya. Jelas Nusantara. Jelas bukan sudut pandang kontinental yang konseptual beku. Kalau pola pandang beku, yang kontradiksi sulit dinikahkan, ujungnya-ujungnya mau menikah sesama jenis. Demokrasinya berakhir dengan tirani demokrasi yang tidak memberi ruang pada yang (dianggap) anti-demokrasi.

Konsep musik melayani dan memfasilitasi bebrayan, juga membersamai berbagai usia. KiaiKanjeng sempat melantunkan hits-hits dari era 40-an hingga yang paling kekinian. Seorang Mbak berjaket jeans di belakang saya ikut bersenandung dan terdengar hapal hampir semua lagu. Suaranya merdu sekali. Tapi tiba-tiba seorang hadirin kepeleset di dekatnya dan Mbaknya malah latah, “E… lontongg! E… lontong…”. Itu sedikit sapuan suasana yang menyenangkan malam itu.

Manusia Nusantara akrab saja dengan hymne tapi menggelegarkan nuansa mars. Anarkis sekaligus nasionalis. Bisa slendro, bisa pelog, bisa gregorian, itu KiaiKanjeng begitu. Tinggal atur aransemen pranoto mongso-nya, niteni titi wanci tempo. Badai sudah akan datang, malah melaut. Manusia Nusantara begitu.

Sepertinya Gusti Allah mengutus bukti soal tema Cinta dan Dedikasi ini, pada saat seorang pemuda berdiri gagah. Bonek sudah berubah katanya. Bonek tidak seperti yang dulu lagi, tidak ngawur-ngawuran militansi moralitas kawanan. Bonek telah bertransformasi bermartabat.

Setting dialektika Mbah Nun ketika menyapa pemuda itu spontan berubah jadi Jawa Timuran (kita berdamai saja dulu dengan pembagian Jawa timur, tengah, barat ala modern).

“Koen Bonek ta?”

“Nggih Cak!”

Mantap, tegas, bermartabat, berani, kendel, lurus. Itu! Saya sebut dedikasi. Dia tidak ingah-ingih bahkan di hadapannya ada bergelombang-gelombang suporter tim lain. Saya kurang mengerti konstelasi hubungan antar suporter. Apakah suporter PSS memang sahabatan dengan Bonek atau bagaimana?

Jumlah hadirin juga tidak saya hitung. Tapi untuk gambaran, itu lapangan Pemda Sleman sudah tidak muat hingga banyak hadirin yang berada di jalan sekitar lapangan. Operan umpan lambung dedikasi-militansi sang Bonek, diterima sangat baik oleh tim tuan rumah suporter Super Elja, dilanjut dengan tepuk tangan dan riuh hangat, pelukan mesra tak tampak. Apresiasi membahana. Itu saya sebut cinta. Cinta dan dedikasi, Allah tunjukkan langsung, empiris! dalam peristiwa singkat tersebut. Goal! Kejayaan bagi semua tim. Militan pada isi.

Saya belum bisa membayangkan ada kejadian serupa kalau ada orang Wahabi di pengajian Aswaja, atau sebaliknya seorang Aswaja di kajian Wahabi. Jangan-jangan suporter sepakbola sebenarnya punya kedewasaan lebih daripada aliran-aliran keagamaan kita. Ah, tak perlu dipertentangjan juga, tak usah mempertentangkan konde dan jilbab, karena siapa tau dalam jilbab ada konde. Atau yang kondean sesekali jilbaban.

Itu lihat konde, eh, kode-kode identitas yang bertebaran di antara hadirin. Peci Maiyah, tidak berarti menandakan pasti orang Maiyah. Ada yang berseragam Banser, jersey (istilahnya jersey kan yah?) suporter Elja tentu. Ada yang menikahkannya dengan serban diselempangkan, ada songkok melayu, sarungan ala santri, ada yang dengan atribut padepokan silat.

Di luar tanda-pertanda, ada ibu-ibu yang sambil menyusui anaknya, ada bapak yang mengajak sekeluarganya. Penjaja makanan dari sosis bakar sampai kerak telor, angkringan, intel. Gadis-gadis remaja sampai ibu-ibu muda dan ibu-ibu senior semua mulia sebagai wanita. Pak Polisi yang bertugas mengamankan tampak sangat menikmati juga. Ah ya, banyak dan beragam sekali kalau mau disebut satu demi satu.

Beragam pertanyaan pun bermunculan sesuai dengan latar belakang pikiran dan kesadaran masing-masing penanya. Dialektika hubungan cinta dan dedikasi, ekspektasi suporter, transformasi dari sepak bola kultural ke sepak bola industri (dan semua bidang lainnya).

Mbah Nun memberi cakrawala pandang agar kita mengenal batasan. Sebagai suporter konsen pada maqom itu, hal-hal konkret perlu dilakukan, khusyuk dalam setiap detail gerak. Hal di luar sana, ekosistem negara yang tidak kondusif untuk benih-benih potensi dan bakat, kepemimpinan yang tak pernah jadi pengayom atau berbagai hal ketidak jangkepan lainnya biar jadi pengetahuan tambahan yang tidak menjajah kedirian kita.

Dari pihak BCS sendiri menyampaikan bahwa para suporter telah berupaya sebisa mungkin memperjuangkan kedaulatan dirinya. Tidak bergantung pada APBD, menciptakan kegiatan-kegiatan kondusif bagi para suporter dan itu sesuai dengan masukan-masukan dari Mbah Nun. Tinggal kemudian dijangkepin soal batin. Transformasi dari Slemania menjadi BCS pun diusahakan sebaik mungkin, meminimalisir konflik walau tentu ada sedikit. Hal seperti ini diapresiasi oleh Mbah Nun, karena orang zaman now banyak sulit memahami proses transformasi.

Ketika ada bandara dibangun di Kulon Progo oleh perusahaan Angkasa Pura dan diresmikan presiden, mau tidak mau terjadi transformasi budaya masyarakat. Mbah Nun diminta menemani proses kesadaran warga YANG TERLANJUR menerima perubahan itu. Dan kita menyaksikan Mbah Nun malah dituduh membujuk warga. Betapa sulitnya orang berpikir gradatif sekarang ini. Padahal pola pikir gradatif adalah khas manusia tropis-khatulistiwa dua musim.

Kita kehilangan banyak karakter khas kita. Medmas, medsos, ideologi modern, pola pendidikan, tata perundang-undangan, wacana agama-spiritual yang memadat, reproduksi kisah pemitosan sosok orang keramat, dan banyak hal lagi selalu memberi sumbangsih ke arah sana. Mbah Nun mengajak PSS dan suporter BCS untuk menemukan karakter sepak bola khasnya Sleman.

Rasanya itu tidak utopis. BCS sudah punya modal besar mengarah ke sana. Sapuan warna hijau itu jelas adalah kebanggan tani Sleman. Prinsip-prinsip dasar suporter walau kadang berbahasa asing ala Ultras, tapi diambil prinsip yang cocok untuk diayomi oleh ke-Jawa-an, ke-Nusantara-an. Siapa paling mengerti konsep “kolektif kolegial” kalau bukan petani yang tentu bukan petani ala definisi ideologi dan negara, pun anarkisme “No leader just together” adalah sudah senyawa dengan semangat Sinau Bareng, di mana tak ada pihak yang membawa konsep ilmu baku. Tak ada kyai-mursyid ala tasawwuf abad pertengahan.

Tulisan sekadar ngamat-ngamatin suasana ini, bisa saya bikin karena sebelumnya ada umpan lambung dari rubrik Asepi Interasosiasi Bola-Bola Kultural yang ditulis Mas Helmi. Kemudian saya jalan-jalan, jajan, ngopi, ngerokok, meresapi suasana lapangan bola. Mas Jamal menyambut sepak pojok dari tulisan pengantar BCS Sinau Bareng: Sepakbola, Cinta, dan Dedikasi sebagai Hamba Tuhan. Kemudian Mas Helmi kembali menggoreng bola dengan membuat reportase kilat-jelas-hangat-padat berjudul Revolusi Oyot Birgada Curva Sud. Oper-operan sanadnya seperti itu. Lantas, saya sprint saja untuk mengimbangi kecepatan laju Maiyah. Sendirian pasti tidak bisa, Sinau Bareng adalah bebrayan, team work menuju cakrawala tauhid. (MZ Fadil)

Lainnya

Topik