Di TVRI Tidak Ada Putri Yang Tertukar
Kemampuan Mempuasai Dan Pertanyaan Menuju Keutuhan
Sepertiga itu misalnya, apakah kita hanya menganggap Mbah Nun adalah sosok yang sangat pro-rokok? Tapi malam itu Mbah Nun demi menghormati kesepakatan awal dengan sohibul bait, memutuskan untuk tidak menyulut rokok. Sohibul bait secara tersirat pun sudah mempersilakan dengan menyediakan asbak khusus untuk Mbah Nun. Lantas rokoknya? Entah bagaimana seorang jamaah langsung menghaturkan sebungkus di hadapan Mbah Nun. Segalanya tersedia, namun Mbah Nun memutuskan untuk tetap tidak merokok.
Harap pembaca yang budiman memperhatikan dan mengambil hikmah dari kejadian ini. Puasa, akan terasa sangat berat ketika segala yang anda inginkan itu tersaji. Ada mental puasa di situ walaupun “tapi bukan berarti rokoknya lantas kamu ambil lagi, itu kan urusan berbeda,” canda Mbah Nun, tawa-tawa bergelimang pada kemesraan malam itu. Kemenanagan sejati manusia dengan canda tawa, ilmu dan kemesraan, keisengan sedikit tapi kan bukan perendahan harkat di tengah situasi perpolitikan yang makin jarang ada manusianya.
Pada sesi dialog dengan jamaah, pertanyaan yang muncul kebanyakan menunjukkan kebimbangan pada pilihan sikap, arah politik atau bahkan detail kata. Ada Mbak Nurul Hamidah, mahasiswi jurusan Penyuluhan dan Komunikasi di UGM (“Cak apa bedanya ambisius dengan berusaha sepenuh hati?”), juga Mas Rizal Firmansyah dari Alor, NTT (“Di youtube lihat Mbah Nun mendukung rokok, tapi kok tadi mendoakan agar semua pabrik rokok tutup?”) Penanya ketiga, mohon maaf karena saya duduk di belakang, suaranya tidak terdengar saat menyebutkan identitas, tapi saya sempat menangkap kesan pertanyaan mengenai “Bagaimana menghadirkan kerinduan?”. Lantas ada Mas Gilang dari Indramayu yang cukup bimbang bagaimana menularkan ilmu pertanian yang didapati di kuliah namun sulit diterapkan pada petani di lahannya langsung yang terlanjur tergantung pada pupuk kimia.
Last but no least seorang Mas Irfan yang lebih menonjol disebut Jamaah Gambang Syafaat berusia “tujuh belas tahun ke atas” (kenapa ndak kesamping? Maaf), karena baru pertama kali akan memilih dalam pilpres di negeri seberang tahun depan “Pilih ulama yang dari umaro atau umaro yang dari ulama” kesannya oleh Mbah Nun ditangkap dan dicetakke “Maksud pertanyaanmu itu harus memilih calon yang mana to?.” Mas Irfan mungkin tersapu-sapu juga ketika maksudnya digamblangkan.
Kalau soal ulama dan umaro, Mbah Nun mberi kunci singkat “Semoga kapan-kapan ada ulama” begitu juga semoga kapan-kapan ada umaro, untuk era ini perlu kita akui hampir tidak ada memang kaliber ulama. “Yang disebut ulama sekarang kan maksudnya fuqaha”, artinya dalam kualitas keilmuan masih per bidang, tapi dalam praktik pengajaran terus saja membabar ilmunya dengan tidak menggali dari pengetahuan jamaah. Padahal kan menurut Mbah Nun, perintah utama orang Islam adalah belajar, bukang mengajar.
Ini saya simulasikan dalam otak saya misal begini, berapa banyak orang yang disebut berstatus ulama sekarang ini yang bisa menjadi tempat kita bertanya soal pola money laundring dari kartel-kartel internasional? Atau yang tahu pemahaman mendasar soal birokrasi, pengawasan modal, jangan lagi spionase? Tentu saja satu orang tidak mungkin memahami semua hal, maka itu perlunya Sinau Bareng. Karena kita paham limitasi pengetahuan kita, jangkauan serta batas berlakunya ilmu tertentu.
Bagaimana kita bisa membedah persoalan di pelosok pada abad 21 M dengan kitab yang lahir dari pusat peradaban abad 9-12 M? Pun dengan teknik pengajaran tutur-tinutur abad 19 M? Bukan berarti itu rendah dan tidak berlaku, bahkan kunci logikanya banyak yang perlu. Tapi kalau sekadar reproduksi ilmu, lantas bedanya Islam dengan di luarnya apa dong?
Islam punya Al-Qur`an namun mental kaum muslimin dijajah sehingga mereka terpaksa merasa berpikir perlu menambah-nambah Islam dengan liberalisme, sosialisme, nusantaraisme (yang tidak esensialis nusantara juga) “Kalau Ulil kan Islam Liberal, kalau saya mungkin Islam liberal poll,” Mbah Nun mengundang kehadiran gema tawa para jamaah. Kita paham maksudnya, di luaran istilah digunakan tapi tidak total juga pakai kata liberal tapi anti sama selainnya. Pakai kata nusantara tapi tidak punya kemampuan hamemangku wahabi, gimana mau mangku bawono kalau mangku wahabi saja ndak bisa?