CakNun.com

Desa Tetap Mowo Coro Biarpun Negara Gagal Mowo Toto

Reportase Sinau Bareng Kolaborasi Konservasi Ngramut Merapi, 4 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Di Amerika juga kelak terjadi pembinasaan “perdikan-perdikan” semacam ini. 1776 Amerika resmi lepas dari koloni, dekolonisasi. Karena diinisiasi oleh manusia dari berbagai latar belakang yang jelas bukan pemilik sah atas tanah koloni itu, maka mereka perlu membentuk satu konsep sendiri yang menyatukan. Konsep nation-state lahir sebagai rasionalisasi bahwa merekalah pemilik sah atas tanah-tanah itu.

Konsep nation-state, pemersatu penjajah dari beda latar belakang ini kemudian menghasilkan produk budaya pemahlawanan, pengantagonisan, kisah-kisah pengalaman bersama sebagai satu bangsa, one nation padahal ora. Sedang para suku diasingkan ke lokasi reservasi, padahal merekalah yang tahu dan kenal induk tanah mereka sendiri.

Kelak ketika NKRI mengadopsi konsep nation-state, rupanya NKRI juga melakukan hal yang sama pada desa-desa, suku-suku, hanya dengan cara yang halus. Tapi intinya tetap, pemahaman desa para pemilik sah tanah mereka dipinggirkan dan diasingkan. Yang membuat pedih adalah, itu dilakukan oleh anak kandung sendiri.

Maka Sinau Bareng adalah megajak pada kegembiraan kembali pada martabat penduduk desa, anak-anak kandung tanah. “Tanah ini milikmu, bukan milik negara, bukan milik perusahaan, bukan milik siapa-siapa tapi milikmu.” Rasanya saya dengar Mbah Nun berseru seperti itu, atau saya mengingatnya seperti itu. Intinya saya meraskan itulah yang dibangkitkan oleh Mbah Nun.

Hindia-Belanda memang pernah mengangkat kembali status tanah perdikan. Tanah yang memiliki bukti sebagai berstatus perdikan akan dibebas-pajakkan. Namun karena beberapa lahan sudah menjadi lahan produktif ekonomi, justru kaum-kaum pengusaha pribumilah yang banyak mengajukan status ini. Perkawinan tarekat dengan pondok pesantren bermula dari sini. Politik nasab juga bermula karena status tanah perdikan diberikan pada mereka yang mendaku diri keturunan orang-orang keramat (dan atau beberapa prasyarat lain), nah tinggal mengaku-ngaku saja kan.

Aslinya pembebasan pajak bagi tanah perdikan adalah usaha terakhir golongan tua konservatif Belanda untuk melindungi lahan desa pribumi agar tidak seluruhnya dikuasai investor asing. Seperti juga idola mereka, Van Den Bosch, kaum konservatif punya romantisme agar manusia-manusia pribumi jangan sampai rusak adat dan budayanya.

Sayangnya mereka harus berhadapan dengan kaum muda yang lebih lihai dan lebih rasional semacam Van Der Venter sampai penulis novel Multatuli atau Dowes Dekker. Keengganan kaum tua Belanda dan Hindia-Belanda untuk memberi pendidikan pada bangsa Nusantara, sebenarnya didasari romantisme semacam ini, tapi itu tentu jalan buntu. Mereka dianggap ingin membodohi rakyat. Tapi bukankah mereka semua begitu?

Sayangnya pada praktiknya status tanah perdikan di era liberalisme ekonomi Hindia-Belanda menjadi cikal bakal kesemrawutan sejarah sendiri. Beberapa sosok naik kelas sosial. Setahun setelah proklamasi, status tanah perdikan dihapuskan. Rupanya kelamaan dijajah, kita juga menjelma menjadi penjajah itu sendiri.

Desa memang punya struktur logic-nya sendiri. Daerah sedingin ini tetap jualan Es Kepal (itu lho jajanan yang sedang trend belakangan tapi saya belum pernah cicipin karena kadar gulanya jelas bikin rusak program penipisan lemak) dan Pop Ice. Lebih menakjubkannya adalah, tetap laris!

Saya menggigil beberapa kali, mencoba menghangatkan diri dengan merapatkan jaket. Beli kopi segelas dalam sekejap jadi dingin juga. Atau sesekali dengan memperhatikan mahasiswi-mahasiswi yang berseliweran, tampaknya sebuah organisasi eksternal kampus melakukan aksi penggalangan dana.

Ada organisasi mahasiswa yang leluconnya “papan catur ijo-item”, tapi yang berseliweran ini bukan itu. Ini yang selalu dibecandain “aktivis mahasiswa semangka”, luarnya ijo dalamnya merah, seolah kanan tapi kalau demo beringas kiri. Entah pensifatan itu masih berlaku apa tidak, saya agak hopeless kalau sama organisasi mahasiswa. Aneh saja, mendaku diri sebagai agen perubahan tapi jadi followers organisasi yang dibentuk entah kapan. Mbok bikin sendiri yang baru kenapa?

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta