CakNun.com

Dewan Keamanan Maiyah dan Eksperimentasi Strategi Keamanan Multidimensi

Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah (9)
Ahmad Karim
Waktu baca ± 9 menit

Satu, Islam, bukan sebagai kata sifat atau kata benda yang menjadi justifikasi mengafirkan individu atau golongan lain (others), tetapi sebagai proses penyelamatan melalui pikiran, ucapan dan tindakan menyelamatkan. Dua, Iman, juga bukan sebagai kata sifat atau kata benda yang menjadi identitas untuk merasa aman sebelum melakukan proses pengamanan melalui pikiran, ucapan dan tindakan mengamankan, oleh siapapun dan di manapun, tanpa pandang bulu, entah bulu agama, suku bangsa, bulu kuduk, apalagi cuma bulu ketek. Objek penyelamatan dan pengamanannya pun lebih jelas dan terukur pada tiga aspek penting kemanusiaan, yaitu jiwa, harta, dan martabat manusia.

Kedua, resolusi DK-PBB selalu bersifat instruktif dan tak jarang disertai ancaman embargo atau bahkan agresi militer. Sehingga muatan kepentingan politis dan ekonomi dari para anggota tetapnya tak mungkin ada yang berani membendung (jika ada yang macem-macem dan sok berani, lihat saja nasib presiden dan rakyat di negara-negara pemberani itu).

Resolusi DK-M adalah Maiyahan dan Ngaji Bareng atau Sinau Bareng yang kemudian didokumentasikan secara kreatif dalam bantuk teks (Buku Pustaka Emha, Majalah, Buletin, Daur, Lubuk, Tetes, Menek Blimbing, Khasanah, Tajuk, Bongkah, Asepi), dalam bentuk visual messages and stories (Foto, Galeri, Mozaik, Bidikan Terpilih), atau dokumenasi audio visual (Jurnal Cak Nun, Akik Maiyah, dan beraneka karya Youtubers dengan framing sesuka udel-nya masing-masing) untuk menjangkau multi selera seluruh anggota dan non-anggota.

Sampai dengan “press release” terakhir di Kabupaten Nganjuk tepat di Hari Pramuka Nasional kemarin, Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah mengeluarkan sebanyak 3995 resolusi Maiyah untuk perdamaian dan keamanan (ini belum dihitung sejak periode rintisan bersama Teater Dinasti di akhir 70-an). Ini artinya sudah jauh melampaui produktivitas dan pencapaian “produksi resolusi” DK-PBB yang ujung-ujungnya “systemic failure” tadi. Sementara resolusi Maiyah yang ditawarkan selama ini terus dicari dan dinanti-nantikan kehadirannya oleh semua bangsa, semua golongan, dan semua makhluk (masih ingat penegasan di forum Maiyah bahwa pepohonan dan tumbuh-tumbuhan adalah saudara tua manusia?).

Ketiga, kelima anggota tetap DK-M sama sekali tak mau memiliki hak veto, apalagi menggunakan formula “vetoisme” dalam merespons perbedaaan pendapat. Karena menurut mereka hak veto inilah yang sejatinya sangat kontraproduktif dengan nilai-nilai demokrasi, keamanan, dan perdamaian, serta menjadi sumber dari segala sumber konflik dan ketidakamanan di muka bumi.

Satu-satunya hak veto yang diakui di DK-M, dan bahkan secara tegas Cak Nun (dalam hal ini saya terpaksa harus memisalkan beliau sebagai Franklin Delano Roosevelt-nya inisiator DK-M, trus Winston Churchill-nya siapa ya yang paling pas?) menyatakan sikap pada tanggal 17 Maret 2018 dengan 17 klausul yang bermuara pada satu veto tunggal bahwa Allah Pusat Simpul Maiyah, sehingga hak veto tertinggi ada di Sana.

Ini menarik sekali bagi saya karena DK-PBB selama 72 tahun benar-benar meniadakan Tuhan, apalagi kosakata Allah (karena mungkin lima anggota tetap itu merasa cukup kredibel merepresentasikan Tuhan yang Rahman dan Rahim itu).

Keempat, markas besar DK-M tidak berada di negeri pengusul atau inisiator awal yaitu Padhangmbulan, tetapi justeru di Mocopat Syafaat yang memang memiliki akar tradisi keluhuran dan kelebihan tersendiri dalam mengolah tata ruang sosial budaya Jawa yang jangkep. Mulai dari filosofi margoutomo, kemudian malioboro, lalu margomulyo, dan ujungnya adalah pangarukan. Bahkan FD Roosevelt-nya DK-M juga entah secara kebetulan atau hanya mengikuti inspirasi peristiwa hijrah, pindah dan menetap di negeri Maiyah cabang Mocopat Syafaat.

Uniknya, markas utama DK-M di Jalan Kadipiro yang merupakan aset pribadinya juga ia wakafkan untuk para pengurus dan siapa saja yang mau ikut bermaiyah. Semantara ia sendiri uzlah ke rumah kecil agar sewaktu-waktu bisa menjalankan peran “qu amfusakum waahlikum naaro-nya”. Ini kontras dengan fasilitas dan privilege luar biasa yang selalu didapatkan oleh Sekjen PBB dan pengurus-pengurus intinya di markas besar New York dan markas-markas kecil lain di seluruh penjuru dunia (jujur saya pernah ngiri lho dengan teman kuliah saya yang jadi staf di sana dan bergaji dollar).

Lainnya