CakNun.com

Decoding The Labyrinth of Conflict | Simposium Regional

Menggali Pembelajaran Resolusi Konflik Pasca Reformasi dari Gerakan Maiyah Nusantara
Redaksi
Waktu baca ± 5 menit

Sebagai salah satu rangkaian untuk memeriahkan dan memaknai Dies Natalis Unair yang ke-64, Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair berkolaborasi dengan Amsterdam Institute of Social Sciense Research (AISSR), University of Amsterdam, Belanda akan menggelar Simposium Regional bertajuk “Decoding the Labyrinth of Conflict: Menggali Pembelajaran Resolusi Konflik Pasca Reformasi dari Gerakan Maiyah Nusantara”.

Simposium ini adalah bentuk kepedulian civitas akademika di lingkungan Unair dan sekitarnya serta pengembangan tradisi collaborative research dan collaborative engagement yang selama ini telah dilakukan antara dunia akademik dengan civil society terutama dalam upaya penciptaan rasa aman, toleransi atas keberagaman, dan pencegahan berbagai potensi konflik dan bencana sosial maupun bencana alam di tengah-tengah masyarakat.

Sebagaimana dipahami bersama, akhir-akhir ini, keamanan, integrasi, dan keutuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia kembali diuji dengan gejolak alam dan gejolak sosial yang magnitude dan intensitasnya semakin mengkhawatirkan. Di satu sisi, penduduk bumi Nusantara tidak bisa mengelakkan fakta bahwa mereka hidup di atas rangkaian “the ring of fire” yang menuntut seluruh elemen bangsanya memiliki kesiapan dan formula preventif untuk meminimalisir ancaman natural disasters yang setiap saat mengintai dan siap memporak-porandakan tatanan sosial yang ada dalam sekejap. Di sisi lain, harmoni sosial yang ada sering sekali terancam oleh social disasters berupa konflik antaretnis, antaragama, dan antarkelompok atau golongan karena penduduknya banyak yang alpa akan fakta Bhineka Tunggal Ika bahwa Indonesia adalah satu dari tidak banyak negara yang memiliki keragaman etnis, budaya dan agama yang luar biasa.

Atas dua ancaman ini, state actors (negara dan perangkatnya) dan non-state actors (aktor-aktor di luar negara, seperti ormas, parpol, LSM, kaum intelektual, rohaniawan, dan unsur kelompok masyarakat lain) telah melakukan banyak hal, baik yang bersifat preventif, kuratif, maupun afirmatif. Bahkan, sejak era reformasi yang sudah bergulir selama dua dekade, non-state actors telah mengambil peran yang sangat luas seiring dihilangkannya Dwifungsi ABRI, proses demokratisasi, dan desentralisasi. Sampai dengan Oktober 2017, tercapat sudah 344.039 ormas telah resmi terdaftar di negara dan saling bersaing mengisi peran-peran pengorganisasian masyarakat, pengisian ruang publik, advokasi sosial, dan pengamanan masyarakat, termasuk pencegahan maupun penanganan konflik di tengah-tengah masyarakat yang sebelum era reformasi dikendalikan sepenuhnya secara struktural dan militeristik oleh negara.

Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah, di mana gap-nya? Formula pengamanan masyarakat seperti apa yang sebenarnya belum dilakukan, baik oleh state actors maupun non-state actors sehingga ekskalasi konflik, ‘sekam’ perpecahan yang apinya terus menyala, dan benih-benih kerusuhan (yang sempat meledak di berbagai daerah pada awal periode pasca reformasi), serta mitigasi bencana alam belum mampu diantisipasi dan ditangani secara komprehensif? Meskipun yang paling kasat mata adalah eksklusivitas masing-masing aktor dalam memerankan fungsi pengamanannya, ada banyak spektrum yang perlu dielaborasi dan dipetakan untuk membuka rongga kebuntuan dan memperbaiki rumus penciptaan harmoni sosial pada masyarakat Indonesia yang super plural sekaligus tinggal di permukaan bumi Nusantara yang memiliki risiko tinggi.

Dengan kesadaran kolektif bahwa persoalan insecurity dan disintegrasi bangsa tidak hanya disebabkan oleh persoalan struktur maupun infrastruktur (yang sudah banyak dilakukan), tetapi juga kultur dan figur yang mempengaruhi pola dan cara berpikir maupun perilaku masyarakat secara kolektif, maka pendekatan, metode, dan formula yang bersifat alternatif dan ekskalatif perlu mendapatkan porsi yang lebih intensif. Salah satu contohnya, sebuah penelitian bertajuk “On Massive Conflict: Macro-Micro Link” yang memaparkan beberapa simulasi mengenai relasi mikro dan makro sosial pada sebuah konflik, menunjukkan bahwa konflik bisa dihindarkan dengan meminimalkan faktor tertentu yang berpotensi menjadi ‘sekam’ sebelum sebuah konflik benar-benar terjadi.

Dalam konteks ini, Gerakan Maiyah Nusantara yang hadir dan berkembang pesat sejak era reformasi, menjalankan sebuah alternatif baru yang ternyata menyentuh aspek pengamanan dan pencegahan konflik yang selama ini tidak banyak “digarap” oleh state actors maupun non-state actors, yaitu “pengamanan ruang berpikir”. Meskipun dalam khazanah pergerakan sosial di Indonesia, istilah Maiyah belum banyak mendapatkan sorotan dan kajian mendalam, baik dari kalangan akademisi, jurnalis, analis sosial, maupun para penentu kebijakan publik di negeri ini khususnya dalam hal resolusi konflik, namun kiprahnya di tengah-tengah masyarakat sangat luas dan mencakup banyak spektrum. Aktivitas mereka sangat dekat dengan proses pengamanan masyarakat atas ancaman bencana sosial, mulai dari solusi atas persoalan politik kebangsaan sejak proses reformasi, pengupayaan mediasi konflik antaretnis, antargolongan, antarkelompok agama di berbagai daerah, pencegahan kerusuhan massa, maupun menjembatani penyelesaian kasus penyelamatan dan pengamanan korban bencana alam (erupsi gunung Merapi, kasus bencana lumpur Lapindo, tragedi Situ Gintung, dsb).

Corak utama aktivisme Maiyah menawarkan adanya shifting orientasi dalam menciptakan harmoni sosial. Ia menggunakan pendekatan logika (penguatan dialektika dan tradisi literasi), etika (penggalian nilai-nilai dasar dalam ajaran agama dan budaya lokal), dan estetika (pemanfaatan instrumen kesenian dan ragam ekspresi kebudayaan yang dipadukan) yang mengedepankan sifat inclusive community engagement dan manajemen pengorganisasian sosial yang bersifat akulturatif sekaligus enkulturatif. Maka tidak mengherankan jika pengajian Padhangmbulan Jombang yang telah berlangsung selama 25 tahun dan merupakan embrio dari gerakan Maiyah, saat ini telah bermetamorfosis menjadi 5 lingkaran Maiyah utama di pulau Jawa dan lebih dari 60 simpul Maiyah Nusantara (termasuk satu simpul di Korea Selatan) dengan tiga pendekatan di atas melalui tradisi penamaan, kaderisasi, dan upaya-upaya pengisian ruang-ruang publik baru dengan spirit merangkul, sinau bareng, dan doktrin “menjadi bagian dari solusi”.

Sebagai sebuah corak baru gerakan sosial berbasis agama, penggunaan nama Maiyah tidak bisa dilepaskan dari landasan teks agama. Secara harfiah, ia berasal dari bahasa Arab, yaitu ma’a yang paling tidak ditemukan di 161 ayat di dalam Al-Qur’an, yang berarti ‘bersama’, sehingga secara sederhana makna Maiyah adalah kebersamaan (Effendy, 2009). Tidak seperti ormas atau gerakan tarekat (thoriqot) yang berbasis struktur dan AD-ART, pemaknaan nama Maiyah dibiarkan terbuka untuk terus ditafsirkan dan dimaknai secara beragam oleh mereka yang kemudian mengidentifikasi diri sebagai Orang Maiyah atau Warga Maiyah, dan majelis masyarakat Maiyah yang secara kolektif disebut sebagai Jamaah Maiyah. Poin inilah yang menjadi pusat perhatian Moving Matters (MoMat) Research Group: People, Goods, Power, Ideas di bawah naungan Amsterdam Institute of Social Science Research (AISSR) University of Amsterdam, Belanda, khususnya melalui comparative ethnographic research di 3 negara (Indonesia, Nigeria, dan Kenya) bertajuk Securing the Local: The Role of Non-State Security Groups (NSGGs) in the Struggle Against Extremism.

Salah satu narasi spirit kebersamaan yang kemudian menjadi rujukan bersama di dalam Jamaah Maiyah adalah teks agama dari kalimat Nabi Muhammad “la tahzan innallaha ma’ana” kepada sahabatnya Abu Bakar dalam situasi krisis di Gua Tsur ketika terjadi percobaan pembunuhan dan pengejaran oleh kaum Quraisy pada periode awal dakwah Islam di kota Mekah. Dengan narasi ini, platform gerakan Maiyah bersifat cair dengan tidak membentuk sebuah organisasi sosial yang baku. Ia juga memiliki karakter yang unik dalam hal interpretasi teks-teks agama sebagai landasan penumbuhan tradisi dekonstruksi cara berpikir, mengurai, dan mencari solusi bersama atas persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, karena bagi Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), sebagai tokoh sentral dalam Maiyah: “muara dari persoalan konflik, perpecahan dan disharmoni sosial (bebasis agama, etnis, golongan, bahkan peradaban manusia) adalah akibat dari terjadinya ketidakseimbangan cara berpikir”. Oleh karena itu, “pengamanan ruang berpikir” adalah upaya decoding the labyrinth of conflict baru dengan karakter moving matters yang layak untuk dikaji secara serius.

Berbagai upaya tersebut, di tengah solusi reaktif dan kompulsif terhadap konflik dan belum terlihatnya solusi komprehensif yang diberikan oleh negara dan aparaturnya maupun yang ditawarkan oleh ribuan ormas dan berbagai kelompok masyarakat untuk menciptakan harmoni sosial dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat yang multietnis dan multi agama, layak untuk didiseminasikan, dilakukan “uji publik”, dan diangkat menjadi diskursus akademis untuk memantik berbagai sudut pandang dan beragam kacamata analisis yang bersifat lintas disiplin, sehingga dapat dilokakaryakan untuk menemukan pendekatan dan formula-formula baru dari conflict resolution dan citizen securitization.

Simposium ini menggunakan metode diseminasi atau paparan dan diskusi terarah (Focus Group Discussion) dengan melibatkan akademisi dan praktisi lintas disiplin pada bidangnya masing-masing untuk mengupas topik utama “Pengamanan dengan Pencegahan Konflik, Studi Etnografi terhadap Maiyah” dari berbagai aspek.

Kamis, 29 November 2018
Pukul: 08.00-17.00 WIB
Ruang Adi Sukadana
FISIP UNAIR Lt.2
Kampus B – Dharmawangsa Dalam, Surabaya

Narahubung:

  • Wahyu Widhi 0813-3115-0400
  • Khefti 0878-3931-5513

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik