Dari Menturo Menyorong Rembulan Menuju Pasca Negara
Lihatlah di panggung kembali. Ada Cak Markesot yang juga absurd luar biasa. Namanya sudah dibaca oleh ribuan orang sebagai tokoh dalam banyak tulisan Mbah Nun. Namun nampaknya beliau sendiri tidak terpengaruh dengan itu.
Mbak Hayya, putri Mbah Nun turut tampil menampilkan satu lagu. Kalau saya tidak salah tangkap lagu “Listen” dari Beyonce. Bunda Novia sang ibunda melantunkan “Keluarga Cemara”. Mbah Nun menyambut kemesrsan dengan candaan-candaan. Mas Sabrang yang duduk di panggung tak pelak kena sasaran. Mbah Nun pun berduet dengan istri tercinta melantunkan “Apa Ada Angin di Jakarta” yang oleh Mbah Nun ditegaskan, bahwa kita baiknya tidak perlu terlalu kepikiran dengan negeri Jakarta-NKRI di sana itu. Sebab di sana angin saja jangan-jangan tidak ada. Apalagi pemimpin dan kualitas kepemimpinan, bukan?
“Pulanglah ke desa, membangun esok hari… Kembali ke huma berhati...”
Pulang, ke desa. Manusia desa yang paling mengerti jalur nasab-sanad nuansa yang membentuk manusia. Di panggung pun ada Pakde Mus, Cak Markesot, Pak Hammim Ahmad, Cak Mif, Cak Fuad, Pak Uki Bayu Sejati, Mas Amir, dr. Eddot, Pak Toto, Mas Harianto, Mas Helmi, Mas Fahmi, Mas Jamal.
Semua diberi keleluasaaan untuk bicara. Dan Mbah Nun juga menceritakan kisah persentuhan dan pertemuan beliau dengan nama-nama itu. Setiap orang ditemukan spesialisasi dan keistimewaannya. Ini mungkin cara mencontoh kehidupan Rasulullah Saw yang paling kontekstual dalam hal hubungan dengan orang-orang sekitar. Rasulullah tidak pernah mengangkat murid. Tidak pernah membaiat siapa-siapa untuk masuk dalam atmosfer pikirannya. Istilah guru-murid, apalagi dengan pengangkatan, pengesahan, pembaiatan, baru ada ketika campuran cita rasa spiritual ningrat merangsek.
Mbah Nun tampaknya ingat betul kapan dan di mana beliau bertemu siapa. Dari Cak Sot yang kawan masa kecil di Menturo. Pak Toto pendiri KiaiKanjeng. Mas Jamal Redma diceritakan Mbah Nun bertemu di Philadelphia. Mas Uki disebut sebagai sarjana kesetiaan. Pak Amir Insist yang salah satu dari trio begawan aktivisme (Pak Amir, Pak Toto dan almarhum Mansur Faqih). dr. Eddot yang disebut andalan Mbah Nun dalam kedokteran. Dan semuanya satu persatu.
Pakde Mus ketika tiba gilirannya malah menambahkan pemanggilan nama-nama nasab kemesraan dengan menyebutkan pejuang-pejuang tangguh di sekeliling Mbah Nun. Dari Cak Gajah, Cak Slamet, Mas Gandhie, Cak Zakki, Mas Alay, Mas (“Kiai”) Doni, dan seluruh anggota Progress dan KiaiKanjeng. Bagi Pakde Mus, karena kecintaannya pada Mbah Nun, maka beliau juga harus mencintai dan menghargai orang-orang di sekeliling Mbah Nun.
Pakde Mus menyumbang satu tembang keroncong yang sangat indah. Kemudian dilanjutkan dengan doa, agar Mbah Nun dan orang-orang di sekitar beliau diberkahi umurnya dan selalu dalam ridla dan lindungan Allah Swt. Doa yang mirip yang diucapkan Pakde Mus ketika tarawih. JM pun mengamini dengan gegap gempita.
Manusia desa memang peka pada persentuhan dan selalu ingat pada kemesraan dan kisah dibaliknya. Pada satu kesempatan di panggung, Pak Toto ketika ditanya mengapa bisa nyambung dengan Mbah Nun, beliau menjawab yakni karena Pak Toto merasa orang desa dan Mbah Nun juga orang desa. Sesama orang desa. Cara-cara Mbah Nun mengatasi persoalan, mengolah permasalahan dan memandang banyak hal rasanya memang sangat desa. Tidak terlalu mambu ideologis. Begitupun tulisan-tulisan beliau. Sehingga ketika bicara soal demokrasi atau HAM, atau gender atau berbagai bentuk pembelaan, beliau tidak terjebak dan diperbudak oleh wacana yang sedang dibela. Kalangan aktivis, sering terjebak seperti ini, misal: membela korban pelanggaran HAM tapi malah jadi kacung HAM internasional.
Banyak orang saat ini, ujar Mbah Nun sangat pintar wacana ini-itu. Bahan bacaannya banyak tapi kalau diajak berpikir kesejatian, kemurnian, kemesraan tiba-tiba jadi ndak bisa mikir. Mbah Nun menambahkan, “Anda harus pintar mesra, pintar (soal) yang sejati”.