Dari Wild Wild World Hingga Anugerah Terindah
Sebenarnya judul lagu yang diciptakan Cat Steven itu Wild World. Tapi saya pertajam sedikit biar berkesan seperti tandus gersangnya Wild Wild West. Cowboy kulit putih lulusan civil war saling tembak. Kaum native Indian tersingkir. Jalur kereta meluas. Kota-kota baru bermunculan. Konflik kriminal pekerja kasar di pertambangan dan pelacuran bermunculan. Maka itu film-film cowboy sebenarnya disebut juga “post civil war movie”.
Kita tidak sedang menghadapi alam liar wild wild west. Cat Steven adalah salah satu rocker yang menjembatani sastra klasik ke satra modern rock n roll. Paling tampak mungkin di lagu Lady D’Arbanville. Selainnya tentu saja ada Freddy Mercury, David Bowie dan Pink Floyd. Maaf saya melantur ke situ, mungkin karena nuansa di sekitar Mancasan Lor saat berlangsungnya acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng pada 14 Mei 2018 malam itu terasa sangat musikal. Apa karena turut hadir juga, Mas Eross sama Om Duta yang dibarengi Mas Patub dan personel Letto lainnya?
Mancasan Lor, Condongcatur ini daerah padat, dan acara tidak dilangsungkan di tengah lapangan luas. Tapi tenang, kenyamanan tidak berkurang. Kita adalah ‘ruang’ yang mengkhalifahi ruang. Panggung berdiri di depan rumah shohibul hajat persis di seberang SMK Pariwisata Ambarukmo. Ke arah barat sedikit, ada gedung kampus UII Ekonomi. Saya pernah dipindah jualan dawet pas di pojok perempatan situ. Ke selatan menyeberangi Ring Road dapat UPN. Terus ke selatan lagi dapat YKPN. Saya tuliskan peta lokasi ini untuk sekedar ngetes kecerdasan spasial saya yang makin payah saja, dan untuk gambaran situasi sekitar.
Kalau bisa dibilang, ini adalah lokasi yang mahasiswanya dianggap paling high class dan fashionable di area Yogyakarta. Bisa jalan sama mahasiswi Ekonomi UII bagi beberapa mahasiswa se-kasta amuba seperti kami, itu prestasi!
Maaf, itu pembacaan sosial pribadi saja. Dan itu bukan yang penting di sini. Saya mau bilang, ini lokasi yang sedang dikepung budaya urban. Di sekitar lokasi Sinau Bareng, banyak sekali kos-kosan. Karena keterbatasan tempat, beberapa orang menghayati acara Sinau Bareng dari lantai dua kost. Kegiatan mahasiswa-mahasiswi Yogya di dalam kos, mungkin agak sedikit menemukan jedanya malam itu. Kegiatan semacam… Belajar bersama? Iya kan? Ini juga kan Sinau Bareng.
Di tengah masyarakat budaya urban yang sedang memimpi metropolis itulah, acara Sinau Bareng dilaksanakan. Selain dimaksudkan sebagai ekspresi kebahagiaan warga setempat menyambut Ramadlan, ini juga sekaligus adalah peringatan 1000 harinya almarhumah Mbah Ngatinah Parto Komari. Di sini kita lihat, ada perlawanan sunyi dari manusia desa kepada monokultur ingar-bingar modernitas yang mengepungnya.
Dan perlawanan sunyi ini, bukanlah perlawanan yang penuh hiruk-pikuk, perdebatan ideologis, pertikaian apalagi letupan bom hasil 3C dengan berbagai cabang sumbu ekosospolbud-nya. Tidak, ini adalah perlawanan yang menggembirakan hati manusia, menggembirakan sesama. Tawa-tawa itu, apa kurang revolusioner? Sinau Bareng adalah Anugerah Terindah di tengah dunia yang semakin liar ini.
“Saat kau di sisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki...”
Om Duta sempat menyumbang suara khasnya. Sepertinya ada suara gitar Mas Eross yangsound-nya ‘kotor-kotor berkelas’ menemani. Dan alat musik lain diisi oleh personel Letto dan KiaiKanjeng. Saya cuma menebak-nebak, bahwa itu gitar yang main Mas Eross karena tempat saya duduk tidak memungkinkan untuk melihat langsung ke arah panggung. Tapi selain sound khasnya Mas Eross, juga terdengar sekelabat ‘denting-denting Vivaldi nggamel’ ala Mas Patub. Tepatnya siapa yang mengisi gitar, saya kurang bisa memastikan. Dan maaf saya suka kasih istilah-istilah sendiri soal karakter sound. Soalnya saya ndak pernah belajar teori akademis musik. Untuk keterbatasan ini, saya minta maaf pada pembaca yang budiman dan budiwati.