Di manakah Yusni Sekarang?
Berjalan telah jauh dan bertahun-tahun waktu telah tertempuh sesekali membuat Bapak-bapak KiaiKanjeng menoleh ke belakang. Mengenang liku-liku perjalanan sedari awal hingga kini. Mengingat-ngingat era demi era yang telah dilalui. Di situ, kadangkala rasa heran yang muncul.
Seperti dirasakan Pak Nevi Budianto. Suatu ketika belum lama ini saat berhenti sejenak dalam rangkaian perjalanan Sinau Bareng, Beliau bertanya-tanya pada diri sendiri zaman dulu itu gimana ya ngatur waktu antara harus memenuhi undangan acara bersama KiaiKanjeng dan tugas sehari-hari sebagai guru di sekolah negeri.
Padahal saat dulu itu fasilitas tak semudah dan sebanyak pilihan seperti sekarang. Hingga kini ketika Beliau sudah purna tugas, tak sedikit pun ada catatan atau komplain dari Dinas Pendidikan atau dari Sekolah, dan kuota pengajaran tetap dipenuhinya. Itu artinya harus bolak-balik antar kota supaya dua-duanya tugas atau agenda terpenuhi, dan itu sekali lagi sejak dulu. Gumun sendiri Pak Nevi mengenang masa-masa lalu itu, masa awal gerakan shalawat bersama Cak Nun yang seringkali dadakan info acaranya. Tapi nyatanya semua tetap bisa berjalan selaras.
Atau barangkali ada penjelasan lain, Pak Nevi, yaitu jangan-jangan Njenengan punya ilmu belah rogo, bisa berada di dua tempat sekaligus! Hehe…
***
Ketika itu pertengahan 1990-an Cak Nun lebih banyak stay di Jakarta. Jika ada keperluan untuk ngumpul dan persiapan acara, koordinasinya via Pak Bobiet. Karena satu-satunya rumah personel KiaiKanjeng yang pada waktu itu punya telepon hanya Pak Bobiet. Rumah Pak Bobiet juga salah satu saksi sejarah, karena kala itu tak jarang jika Cak Nun berada di Yogya kerap pertemuan dengan tokoh-tokoh politik nasional diadakan di rumah Pak Bobiet ini. Mungkin untuk menyusun langkah-langkah kebudayaan atau merespons situasi nasional. Biasanya ditemani Pak Nevi dan Pak Toto Rahardjo.
Nah, kembali ke soal persiapan dan koordinasi acara. Sesudah nelepon Pak Bobiet, untuk selanjutnya Pak Bobiet yang menghubungi personel lainnya, buat memastikan kesiapan masing-masing misalnya untuk berangkat acara misalnya ke Jakarta, atau daerah-daerah lain.
Lalu naik apa ke sana? Jangan bayangkan menyewa bis pariwisata yang besar dan nyaman. Mereka nyewa mobil Colt L-300. Nyewa dari seseorang yang memang punya persewaan mobil. Lama-lama persewaan ini jadi langganan. Uniknya, si pemilik hanya punya dua mobil. Dan sepanjang menyewa ya profesional alias mbayar. Tapi karena kemudian melihat dan tahu apa keperluan KiaiKanjeng dengan menyewa mobilnya itu, si pemilik ini memutuskan dari dua mobil yang dia punya hanya satu yang boleh beroperasi. Satunya disimpan di rumah, di-standby-kan khusus untuk KiaiKanjeng.
Jelas ini gambling dan spekulasi yang kurang menguntungkan secara ekonomi. Tapi karena sudah cinta dan salut pada pergerakan shalawatan KiaiKanjeng, ya kalkulasi itu diketepikan. Walau tetap profesional KiaiKanjeng setiap kali menggunakan mobil itu.
Pemilik persewaan mobil itu bernama Yusni. Pak Bobiet menemukan nama itu di baris-baris iklan sewa mobil di Harian Kedaulatan Rakyat.
Pak Bobiet yang kali pertama menghubunginya. Memang jodoh, dari sekali menyewa itu lalu jadi langganan sampai ya itu tadi satu mobil disiagakan buat KiaiKanjeng setiap kali mau keliling bershalawat ke berbagai daerah.
Mobil L-300 itu tentu bukan mobil yang cukup besar buat memuat sejumlah orang dan juga alat-alat musik yang perlu dibawa meski belum sebanyak seperti formasi sekarang. Tetapi itu berarti harus benar-benar canggih manajemen tata atur muatannya. Ada satu orang kru yang jadi sopir, tapi sering kali gantian dengan personel KiaiKanjeng. Untung jalanan belum sepadat zaman now, sehingga ngebut ke kota seperti Jakarta bisa tak perlu memakan waktu belasan jam sebagaimana sekarang kalau naik bis.
Satu mobil yang di-standby-kan Yusni itu lumayan nyicil “ayem” kalau pas mau pergi keluar kota bagi KiaiKanjeng. Satu item persiapan sudah aman. Seiring mobil itu mengantarkan KiaiKanjeng ke sana kemari, waktu terus berjalan. Era silih berganti. Dan KiaiKanjeng tak lagi menyewa mobil L-300 itu. Tanpa terasa sudah dua puluhan tahun berlalu. Sudah sangat lama tidak tersambung dengan Yusni. KiaiKanjeng juga sudah kehilangan kontak dengannya. Satu di antara sekian orang yang dengan caranya sendiri ikut mengapresiasi perjuangan shalawatan KiaiKanjeng di tengah-tengah masyarakat. Ikut menjadi saksi atas apa yang dulu Cak Nun gambarkan mengenai ideologi perjalanan KiaiKanjeng, “menjunjung apa yang diremehkan orang, menggali apa yang dikubur orang, mengingat apa yang dilupakan orang.”
Kalau ingat masa-masa itu, tercetus dalam benak dan memori Bapak-Bapak KiaiKanjeng, “Di manakah Yusni sekarang?”.
Yogyakarta, 22 Januari 2018