CakNun.com

Dari Wild Wild World Hingga Anugerah Terindah

Reportase Sinau Bareng Cak Nun KiaiKanjeng di Mancasan Lor, 14 Mei 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

Tidak hanya shohibul hajat yang sepuh-sepuh saja. Namun cicit Mbah Ngatinah yang masih kelas enam SD bernama Messi, juga digali sesuai kapasitas kebocahannya yang murni di atas panggung. Semua terasa menyenangkan, wajar dan merdeka. Tiga kata yang makin sulit ditemui di tengah Wild-Wild World belakangan ini. Memang kemudian, Mbah Nun juga request lagu Wild World untuk dinyanyikan oleh Mas Donny dengan dentang-denting berkelasnya KiaiKanjeng.

Mas Eross dan Om Duta menyampaikan kesannya lewat WA dengan Mas Patub. Bagi Mas Eross, acara Sinau Bareng ini menyenangkan karena tidak menyudutkan siapapun dan apapun. Bahkan menumbuhkan cinta dan tepa slira. Dan inilah hal yang paling dibutuhkan di negeri ini terutama belakangan ini. Om Duta sendiri beda tapi senada. Namun poinnya adalah pada Sinau Bareng menurutnya terdapat nilai kebersamaan. Di mana orang dimerdekakan untuk menggali sendiri-sendiri. Sehingga apa yang didapat kontekstual untuk diaplikasikan dalam kehidupan masing-masing.

Mbah Nun memang sempat menyampaikan, “Anda harus merdeka di depan Allah”. Bahwa urusan anda dengan tuhan harus personal. Intim tanpa campur tangan siapa-siapa. Pandangan lain, kiai, mursyid, ustadz dan lainnya, jadikan tambahan angle saja. Cukup.

Sekarang orang ribut antar ini-itu, sunni-syiah, sunni-aswaja, NU vs HTI dan varian keributan lainnya. Karena orang saling tidak percaya bahwa orang bisa merdeka. Golongan sini tidak tenang kalau ada kiai yang ngajak tahlilan. Golongan sana tidak senang kalau ada ceramah khilafah anti NKRI. Karena mereka pikir orang sebegitu tidak merdekanya. Sehingga setiap dengar apa pendapat “Sang Pengomong” pasti ummatnya manut.

Kenapa orang tidak percaya bahwa orang lain bisa merdeka? Sederhananya, karena dia sendiri terbiasa hidup dengan pikiran dan perasaan tidak merdeka. Sesederhana itu. Maka merdekalah.

Saya duduk di halaman sebuah rumah, pada acara ini. Bareng dengan Mas Adi yang belakangan aktif jumatan di Kadipiro. Seorang pegiat kopi yang mengolah lahan kopinya sendiri. Saya dan Mas Adi tentu mendapat hal yang beda dari Sinau Bareng. Anda juga boleh. Sofa, seorang ibu muda yang dulunya adalah mahasiswi dengan style rocker jilbaban kalau ke kampus, kawan kuliah saya dulu, rupanya warga sini. Karena kesibukannya mengurus anaknya, dia tidak sempat untuk rutin ke Maiyahan.

Malam itu dia berkesempatan menikmati Sinau Bareng yang menurutnya mendapat banyak ilmu dari Maiyah walau hanya sempat nonton di AdiTV. “Kata-katanya Cak Nun yang kadang nyeleneh jadi daya tarik anak muda ya hahahaha jadi biar pengajian itu gak serius-serius amat”, kata Sofa lewat DM di IG pada saya. Ndak apa Sof, kamu kangen masa-masa rock n roll-an yah? Hehee…

Dalam Sinau Bareng kita merdeka, menyerap dan merasakan sesuai kapasitas serta keperluan hidup kita. Semua akan berproses dalam hidup. Perhatian utama bukan pada yang di panggung. Saya amati betul dari belakang.

Di penghujung acara setelah selesai berdoa. Jamaah merengsek ke depan, ingin bersalaman dengan Mbah Nun. Tapi dengan sopan Mbah Nun meminta izin untuk tidak bersalaman dulu. Mbah Nun menyarankan, “Akan lebih banyak manfaatnya kalau anda bersalaman dengan yang di sebelah-seblah anda…”

Adegan berikut akan sangat filmis. Tapi ini benar yang saya amati. Saya benar-benar memperhatikan. Apakah kata-kata itu akan efektif. Satu detik, dua detik, jamaah masih beku menatap panggung. Mungkin masih berharap bersalaman dengan Mbah Nun. Beku. Namun tidak lama, mereka menoleh ke sebelahnya. Tersenyum. Tertawa. Mata berbinar. Bersalaman satu sama lain. Kenalan. Keluarlah kewajaran dan kemesraan, saya hanya bisa menangkap sekilas kalimat-kalimat semacam:

“Hey kamu di sini to? Sama siapa?”
“Mbak aslinya mana? “
“Namanya siapa?” 
“Bantulnya di mana Mas?”

Sinau Bareng, memang anugerah terindah yang pernah kita miliki bukan?

Lainnya

Exit mobile version