Di TVRI Tidak Ada Putri Yang Tertukar
Bahwa dalam pangkuan kadang ada yang perlu dicintai dengan dikamplengin kan urusan berbeda yah, itu soal strategi bebrayan-nya saja. Maka hidup memang oleh Mbah Nun kita jangan statis, tapi yang dinamis. Tapi nanti kata dinamis juga digunakan untuk alasan berkutu loncat politik seolah tak ada lagi urusan ideologi. Repot memang ketika terlalu banyak kata yang najis kepentingan.
Begitulah pertanyaan kedua diberi masukan oleh Mbah Nun. Kita hanya bisa melihatnya dari niat serta tujuan. Apakah keras kepala atau istiqomah? Cerdik atau licik? Urusannya bagaimana maqosid (tujuan) serta haraakoh-nya (pergerakan) apakah bermaslahat dan memproduksi kemaslahatan (pun perlu diukur jangkauan maslahatnya) atau justru menghasilkan mudlarat. Rasanya kondisi politik sekarang, beserta tokoh-tokohnya hanya menghasilkan mudlarat baik bagi diri mereka sendiri maupun buat orang lain, tapi tenang saja mereka akan hilang tak terkenang kok dalam arus sejarah.
Putri Yang Tertukar Dengan Domba
Maka itu bukan pilihan beku dalam politik seperti apakah harus Joko atau Prabowo? Mbah Nun terdengar sedikit berkelakar, tapi saya meresapi keseriusan. “Kalau semua (capres-cawapres) memang berniat baik, kenapa ndak semuanya saja empat-empatnya jadi presiden? Bahwa itu bertentangan dengan konstitusi, ya ubah saja konstitusinya. Toh itu bikinan manusia, yang tidak boleh diubah itu Al-Qur`an!”
Banyak pikiran kita tertukar-tukar seperti sinetron “putri yang tertukar (dengan…?)” pada letak di mana bebas berinisiatif malah mengikat diri. Misal bentuk negara dan semacamnya. Tapi pada persoalan yang membutuhkan disiplin pengekangan diri, kita malah ingin bebas, misal dalam soal aqidah.
“Presiden kok karier? Bukan dong,” ujar Mbah Nun. Saya sempat mengira ini logika sederhana saja. Rupanya pada saat Mbah Nun berkata begitu, istri saya menerima sebaran via Whatsapp dari lembaga pemilihan umum dengan judul “INFO LOWONGAN KERJA: Pendaftaran Calon presiden dan Wakil Presiden RI”. Saya benar-benar berdoa dengan tulus bahwa ini hanya hoax, tapi lantas curiga jangan-jangan memang ada orang yang berpikir bahwa mendaftar sebagai capres dan cawapres itu sebagai jenjang karier.
Semoga tidak benar, tapi apakah memang ada orang yang cara berpikirnya dikendalikan oleh gembala-gembala agamawan, gembala politikus dan gembala elit ningrat, comrad thoriqot, hingga komandan pergerakan? Bedanya apa manusia dengan domba bila seperti itu?
TETES berjudul DOMBA DAN SERIGALA beberapa hari ini membayang terus di pikiran saya. Reportase ini ditulis ketika pagi harinya, pendaftaran domba, maaf maksud saya serigala…, bukan juga, maksudnya capres-cawapres negeri seberang telah dimulakan. Sinau Bareng ini, menjaga agar kita tidak menjadi putra-putri zaman yang tertukar logika seperti itu.
Di TVRI pada malam itu semua mencoba menempatkan diri pada posisinya masing-masing agar jangkep dan empan papan. Entahlah yang di atas kahyangan di mega-mega ufuk kesempitan NKRI sana. Karena tampaknya mereka memang tengah hidup di tengah era Putra-Putri Yang Tertukar, dengan… Domba?