Dusun Nangsri Golèk Aji Bebarengan
Saya harus minta maaf pada Mas Arif karena saya tidak bilang kalau akan memuat obrolan ini dalam tulisan dan tidak mengaku juga sedang berperan sebagai pelapor kegiatan di web caknun.com. Karena memang waktu itu juga murni sekadar mau ngobrol saja, benar-benar bukan macam wartawan yang ganas mengincar narsum.
“Mas tau jadwal Maiyahan dari mana?” tanya saya. Mas Arif menjelaskan, “Di grup-grup FB banyak yang share Mas. Tapi yang pasti ya, ke web caknun.com saja, itu sudah jelas di situ fix jadwalnya”. Beliau paham konsep ibu informasi pikir saya.
Kebiasaan share-share tanpa mencantumkan sumber macam di grup FB atau WA, sama kayak mereka yang mengopi, meniru logo web dan menjual-jualnya entah dalam bentuk apapun, padahal itu bukan milik mereka. Dan cukup dipikir sendiri saja kan bisa ketemu ketidakjangkepan pikir mereka. Orang seperti Mas Arif ini, yang kadang berangkat Maiyahan sendirian, kadang dengan rombongan pemuda desanya rasanya sudah mengerti logika akhlaq macam itu.
Kalau anda nonton Star Trek, anda pasti tahu bangsa Vulcan dengan kemampuan logika mereka yang terus dilengkapi variabelnya justru adalah bangsa yang sangat sopan, rendah hati, unggah-ungguh, berakhlaqul karimah lah istilahnya. Akhlaq sesungguhnya adalah soal logika. Mas Arif ini pun seperti itu. Logikanya matang dan santun sekali sikapnya, kelebihannya dia manusia, bukan bangsa Vulcan.
Dari panggung, pancaran ilmu dan kemesraan bergaung menyala-nyalakan kesejukan untuk yang gerah, menebar kehangatan untuk yang kedinginan. Mas Islami, Mas Imam dan Mbak Nia serta jajaran vokalis menemani hadirin bershalawat. Tidak mesti mereka menyuapi warga hadirin dengan bekal shalawatan yang mereka punya. KiaiKanjeng karena konsep musiknya adalah melayani, juga aktif menggali shalawatan apa yang sedang populer, atau lebih jauh lagi yang pernah akrab di telinga masyarakat namun sudah jarang terdengar belakangan ini. KiaiKanjeng benar-benar harta karun zaman, yang juga aktif menggali harta karun keilmuan di berbagai satuan ruang dan waktu. Bayangkan, betapa kaya mereka sebagai manusia? Masa begitu kita tidak menggalinya?
Mbah Nun sendiri setelah dipanggung—yang hampir tak berjarak dengan audiensnya—mesra sekali. Menyampaikan poin-poin keilmuan dengan kesesuaian bahasa yang pas dengan kesadaran warga desa. Bila kita amati sekilas, warga dusun tempat berlangsungnya acara ini sepertinya sedang meningkat kehidupan ekonominya. Tembok-tembok bangunannya seperti hasil renovasi rumah lawas tampak dikuas oleh warna-warna modern. Berdampingan dengan kebun dan halaman rimbun yang oleh warga diterangi lampu tambahan. Sementara jalanan menuju acara menjadi pasar malam dadakan. Meriah.
Justru peningkatan ekonomi inilah yang diwaspadai, karena persoalan hidup tidak selesai hanya dengan ekonomi meningkat. Tapi bagaimana mempertahankan jati diri desa, biar sekaya apapun itu yang akan makin sulit di tengah pranata ekososbudpol yang makin menggerus otentisitas.
Sebelum acara dimulai, saya sempat numpang ke kamar kecil di sebuah rumah. Bagus rumahnya, besar dan unsur desa tetap terjaga. Saya mohon izin pada empunya rumah, seorang bapak-bapak paruh baya yang sedang jagongan di teras dengan bapak-bapak lainnya. Waktu keluar dari kamar kecil, eh saya disambut senyum seorang gadis manis berjilbab merah dengan seragam pink serasi dengan ibunya di sebelahnya. Kalau tidak ingat sudah menikah, mau saya lamar tuntas, tunai di tempat saat itu juga! Dengan mahar sebait puisi karya Gus Mus “Wanita Cantik Sekali di Multazam”
“Tiba-tiba sebelum benar-benar fana
melela dari arah Multazam
Seorang wanita cantik sekali
masya Allah
tabarakAllah!
Allah, apa amalku jika kurnia
Apa dosaku jika coba?”
Saya tu mikir apa coba? Orang saya baru keluar dari kamar kecil, bukan sedang di multazam. Ah, tapi bukankah tiap tempat adalah “pelataran rumah-Mu yang Agung”? Sebelum pikiran tambah ke mana-mana, saya perhatikan memang warga dusun sekitar terutama para pemudanya, berbusana seragam. Benar-benar itiqad total menyambut tamu. Sepertinya saya harus tambahkan agar tidak terjadi kesalahpahaman, bahwa yang jadi sasaran fokus khayalan saya adalah sang gadis, bukan ibunya.