CakNun.com

Dekonstruksi Maiyah Atas Pendekatan Pencegahan, Penanganan, dan Resolusi Konflik

Catatan Simposium "Decoding the Labyrinth of Conflict", Fisip Unair Surabaya, 29 November 2018 (bagian 1/3)
Ahmad Karim
Waktu baca ± 5 menit

Sebagai bagian dari proses pengumpulan data untuk riset etnografis yang sedang saya lakukan dalam melihat Jamaah Maiyah sebagai salah satu dari sekian banyak non-state actors dealing with security provision (sebuah entitas di luar manajemen organisasi negara yang secara unik menawarkan sebuah pendekatan pengamanan masyarakat), saya akan mulai dengan apa yang tidak banyak orang kenal dengan etnografi dan kaitannya dengan fenomena konflik di Indonesia. Serta posisi Jamaah Maiyah yang menurut hemat saya teramat sangat penting sebagai the agent of change yang mampu men-decoding ulang pemahaman tentang konflik dan seluruh aspek penyulut maupun muara resolusinya.

Sederhananya, Decoding the Labyrinth of Conflict bisa diartikan sebagai upaya mengurai labirin atau sesuatu yang membingungkan dari sebuah konflik sosial. Etnografi dalam hal ini, adalah sebuah metode, cara, atau pendekatan dalam khazanah ilmu antropologi yang menurut Scott Reeves dkk. (2008) mencoba melihat dan memahami fenomena sosial dari sisi social interactions behaviours and perceptions that occur within groups, teams, organisations, and communities. Ketiga aspek tersebut, yaitu interaksi sosial, pola-pola perilaku, dan persepsi, jika kita perhatikan dengan seksama adalah penentu utama terwujudnya harmoni sosial (jika dikelola dan ditempatkan dengan benar, secara baik, dan indah). Atau sebaliknya menjadi pemicu konflik sosial (jika dikhianati, dipolitisasi, atau terjadinya dispute pada satu atau lebih dari ketiganya).

Bronisław Kasper Malinowski (1884-1942), yang dianggap sebagai one of the most important 20th-century anthropologists pernah menulis. Bahwa tujuan dari studi etnografi adalah “to grasp the native’s point of view, his relation to life, to realize his vision of his world”. Sayangnya, prinsip belajar, meneliti, dan memahami kompleksitas kehidupan komunitas manusia ini, from the native’s point of view, sangat tidak populer di Indonesia. Mungkin karena ilmu antropologi dipersepsikan sebagai “ilmu penjajah”. Padahal, keberhasilan VOC sejak pertama kali berdiri di awal abad ke-16 sampai akhirnya enggan meninggalkan bumi Nusantara setelah kemerdekaan Indonesia diprokalamirkan pada 17 Agustus 1945, salah satunya adalah karena mereka kong-kalikong dengan kerajaan Belanda dan kampus-kampus terkemuka di sana melatih dan mengirimkan para etnografer ulung (Christiaan Snouck Hurgronje salah satunya) yang dengan total menyelami proses interaksi sosial, pola-pola perilaku, dan persepsi masyarakat lokal. Agar VOC dan pemerintah kolonial Belanda kala itu tetap bisa membuat penduduk Nusantara merasa “nyaman” di bawah kendali penjajahan dan aturan hidup sesuai kepentingan kolonialisme.

Secara metodologis, pendekatan etnografis ini sebenarnya mirip ilmu srawung di Jawa, khususnya melalui participant observation dengan terlibat secara total dan intensif serta menjadi bagian dari komunitas yang diteliti, sedemikian rupa sehingga si etnografer tidak lagi dianggap sebagai “other” (pihak lain, orang asing) dalam kelompok atau komunitas tersebut. Bahkan kemudian menjadi bagian penting dari “us” (orang kita, wonge dewe, sedulur). Selama berpuluh-puluh tahun sejatinya ini diterapkan oleh Cak Nun dalam bersentuhan dan berinteraksi dengan semua jenis mahluk di muka bumi (termasuk mereka yang tidak kasat mata). Sehingga oleh semua kelompok tersebut (termasuk kelompok mahluk yang kasat mata tadi), terutama yang sekarang populer dengan Jamaah Maiyah memposisikan Cak Nun sebagai bagian penting dari mereka dengan identitas kultural dan sebutan “Mbah”. Bukan identitas kelompok atau golongan yang konotasinya temporer dan sarat kepentingan.

Dengan dasar tujuan dan prinsip-prinsip etnografi tersebut, simposium Decoding the Labyrinth of Conflict beberapa waktu yang lalu terselenggara di Unair Surabaya. Sebagai peneliti, tentunya dari awal saya membawa sebuah proposal yang di dalamnya mencantumkan metodologi pengumpulan data yang harus dilakukan. Dan jangankan menjadi bagian dari desain penelitian, satu kata pun yang mencantumkan istilah “symposium” sebenarnya tidak ada sama sekali.

Berdasarkan proposal dan yang saya lakukan di Yogya sebelumnya, workshop dan FGD adalah metode yang saya pilih dan gunakan untuk menggali pengalaman dari para pegiat Jamaah Maiyah yang sekaligus memungkinkan adanya saling sharing antar mereka. Waktu itu, topik paparan dan diskusi saya batasi dengan frame bahwa Maiyah adalah sebuah pendekatan pengorganisasian sosial baru (jika dibandingkan dengan ormas, parpol atau entitas lain) yang secara tidak langsung memiliki fungsi security (pengamanan). Yaitu mengamankan dan menciptakan suasana aman di tengah-tengah masyarakat yang dapat dilihat dari banyak spektrum. Mulai dari dekonstruksi terhadap kekakuan tafsir dan praktik keberagamaan yang selama ini berlaku, juga terhadap misperceptions dan misbehaviours dalam politik, pendidikan, literasi, sastra dan budaya, pemberdayaan ekonomi (livelihoods), tanggap bencana, Peacebuilding and Conflict Resolution, sampai pada isu Cyber Security.

Ketika saya sodorkan konsep serupa di Surabaya, seorang teman pegiat Bangbang Wetan mengajak saya berdiskusi tentang satu dari sekian banyak dekonstruksi sudut pandang atau cara berpikir yang Cak Nun tawarkan dalam proses ber-Maiyah, yaitu sedekah atau shodaqoh. Dengan santai ia mengatakan, “Cak Nun pernah bilang begini, ’shodaqoh itu bukan memberikan apa yang kita miliki, melainkan memberikan apa yang orang lain butuhkan’, jika rencana penelitianmu ada nilai sedekahnya, mungkin akan lebih bermakna jika format pengumpulan datanya disesuaikan dengan kondisi arek-arek di Surabaya”.

Singkat cerita, native’s point of view ini yang saya ikuti, termasuk judul simposium yang otentik dari aspirasi pegiat Bangbang Wetan. Manajemen penyiapan acara yang “tidak biasa”, pembagian tugas, desain leaflet dan backdrop, metode koordinasi, pengantaran undangan, hingga hari H acara, semua menggunakan dan mengejawantahkan konsep shodaqoh dan paseduluran yang berbeda sama sekali dengan banyak model manajemen acara yang saya ikuti sebelumnya, baik di kantor maupun di kampus. Bahkan, alasan mengapa formatnya simposium (bukan seminar, workshop, FGD, atau bahkan Sinau Bareng sesuai acara rutin Cak Nun di mana-mana) karena modelnya adalah diskusi ilmiah di kampus yang memungkinkan satu tema khusus dibedah dari berbagai aspek oleh para pakar atau praktisi yang berbeda. Dan untungnya, “paseduluran” ala Maiyah dengan Pak Suko Widodo yang kebetulan tidak hanya sebagai aktivis maiyah Bangbang Wetan, tetapi juga menjabat sebagai Kepala Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair juga memungkinkan kendala teknis acara bisa diselesaikan secara “adat”.

Dengan format simposium, baik pembicara maupun peserta mendapatkan pemahaman baru, yaitu bagaimana posisi Maiyah di tengah sengkarutnya labirin konflik lokal, nasional, bahkan global yang formula resolusinya seolah tidak pernah menyentuh secara serius subjek utama pada setiap konflik sosial yang terjadi, yaitu manusia. Lengkap dari aspek tata kelola logikanya, etikanya, dan estetikanya.

Sangat jamak kita jumpai fakta bahwa pendekatan pencegahan, penanganan, dan resolusi konflik di manapun, yang disasar adalah atributnya. Mulai dari agama, etnis, kelompok, golongan, strata sosial dan ekonomi, bahkan teknologi dan “baju-baju” yang lain. Pun jika yang digarap adalah pelaku utamanya atau orangnya, terlalu sering treatment yang dilakukan hanya terfokus pada bagian kecil dari kebutuhan si subjek yang berkonflik. Entah itu hanya sisi psikologisnya saja, ekonominya saja, sosialnya saja, spiritualnya saja, atau sekadar rumahnya saja secara terpisah-pisah. Dan celakanya, resolusi konflik dari Dewan Keamanan PBB untuk menjaga perdamaian dunia juga menggunakan formula parsial serupa. Lemah di aspek etika dan estetika, bahkan nir spiritual.

Nampaknya, rumus-rumus baku tersebut adalah hasil dari pendekatan pendidikan modern yang memisahkan antara intelektualitas dengan spiritualitas, individualitas dengan kolektivitas, dan kreativitas dengan aktivitas-aktivitas rekreatif yang terus didekonstruksi di Maiyah. (bersambung)

Lainnya

Exit mobile version