Dari Menturo Menyorong Rembulan Menuju Pasca Negara
Semburat Doa “KELAHIRAN” Menuju Bangbang Wetan
Tak lama para pemain teater Perdikan menempati panggung, berkostum lengkap sebagai tokoh masing-masing. Namun kali ini, pementasan “KELAHIRAN” setelah sebelumnya dipentaskan di Yogyakarta, konsepnya adalah dramatic reading. Hanya beberapa tata gerak yang memang perlu yang ditampilkan. Lagipula rasanya sayang sekali bila JM tidak ikut menikmati komposisi gerak dan tari dari Pak Jujuk (yang juga adalah sutradara pementasan) dan pantomime singkat Pak Jemek.
Karena ini kali kedua saya menyaksikan, saya bisa katakan bahwa terdapat beberapa penyempurnaan dari naskah sebelummya. Naskah sebelumnya aslinya adalah karya Mbah Tertib Suratmo yang digubah, lalu diberi sapuan oleh Mbah Nun. Dan tampaknya penggubahan itu masih dilanjutkan.
Pada naskah yang dipentaskan malam ini, beberapa sentuhan kalimat terdengar lebih mendekat ke pesan awal Mbah Tertib Suratmo mengenai kegelisahan sang penulis naskah. Soal makin terkikisnya perayaan akan kelahiran manusia setelah bergeser dari kelumrahan desa ke bekunya narasi besar kota. Namun sekaligus juga, penggubahan ini membuat kalimat-kalimatnya lebih sakral. Lebih bermuatan doa dan harapan. Penyempurnaan pada naskah nampaknya paling banyak mengena ke tokoh “Pancer” yang diperankan Pak Jokam. Dan permainan Pak Jokam sempurna menyampaikan pesan dan kesan ini.
Karena ini dramatic reading, maka wajar bila perhatian utama kita kepada isi dialognya. Namun tidak mungkin terlupakan, sentuhan musik dari KiaiKanjeng juga adalah warna yang sangat istimewa. Seperti pentas sebelumnya, ketika ending kalimat pamungkas diucapkan, penggalan intro nomer Bangbang Wetan mengalun. Namun bedanya kali ini, ketika curtain-call (salam hormat pemain pada penonton) langsung disambar tim KiaiKanjeng dengan membawakan “Bangbang Wetan” secara lengkap. Itulah saya tidak bisa menahan diri untuk tidak melonjak, berdiri dan bertepuk tangan sekencang-kencangnya dari beranda lantai dua ini. Nice touch! Bravo Maestro!
Sanad-Nasab, Persentuhan Nuansa Manusia Desa
Bagi saya pribadi, miturut pembacaan saya yang awam ini, sanad dan nasab sesungguhnya adalah seperti yang ditunjukkan di panggung pada malam tanggal 28 Mei ini. Nasab, selain adalah kita mengerti muasal darah leluhur, juga adalah memesrai proses perjalanan sejarah serta tantangan yang dihadapi dari para leluhur. Mengerti proses perjuangan dan temuan kebenaran pada zamannya. Bukan sekadar membekukannya dalam pentradisian kaku.
Sanad bukan sekadar nama guru keramat yang diucapkan sebelum mengkaji kitab. Di-alfatihah-i ngarep auto-barokah tapi tanpa dipelajari dengan jangkep. Disebut tanpa disapa. Hanya karena memang sudah seperti itu biasanya. Sanad dan nasab bukan untuk legitimasi kuasa wacana kebenaran. Sehingga karena bersanadkan ilmu berguru pada kiai mursyid ini atau keturunan Syekh nganu lantas tidak bisa dibantah. Walau sekadar begitu saja tidak buruk. Tapi rasanya dangkal sekali bila cuma itu.
Pemahaman mengenai sanad dan nasab mungkin, adalah agar kita mengerti bagaimana sebuah pohon bisa menghasilkan buah tertentu. Juga jenis tanah, aliran air, tumbuhan sekitar, bunyi-bunyian, aroma hingga makhluk-makhluk yang biasa bersentuhan dengannya. Pun Ngai Ma Dodera, gelar yang disematkan oleh Kesultanan Ternate pada Mbah Nun, yang artinya pohon tempat berbagai makhluk berteduh. Sehingga dengan paham sanad-nasab nuansa, pada masanya nanti kita bjsa mengolah persoalan sesuai tantangan zaman kita sendiri. Bukannya sekadar mengulang cara-cara lama yang usang. Usang, seperti konsep negara yang kita pakai sekarang.
Maka memang bukan presiden atau pejabat yang mestinya ada di panggung itu. Bukan followers NKRI yang sukses mengkhianati sanad dan nasab peradabannya demi pemodernan infrastruktur, kemegahan dan gengsi internasional tapi minimalis harga diri.
Semua yang di panggung malam itu adalah orang-orang yang pada konteks dan wilayah tertentu mengalami persentuhan dengan Mbah Nun sendiri. Semua punya kisah sendiri dengan spesialisasi karakternya masing-masing. Sahabat, tetangga, kawan masa kecil, keluarga, trio redaktur Maiyah, dan yang absurd-absurd macam Pak Gareng dan Pak Jemek.
Wabilkhususon Pak Gareng yang suaranya melengking. Saya masih punya utang untuk membikinkan satu puisi yang ingin beliau pentaskan. Saat Mbah Nun membahas absurdnya Pak Gareng ini, orangnya sedang ada di belakang saya setelah tadi ikut tampil dalam “KELAHIRAN”. Beliau ikut menikmati acara dari beranda lantai dua sambil nyengir-nyengir sendiri. Kadang ikutan menjawab kalimat Mbah Nun. Padahal jelas ndak akan terdengar. Saya cuma bisa geleng-geleng. Kakinya basah karena saat menembus padatnya manusia di bawah sana tadi, sempat kecebur selokan. Diam-diam saya kagum pada beliau, betapa istiqomahnya menjadi manusia otentik.
Saat pertama kenal Pak Gareng pun saya tidak pernah tahu kalau beliau punya persentuhan dengan Maiyah. Tahu-tahu ada orang berusia sepuh yang ikut mengerjakan set panggung. Bantu ini-itu, bikin teh dan kopi, ketika kami akan pentas di Sanggar Bambu dulu. Dengan kacamata pandang modern, bagaimana kita bisa tahu bahwa ini orang besar yang sudah malang melintang di dunia kesenimanan? Ketulusan tak punya tempat di dunia dan negara seperti ini. Di Maiyah justru manusia dengan otentisitas begini yang selalu hadir.