Dari Menturo Menyorong Rembulan Menuju Pasca Negara
Jihad untuk Tetap Sempurna Sebagai Manusia
Pikiran saya punya kecendrungan untuk mengkomparasi beberapa hal yang sedang diamatinya. Saya sendiri kurang tahu kenapa selalu begitu cara pikir saya, dan apakah sudah tepat atau belum. Tapi pikiran mengkomparasi itu datang juga, ketika setelah satu nomer sholawat dilantunkan, Cak Fuad dipersilakan oleh empat pemandu acara untuk naik ke panggung.
Ini yang menjadi pikiran saya. Pada momen seperti ini di banyak tempat yang pernah saya datangi entah itu ulang tahun pondok, milad sosok guru, peringatan kelahiran ormas dan atau sejenisnya. Dengan jumlah hadirin massa berjubel, tak jarang yang datang dan yang diundang adalah orang-orang pemerintah NKRI. Semacam ada rasa prestisius bila event seperti ini dihadiri oleh presiden, menteri, gubernur atau sejenis makhluk-makhluk itu. Ya minimal juga pengusaha penyumbang dana. Tapi hal begini tidak terjadi di Maiyah. Dan memang secara adiministrasi, Maiyah tidak berkewajiban meminta izin dari negara karena kekhilafahan dalam diri manusia Maiyah tegak tanpa pernah mohon restu dari kolonialisme Van Oranje, imperialisme Nippon maupun pengelola NKRI. Diizinkan atau tidak oleh dunia, oleh negara, kami tetap Maiyahan. Minimal dalam batin.
Tidak anti juga. Tapi rasanya tidak ada kepinginan ngarep-arep didatangi makhluk-makhluk negara seperti itu di sini. Di Maiyah, yang paling diutamakan adalah hadir sebagai manusia. Presiden boleh datang, tapi jadi manusia dulu. Sayangnya, di NKRI ketika orang sudah meniti karier entah dalam politik, bisnis, militer, keagamaan, aktivisme, jurnalisme atau apapun, orang selalu lupa jadi manusia. Duh, terlalu banyak wilayah suci di negara itu yang mau diinjak-injak oleh kehadiran jabatan yang maqomnya tidak lulus jadi manusia.
Cak Fuad mengawali dengan menceritakan kisah keluarga beliau. Keluarga di mana Cak Fuad lahir sebagai putra pertama. Keluarga di mana kemudian Cak Mif dan Mbah Nun juga berasal darinya. Betul-betul cerita sehari-hari, yang mesra, yang lumrah, pengalaman dan kisah-kisah lampau sebagai keluarga bersama Cak Mif Dan Mbah Nun. Hampir tidak ada kesan dramatisasi spiritual atau glorifikasi sufistik. Justru yang begini ini menurut saya, adalah rasa tasawwuf-spiritual asli manusia Nuasantara. Di mana kelembutan spiritualitas dicercap dari keseharian yang wajar. Bukan dengan kisah-kisah dramatis yang — kalau mau diperhatikan — juga ada di semua agama. Jadi kurang istimewa sebenarnya. Islam dan manusia Nusantara punya satu titik pertemuan kesadaran. Bahwa Tuhan ada pada keseharian, kemesraan dan kekeluargaan.
Cak Fuad kemudian memimpin doa bersama. Sebentar kemudian, di tengah keheningan derasnya arus doa jamaah, shalawat tarhim mengalun. “Yaa man asraa bikal muhaiminu lailan… Nilta maa nilta wal-anaamu niyaamu...”
Nomer Bayna Katifayh pun melantun. Denting-denting melodius, suara jajaran vokalis, kemudian diselimuti tetabuhan. Nada-nada mengembara dari Menturo, menelusur nasabnya pada ketukan Syria, Hadhramaut, ke Alexandria hingga muara rindu tumpah pada wajah agung Baginda Rasulullah Muhammad Saw. “Ashsholatu wassalamun ‘alayk… Ya imaamal mujaahidiin...”
Belum tumpas rindu, Pak Joko Kamto kemudian berdiri membacakan syair “Menyorong Rembulan” karya Mbah Nun. Dibaca dengan gaya khas Pak Jokam sendiri. Tidak berkesan meniru-niru gaya pembacaan Mbah Nun. Ilir-ilir pun menyusul, membawa kita pada tlatah jawi yang ijo royo-royo. Melambai-lambai penuh mesra pada ruh para pejuang jihad Perang Badar.
Lambaian, alunan, cengkok, arus, doa, denting, rindu, perjuangan. Jihad fi sabilillah. Demi tetap menjadi manusia di tengah zaman yang menggerus kualitas kemanusiaan.
Setelahnya kemudian Mas Helmi, Mas Jamal, Mas Harianto bersama Mas Fahmi, kembali berada di panggung. Kemudian Pak Toto dan Pak Eko Winardi dipersilakan bergabung. Berganti-gantian kemudian, semua yang di panggung menyumbang kisah demi kisah. Manusia, gumpalan dari jalinan kisah yang berkelindan seiring runtutan perjodohan ruang dan waktu.
Proses dari awal KiaiKanjeng dibawakan oleh trio redma (Mas Helmi, Mas Jamal dan Mas Har). Peristiwa reformasi dibabarkan singkat oleh Mas Fahmi. Yang kalau mau lebih komplit, bisa juga dibaca kumpulan tulisan Mas Fahmi mengenai reformasi di website. Kemudian Pak Toto menyambung dan memberi pengantar sebelum pentas “Kelahiran”. Bahwa pentas ini adalah doa agar kita semua, terlahir sempurna menjadi manusia.