CakNun.com

Domba Zaman Serigala Sejarah

Redaksi
Waktu baca ± 5 menit

“Sehingga tak satupun yang bukan serigala.
250 juta domba Nusantara tak mengerti itu semua.” (Tetes, #SGKN201901, 10 – Domba dan Serigala)

Dua ratus luma puluh juta, bukan jumlah domba yang sedikit. Bisa memenuhi satu negara bahkan mungkin menghasilkan generasi-generasi domba, atau mungkin memang lahir dari kedombaan generasi sebelumnya. Dua ratus lima puluh juta, sangat mungkin kita adalah salah satu dari dua ratus lima puluh juta itu. Jumlah ini mungkin akan lebih dahsyat kalau berideologi dan menggerakkan massa jargonistik “Domba adalah kita!”. Kemudian tambahkan hashtag, supaya lebih populer di media sosial domba.

Tentu saja kita menghargai semua ciptaan Allah SWT, tentu TETES mengenai domba dan serigala ini tidak berpretensi untuk mendiskriminasi domba dan serigala. Apalagi tentu tidak tampak sama sekali maksud mengadu domba dengan serigala. Karena kalau domba dan serigla diadu yang terjadi adalah bagi satu pihak itu pembantaian, sedang bagi lainnya itu makan gratis. Bukan soal antagonisme dan heroisme. Mungkin ini impresi dan tentu saja kita boleh memberi pengartian sendiri-sendiri.

Cukup mudah untuk mendapatkan kesan bahwa dalam puisi ini Mbah Nun mengisyaratkan bagaimana saling tidak amannya kita sebagai manusia, sebagai bebangsa dalam rumpun padang luas Nusantara khatulistiwa ini. Saking tidak amannya, kita butuh membangun moralitas kawanan kita masing-masing. Kita berkumpul tanpa kesadaran organisme jam’iyyah, seolah satu tujuan padahal hanya musuhnya saja yang mirip.

Kita tuduh sana serigala, tapi kita ingin memangsa lebih banyak dari serigala yang sana itu. Sejak kapan ini semua bermula? Apakah baru-baru ini saja? Atau, ini baru nampak lebih benderang jelasnya karena efek media sosial di mana setiap domba bisa mengaum garang di sana?

Serigala dari seberang lautan, bangsa-bangsa Eropa yang dulu datang ke kepulauan Nusantara ini saja, juga adalah domba yang dihalau oleh zaman, oleh para agamawan maupun oleh kondisi perekonomian. Mereka terancam oleh serigala yang lebih besar. Ketakutan dan kekhawatiran, kelaparan, kedinginan, hingga memuncak menjadi kerakusan. Kita salah bila kita berjuang hanya untuk sejahtera, seolah Gusti Allah tidak tangggung jawab pada wilayah perrumputan kita.

Parahnya kolonialisme adalah ketika ketakutan, kekhawatiran, rasa tidak aman, keterpurukan, kemudian kerakusan menular pada bangsa yang dikoloni. Mungkin begitulah prosesnya dialektika domba-serigala dan serigala-domba. Serigala yang sana punya alasannya sendiri menjadi serigala. Alasan apa yang kita miliki untuk saling memangsa dan membinaskan, duhai domba?

Kita sering mengalami keterputusan sejarah, kehilangan jejak sanad dan nasab. Pengetahuan sanad hanya kita pakai untuk mengultuskan nama dan legitimasi keilmuan tapi tidak berlanjut pada kesadaran sejarah. Gerakan reformis Islam di Mesir yang dikenal dengan gelombang An-Nahdlah (kebangkitan) belakangan mulai disadari justru adalah pembulatan total dari keterjajahan mental kaum muslimin sendiri.

Bila dilacak kita akan ketemu bahwa ini adalah keberhasilan Napoleon pada 1798 M dalam menaklukkan Mesir. Demi menaklukkan salah satu pusat keilmuan dan peradaban Islam itu Napoleon mengggunakan kesenian, ilmu pengetahuan dan berbagai praktik “pengubahan cuaca” yang hasilnya, ummat muslim merasa rendah diri dan terpuruk di hadapan barat. Gelombang An-Nahdlah muncul karena ini, dan setelah masa-masa berlalu barulah muncul pertanyan: “Bukankah hanya yang meyakini dirinya terpuruk dan tertidur, yang membutuhkan wacana kebangkitan?”

Ketika kaum muslimin mulai terpikat pada barat, ingin meyandingkan diri dan menyetarakan ukuran serta ingin punya segala sesuatu yang dimiliki oleh barat, ingin punya negara seperti klasifikasi negara ala Barat, ingin punya budaya dan politik pun tanpa disadari definisi dien pun disesuaikan dengan cita rasa barat. Itulah yang disebut keberhasilan pertama kolonial memanfaatkan orientalisme, ilmu tentang timur.

Napoleon juga mengarahkan pandangan ke satu lagi pusat peradaban, nun diseberang lautan bernama Nusantara. Daendels dikirim demi menyelamatkan masyarakat Jawa, mereformasi birokrasi, membangun infrastruktur demi persaingan dagang dengan Britania. Memperbaiki kerusakan-kerusakan yang dilakukan VOC yang juga dibubarkan oleh Napoleon saat menduduki Belanda. Penyelamatan itu, pemberadaban itu, juga dalam sudut pandang mereka sendiri.

Kelak gelombang kata An-Nahdlah ini dibawa oleh sarjana-sarjana muda yang bersekolah di Mesir dan pulang ke kampung halamannya di Nusantara. Perseteruan Ulama Kaum Tua dan Kaum Muda pun tidak terelakkan. Kaum tua merasa posisinya sebagai sumber wacana keberagamaan terancam. Sedangkan kaum muda merasa praktik-prakitik tradisional, tarekat, dllsb adalah tidak produktif dengan modernitas dan akan berakibat memperparah keterpurukan kaum muslimin.

Sekarang setelah zaman berlalu kita bisa mulai mempertanyakan, apa yang sesungguhnya dipertengkarkan oleh para agamawan tersebut? Legitimasi keulamaan? Tidak ingin kehilangan muka di hadapan ummat? Sejak kapan Islam mengadopsi konsep bahwa ulama adalah gembala domba keummatan?

Di sini kaum muda tidak punya tempat bernaung selain pada sosok HOS Tjokroaminoto. Tjokro saat itu cukup akrab dengan KH Wahab Chasbullah, dan bisa kita selidik-selidik kemungkinan dari sinilah aliran kata Nahdlah mulai sering dipakai, justru oleh kaum tua. Sebab di kemudian hari Kyai Wahab menemani Mbah Hasyim Asy’ari yang tampaknya dengan kebijaksanaanya berusaha menampung keresahan ulama kaum tua.

Namun pertikaian memang berjalan semakin tidak sehat terutama di kalangan bawah. Pasca runtuhnya Turki Utsmani pada 1924, berbagai negeri pusat-pusat peradaban Islam berlomba-lomba mengklaim diri sebagai pewaris tahta kekhilafahan yang sah. Saudi mengadakan Kongres Ulama Internasional (Mu’tamar Alam al-Islamy) dan undangan resmi dialamatkan pada Tjokro.

Pada satu versi pembacaan sejarah bisa dibilang kaum tua merasa benar-benar terpukul. Mekkah punya posisi kultur, mistis, dan legitimasinya sendiri di kalangan masyarakat. Maka undangan pada sosok yang akrab dengan kaum muda jelas menghilangkan muka di depan ummat. Saat itu belum ada istilah hoax, namun fitanahan terus berdatangan pada keluarga Tjokro hingga tuduhan sebagai pendukung Ahmadiyah karena pernah menerjemahkan kitab aliran tersebut. Sentimen Ahmadiyah juga menajam pada era ini. Namun Tjokro berangkat juga, bersama beberapa orang termasuk Kiai Mas Mansur.

Sedangkan Mesir juga punya agenda kongres ulama internasional, KH Ahmad Dahlan berangkat ke Mesir. Semua kongres ulama saat itu, urusannya adalah lomba banyak-banyakan dihadiri oleh kaum ulama. Di situ letak legitimasi sebagai kekhilafahan. Baik Tjokro maupun Ahmad Dahlan datang atas dasar undangan. Namun kaum tua datang dengan menawarkan diri, itu yang disebut Delegasi Hijaz.

Hanya sedikit yang kita tahu mengenai berjalannya kongres. Dari catatan yang diterbitkan oleh Martin Kramer yang dia sarikan dari dokumentasi berlangsungnya kongres, delegasi kita nampaknya tidak terlalu memiliki taring. Hanya sedikit sekali nama Tjokro dan rombongannya disebut dengan kesan yang kurang baik pula disebut terlalu lunak dan tidak punya kemampuan berdebat. Selainnya tidak begitu jelas.

Delegasi lain, utusan kaum tua bahkan tidak tersebutkan sama sekali. Padahal rata-rata delegasi ulama dari seluruh dunia saat itu punya permintaan yang sama terhadap rezim yang sedang menguasai kota suci Mekkah dan tentu saja juga adalah permintaan dukungan agar bisa lepas dari kolonialisme Eropa. Kita hilang dalam arus sejarah dunia karena kita tidak mencatat diri kita sendiri.

Kita sebegitu parahnya terpecah-pecah, merasa harus berkubu. Apakah sejak itu atau sejak sebelumnya? Dari mana mental keterpurukan dan kerakusan, moralitas kawanan hingga hasrat menumpas serigala lain ini kita warisi?

Kita beruntung karena pertikaian kaum tua dan kaum muda agamawan tidak berjalan lama. Sebab baik kongres Mekkah maupun Mesir sama-sama dinyatakan gagal. Artinya tidak berlanjut. Jepang melihat celah, 1934 Tjokro meningga dunia. 1936 Jepang membangun masjid. Dan masuk era 1940, Jepang telah berhasil melaksanakan kongres ulamanya sendiri. Telak, berhasil menampilkan diri sebagai pusat peradaban Islam baru saat itu.

Ditambah dengan melemahnya pertahanan militer Hindia-Belanda di perbatasan. NAZI meraung di jantung Eropa. Jepang masuk dengan sambutan dari pribumi. Perseterusan kaum tua dan kaum muda, bisa dibilang berakhir dengan sama-sama menyatakan dukungan pada perang Asia Timur Raya-nya Jepang. Pada kaum nasionalis, perkubuan tidak begitu nampak sebab pada angkatan 1940-an, tidak banyak angkatan pergerakan tua (1912-1920) yang tersisa. Soekarno sudah menjadi sosok tunggal dalam wacana nasionalisme sebab keterputusan sejarah pergerakan ini. Begitu mudahnya kita ini terperdaya, domba-domba hilang arah dalam sejarah? Apakah yang kita alami sekarang ini hanya pucuk persoalan, lanjutan atau justru adalah penggenapan dari mental terjajah? (MZF)

Lainnya

Pamangku Buwono Mamayu Bawono

Pamangku Buwono
Mamayu Bawono

Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib