CakNun.com

Dari Menturo Menyorong Rembulan Menuju Pasca Negara

Reportase Padhangmbulan "Menyorong Rembulan", 28 Mei 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 13 menit

Peradaban Baru, Pecicilan pada Hidup

Bentuk negara modern seperti yang kita kenal sekarang ini, baru mengalami pembakuan dan pengerasan bentuk ketika negara-negara Eropa mencoba untuk survive dari kecamuk perang dunia pertama. Lantas dilanjutkan dengan bergemuruhnya dentum perang dunia kedua yang dibawa oleh NAZI.

Negara-negara memadat, mengeras demi keberlangsungan hidupnya. Belanda diserang, Wilhelmina diungsikan. Sementara Hindia-Belanda dalam ancaman Nippon di timur. Negara-negara Eropa memilih bersatu melawan NAZI dengan bentuk negara yang telah diperkokoh menjadi semakin maskulin, melampaui budaya, suku dan keluarga. Negara jadi identitas, nasionalisme.

Sayangnya, ketika dengan serangkaian keberuntungan, NKRI bisa lepas dari status jajahan. Kiblat bentuk negara yang diadopsi sebagai penyelamatan diri, justru adalah bentuk negara Eropa dengan demokrasinya yang sudah mengalami pembakuan bentuk sebelumnya. Efeknya bisa kita rasakan sampai sekarang.

Dua paragraf di atas adalah pikiran saya yang melayang ke mana-mana ketika Mbah Nun berkata dari panggung, “Apakah anda menganggap negara akan abadi?”

Tentu tidak, yang abadi adalah hidup dan kehidupan. Negara hanya inisiatif, eksperimen. Kalau gagal boleh coba lagi. Tidak perlu terlalu dramatis.

Sebelumnya Mbah Nun menjelaskan secara singkat bagaimana bentuk-bentuk komunitas peradaban manusia dari nomaden hingga menetap. Dari keluarga, suku, kerajaan, hingga negara modern seperti NKRI. Belakangan negara modern semakin gagal dan semakin tidak relevan pada hidup manusia. Bukan saja kurang relevan, malah banyak merepotkannya.

Manusia mencari bentuk baru dan itu lumrah saja. Sayangnya beberapa orang tidak sabaran dan jatuh pada (yang disangka) ideologi alternatif dengan bungkus tafsir agama. Semacam pro khilafah satu versi yang begitu-begitu saja. Persoalan mendasarnya adalah kegagalan negara dan membosankannya nasionalisme. Tidak adanya pilihan segar yang ditawarkan oleh ormas-ormas maupun partai pendukung pemerintah. Serta penganut doktrin “NKRI harga mati-isme”, semuanya hanya pengulangan. Manusia bosan. Generasi baru lahir dengan ide segar. Pikiran lebih merdeka. Tapi tetua-tetua mereka tidak siap. Berontak akhirnya, terorisme pun melanda.

Maiyah berhadapan dengan dunia semacam ini. Berhadapan dengan dunia di mana orang berpikir harus mengunggulkan ideologinya sambil menjegal keyakinan ideologi lainnya dengan siasat, taktik, strategi. Hidup jadi hilang kemurnian. Kiri akan cari celah untuk menyerimpung kanan. Kanan mengincar untuk menikam kiri dari belakang. NU akan melumat HTI kalau ada kesempatan. HTI akan memporak-porandakan NU kapan-kapan. Dan semuanya membosankan. Bagi generasi muda millenial macam kami, persoalan mereka menjemukan dan tidak penting.

Banyak intelek hanya bisa berpikir kalau ideologi lawannya berkuasa maka eksistensinya pasti terancam musnah. Ada satu istilah yang saya dapat malam ini. Dari Mas Helmi dan dr. Eddot yang ngobrol tentang pola kesehatan Mbah Nun: “Orang kurang bandel dan pecicilan sih sama hidup”. Itu! Istilah yang saya cari-cari lama dan jadi jawaban kenapa pertarungan antar ideologi dan dogma dan aliran, madzhab, firqoh dan sebagainya ini makin tidak menarik saja bagi kami yang muda-mudi belia. Kurang pecicilan sih. Maaf kalimat ini agak saya geser konteksnya.

Lainnya

Exit mobile version