Di Tengah Atmosfer Para Pendekar
“Mas mau ke padepokan? Ikut turnamen?” Wah belum-belum saya sudah diserbu pertanyaan dari driver Gojek yang akan mengantar saya ke lokasi acara Sinau Bareng di Padepokan Pusat Perguruan Setia Hati-Terate malam ini. Iya, saya mau ke padepokan dan tidak, saya tidak ikut turnamen silat (membayangkannya saja sudah sulit).
Padepokan, perguruan silat punya posisi kultural sendiri sepertinya di wilayah ini. Maka tidak heran, hajatan di Padepokan juga adalah hajatan bersama para masyarakat kota Madiun. Negara modern sering sulit membangun posisi seperti ini, entah yang diproklamasikan 1945 atau, proklamasi Negara Republik Soviet-Indonesia-nya Moesso Oktober 1948. Moesso memproklamasikannya di Madiun waktu itu, kota para pendekar ini. Kejeniusan dan kepintaran Moesso tetap tidak bisa membuatnya mendapat posisi kultural di kota ini. Manusia Nusantara punya pakem pengukurannya sendiri soal siapa yang layak mereka berikan respect. Tapi kita tidak tahu apakah hal ini juga adalah faktor kegagalan Republik besutan Moesso. Kapan-kapan kalau anda mau bikin negara, atau mau meruntuhkan negara yang sudah ada, mungkin perlu belajar dari hal semacam ini.
Daripada Moesso, walau saya juga agak mengaguminya, namun lebih baik kita ambil Mas driver ojek online yang mengantar saya sebagai sampel suara masyarakat dulu ya. Mungkin tidak betul-betul mewakili tapi bagaimanapun beliau juga warga Madiun. Mas ojek online pada sebuah lampu merah membuka hape dan mengecek chat-chat-nya. Sambil bergumam, “Oo iya, yang sama Cak Nun iya malam ini. Bener, bener.”
Saya tanya apa memang sering acara Padepokan dengan Mbah Nun? Jawaban Mas ojek online begini, “Dua kali ini setahu saya Mas, soalnya Cak Nun itu orang Jawa jadi enak dengerin yang disampaiinnya mudah masuk.”
“Cak Nun itu orang Jawa” itu tergarisbawahi di telinga saya. Bukankah banyak tokoh lain yang juga “orang Jawa”? Rupanya maksudnya, Jawa sebagai sifat bukan sebagai penanda geografi-politik. Bukan yang suku. Jawa-Nusantara yang untuk sekarang ini, lebih mudah dikenali oleh yang segelombang Jawa-Nusantara. Dia justru tidak didapati kalau Jawa dan Nusantara itu sudah dibekukan jadi embel-embel sesuatu.
Perguruan Silat Setia Hati-Terate ini sangat Jawa, sangat Nusantara. Tanpa perlu mendramatiskan jadi Setia Hati-Terate-Nusantara. Teknis saja, kepanjangan soalnya.
“Wah sudah rame ini,” ujar Mas ojek online ketika motor yang kami tumpangi sudah mendekat lokasi, entah kenapa saya menangkap kesan seolah Mas ojeknya mau siap-siap bergegas ke gelaran Sinau Bareng ini juga. Sebuah baliho besar terpampang. Ada penanda nama jalan, Jalan Merak, tidak terlalu besar jalan ini. Namun rombongan berkostum hitam-hitam, pria-wanita, tampak berlalu lalang dengan semangat. Para pendekar. Banyak dari mereka cukup belia.
Beberapa ngumpul di warung-warung, ada yang buka stand merchandise padepokan. Di lapangan juga banyak pendekar. Juga ada yang berseragam silat dengan peci Maiyah di kepala. Rasanya seperti berada di alam persilatan. Karena memang begitu.
Saya butuh ngechass baterai handphone. Untung tanpa sengaja ketemu Mas Awi, salah seorang crew KiaiKanjeng. Beliau sedang ngopi di warung. Mas Awi, Pak Erfan, Mas Pentil, Mas Yudist dan pendekar crew lain sudah berada di lokasi sejak semalam, saya sangat menyarankan pembaca yang budiman para generasi Maiyah juga mengenal dan menggali para crew yang hebat-hebat ini. Satu saat fenomena Maiyah akan jadi catatan sejarah, di sejarah ala NKRI kita tidak tahu (minimal susah mencarinya) siapa yang mengurus panggung saat Soekarno mau pidato, atau yang jualan kopi (kalau ada) di pengajiannya Mbah Hasyim. Kita mesti menambal kekurangjangkepan jurus sejarah NKRI itu.
Dari acara di Semarang kemarin siang para crew langsung ke Madiun untuk mempersiapkan segala macam teknis dan peralatan.
KiaiKanjeng sedang dalam perjalanan. Saya masuk ke bagian dalam padepokan dan numpang colokan. Personel KiaiKanjeng, nah ini sih guru-guru besar kalau dalam novel-novel silat, tiba di lokasi acara tak lama kemudian dan dengan kesigapan sesepuh persilatan, langsung checksound. Saya ngechass hape dulu, supaya nanti bisa lebih terbantu membuat reportase saat gelaran Sinau Bareng dilaksanakan. Berada di atmosfer persilatan ini rasanya sangat akrab dan nyaman, setelah saya pikir lagi mungkin itu karena di tengah Jamaah Maiyah dan generasi Maiyah pun sebenarnya kita terbiasa dengan kekesatriaan, kejujuran, otentisitas dan kerendahhatian para pendekar. (MZ Fadil)