Dari Menturo Menyorong Rembulan Menuju Pasca Negara
Pembelaan Sejati Pada “Wong Cilik”
Mbah Nun juga menyampaian pada JM, bahwa semakin ke sini semakin nampak bahwa apa-apa yang dielaborasi di Maiyahan, di lingkar-lingkar, simpul-simpul, rasanya semakin dibutuhkan oleh dunia. Bisakah kita memaknai bahwa ini adalah pesan agar kita meningkatkan lagi kualitas diri?
Wacana yang berkembang di dunia modern hampir tidak bisa mengatasi persoalan apa-apa. Karena selalu keliru pada hal-hal mendasarnya. “Maka Maiyah mencari apa yang tidak keliru”.
Belum lagi munculnya kaum-kaum pemegang legitimasi. Kita sudah biasa mengkaji bahwa kebenaran itu urusan yang disimpan. Karena yang benar secara qath’i hanya Allah. Selainnya hanyalah dhonni. Mau NKRI, NU, HTI, NII, LDII, MTA, bahkan Maiyah sekalipun bisa disebut bersifat dhonni. Sajian dari kebenaran itu harus berupa kebaikan dan berpuncak pada keindahan.
Dalam beginian saja di dunia modern lantas dibagi jadi klasifikasi: kebenaran adalah urusan akademisi, kebaikan urusannya agamawan, dan keindahan adalah urusan seniman. Sehingga banyak versi kebenaran yang tidak baik. Banyak kebaikan yang tidak indah. Banyak keindahan yang tidak punya kebaikan. Dan begitu terus berputar-putar.
Di Maiyah kita belajar untuk: baiklah kita hargai mereka yang berada pada pucuk relasi kuasa, pemegang legitimasi wacana. Karena terlanjur. Tapi perhatian sesungguhnya adalah pada “wong cilik”.
Term “wong cilik” sering disalahpahami sebagai kaum kelas bawah. Kaum aktivis, akan memilih satu pihak yang paling dirugikan dalam sebuah kasus misalnya. Itu logika pembelaan memang. Namun pembelaan “wong cilik” di Maiyah, bahwa yang disebut “wong cilik” itu bisa saja dari kaum penindas, penguasa, pengusaha, maling, pemerintah, parpol petinggi atau siapapun. Karena posisi dia lemah di hadapan tuhannya. Ketika terjadi penjajahan dan penindasan, maka semuanya adalah “wong cilik” yang lemah, terlemahkan, dan dilemahkan.
Terlampau banyak hal yang tidak dapat diselesaikan dengan pandangan modern. Terlalu banyak kekurangjangkepan yang minim usaha untuk menjangkepkan. Yang diharap mampu mengurai dan mengurangi persoalan, seringnya malah menambah masalah. Sedangkan manusia terus berjalan, berhijrah pada dataran kesadaran baru.
Wa’tashimu bihablillah, Peradaban Setelah Negara
Kalimat Mbah Nun saya rasa sangat penuh berisi ketika menjelaskan bahwa manusia saat ini sedang mencari wa’tashimu bihablillah. Ikatan antar manusia atas dasar yang lillah yang sejati. Negara, terutama yang seperti NKRI ini tak mungkin abadi. Maiyah adalah peradaban pasca negara di mana kekeluargaan, kemesraan, kebersamaan bertaut paut dengan sisi keliaran, pecicilan, bandel-bandel sedikit. Dipertajam pula dengan keinginan untuk terus belajar. Ikatan antar orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.
“Maiyah adalah pasca negara”, ungkap Mbah Nun.
Lahan NKRI bukanlah tanah subur untuk berbagai macam potensi para generasi yang bercinta dan berkarya karena Allah. Tapi ketidaksetujuan mereka pada negara tidak akan dilampiaskan pada aksi teror yang konyol. Cinta itu melampaui kesetujuan dan ketidaksetujuan. Pola pikir perkubuan politik mungkin akan susah mencerna ini. Tapi begitulah, Maiyah memang pasca mental followers nasionalisme. Pasca dogma “NKRI Harga Mati” dan pasca negara.