CakNun.com

Dusun Nangsri Golèk Aji Bebarengan

Reportase Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam Merti Dusun Nangsri, 18 April 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

Sudah berapa lama Mbah Nun dan KiaiKanjeng berkeliling seperti ini? Bulanan? Tahunan? Puluhan tahun? Seberapa luas wilayah yang sudah dikunjungi? Itu saja sudah PR besar untuk kita mendata dan mendokumentasikan. Andaikan wilayah kunjungan Mbah Nun dari ujung satu ke ujung lainnya, sedang yang dikunjungi merupakan massa yang notabene homogen. Sekadar massa perkumpulan kebatinan saja, atau sesama penganut ideologi tertentu misalnya, itu tidak akan seberapa mengagumkan buat saya. Wajar, karena sudah seragam pandang.

Rasionalnya komunikasi massa, mestinya penyesuaian kadar bahasa dan bahasan perlu diatur, dihitung dan direncanakan sedemikian rupa. Tapi kapan sempat menyusun strategi komunikasinya? Lha wong bulan ini saja, Mbah Nun dan KiaiKanjeng sudah mesti menyapa Mandar di Sulawesi Barat, komunitas suporter bola di Sleman, civitas akademika di sebuah universitas modern sampai kemudian pada tanggal 18 April 2018 menyapa warga desa, dalam acara Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Dusun Nangsri, Desa Srihardono, Kec. Pundong, Bantul, Yogyakarta

Dan ini belum final, malam berikutnya akan ke Ngaglik, lantas ke Malang, pulang ke Yogya akan membersamai pentas teater Kelahiran dan seterusnya dan seterusnya. Saya bukan tipe orang yang akan bisa terima jawaban sederhana macam “namanya juga wali”. Bukannya saya tidak percaya begituan, tapi saya perlu ketemu rasionalnya juga.

Saya menuju ke lokasi acara berbekal map yang dikirim oleh Bung Arul via WA. Ternyata, titik tujuan map-nya berhenti di sebuah jalan di wilayah Pundong. Sementara tanda-tanda adanya keramaian tidak tampak. Dengan husnudhon saja, saya tetap melaju kurus ke depan, jalan luruus jauuuhhh, atau waktu itu rasanya jauh. Biasa kan begitu, kalau sedang baru mau datang rasanya jauh, eh pas pulang rasanya dekat.

Sampai entah berapa jauh jalan, barisan Banser terdengar mengarahkan masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil. “Pengajian Cak Nun, pengajian Cak Nun”, maka saya ikut saja, ternyata belum begitu dekat juga. Hanya saja selalu ada lelaki-perempuan berkostum Banser berjaga di sepanjang jalan. Jadi saya merasa aman dari ancaman nyasar, saya sering kesasar soalnya.

Melihat jumlah Banser yang terlibat, menyaksikan mereka juga sangat menikmati sepanjang acara Sinau Bareng dalam rangka Merti Desa Dusun Nangsri ini, saya jadi bertanya-tanya kalau waktu itu di Twitter ada sejenis makhluk intelek unyu yang bilang Mbah Nun merendahkan Banser, sebenarnya dia bicara atas nama siapa sih? Pede amat mengambil kesimpulan sepihak. Mungkin memang media sosial dengan kehidupan real tidak selalu seiring sejalan. Bahkan kemungkinan besar terpisah.

Bangsa Vulcan di serial Star Trek adalah makhluk yang motivasinya adalah logika dan keinginan untuk belajar pada makhkuk yang berbeda dari mereka. Mungkin seperti Mas Arif yang saya jumpai sedang duduk sendirian bersandar di pagar malam itu (saya tidak berniat puitis, tapi setelah saya baca lagi tulisan ini, frase “pagar malam” keren yah?).

Beliau anak bungsu dari enam bersaudara, lulusan Akademi Teknik Kulit yang sehari-hari bekerja di kelurahan di kediamannya di Banguntapan. Mas Arif ini mengaku selalu datang di setiap acara Maiyah dan Sinau Bareng selama lokasi acara masih di wilayah Yogya. Beliau tidak bisa berjauhan dari kota ini karena juga mesti menjaga ibunya yang sudah sepuh di rumah.

Mas Arif sudah aktif ber-Maiyah sejak SMA-nya dulu pernah mengundang Mbah Nun dan KiaiKanjeng dalam sebuah acara internal khusus untuk siswa-siswinya. “Di mana saja ada Maiyahan, pasti nonton Mas. Habib Syekh juga, Habib Luthfi kalau di Yogya juga saya usahakan nonton”. Yang saya tangkap, Mas Arif ini ingin selalu belajar. Dia hanya menetapkan satu batasan, yakni selama pengajian itu TIDAK SEDANG membahas dan mengharamkan tahlilan. “Berpendapat koyo ngono yo oleh, tapi mbok ya ndak usah diomongin apalagi di pengajian. Marakke loro ati”.

Namun beliau juga tidak jatuh pada sikap berkubu-kubu seperti klub anti Wahabi atau kubu anti HTI, karena lanjutnya, “Pengajian HTI dulu saya juga sering masuk. Mereka tidak selalu bahas tahlilan bid’ah kan. Asal pas bahasannya ndak sedang kayak gitu, saya masuk-masuk saja. Banyak bahasan yang bagus juga di sana. Eh kok sekarang dilarang pemerintah. Politik sih, ndak paham saya”. Yang saya lihat, manusia-manusia Maiyah memang teliti melihat celah, sehingga hidup mereka khusyuk pada pemaknaan dan pencarian yang otentik. Dialektika jihad-ijtihad terus aktif memutar mesin-mesin logika dalam proses diri tanpa henti.

Lainnya

Topik