Cetha Wela-Wela, Ora Tedheng Aling-Aling


Temanya Dhewek Sedulur, yang artinya kita semua bersaudara. Ini memang tema yang semestinya universal dan abadi, bukan semata kita perlu bicara tentangnya karena misalnya telah terjadi permusuhan dalam interaksi pergaulan sehari-hari, tapi secara asalnya adalah karena manusia memang berasal dari satu Dzat sumber asal-usul kita. Sangatlah beralasan bila sesama manusia kita bersaudara. Jadi jangan pernah bosan mengusung nilai paseduluran ini. Dan, buah terbangunnya rasa seduluran di antara kita ini adalah terciptanya suasana kondusif untuk saling berbicara terbuka. Orang Banyumas punya terminologi: ‘Cetha wela-wela’, lebih lengkapnya diimbuhi dengan ‘Ora tedheng aling-aling’.
Rekan kita, Rizki Dwi Darmawan, menemukan hal itu dalam Sinau Bareng tadi malam di GOR Satria Purwokerto. Suasana kondusif buka saling berbicara secara cetha, terbukalah selanjutnya. “Masih di sesi-sesi awal, Mbah Nun tidak tedeng aling-aling memberikan dekonstruksi dan nasihat tentang profesi Polisi dan TNI. Kalau sudah menyandang profesi tertentu, fokusnya adalah bertugas. Tidak boleh mikirin cari uang. Karena uang sudah ada yang menjamin,” demikian Rizki melaporkan. Catat dan resapilah.

Ulasan mengenai profesi dan mencari uang diayun hingga ke scope Indonesia. Di sini, Mbah Nun sangat mewanti-wanti agar di dalam lari-lari sprint-nya Indonesia jangan sampai tujuannya bukan akhirat. Akhirat adalah sesuatu yang berskala maraton dan abadi.
Karena semangat cetha wela-wela ora tedheng aling-aling, kita perlu juga dengarkan suara-suara lain. Di panggung, salah satunya ada Pak Minto dari jajaran Polres Banyumas. Beliau mengungkapkan rasa hatinya tentang bagaimana polisi selama ini distigma jelek oleh sebagian masyarakat kita. Tak hanya dicap jelek, bahkan menurut Pak Puji, dari Polres Banyumas juga, polisi dicap sebagai thoghut.
Persis di titik ini, Mbah Nun sejurus kemudian mengulas lengkap perihal stigma jelek terhadap polisi. Kalau seseorang dianggap jelek, tidak selalu pasti orangnya benar-benar jelek. Harus diteliti dulu jangan-jangan cara pandangnya yang salah. Sama halnya terhadap keris, bukan kerisnya yang mengandung nilai kemusyrikan, tapi cara pandang kita yang bolej jadi keliru mengenai tradisi orang terhadap keris. Begitu kurang lebih pesan Beliau.

Persis pada titik itu pula, saya mendapatkan view bahwa buat teman-temanku yang sedang studi tentang Islamisme atau politik Islam, Anda bisa melakukan riset tentang terbentuknya stigma thoghut itu dari sudut persepsi dan respons internal kepolisian yang menjadi pihak yang terkena stigma tersebut. Studi ini bisa melengkapi kajian-kajian politik Islam yang telah ada, serta dapat menyumbangkan keseimbangan persepsi dalam kajian politik Islam dengan yang saya rasa sangat diperlukan saat ini. Silakan.
Ada banyak konten tentunya dari Sinau Bareng yang digelar Polres Banyumas tadi malam dalam rangka Tabligh Akbar Rayonisasi. Di atas tadi adalah sedikit dari yang dapat disampaikan rekan kita Rizki. Mengakhiri laporannya, Rizki menyampaikan, “Setelah berminggu-minggu Purwokerto tidak diguyur hujan, malam tadi gerimis sesekali merintik. Namun seperti di banyak tempat, tidaklah beranjak jamaah dari tempat duduknya. Agaknya mereka tidak ingin melewatkan kesempatan bersilaturahim bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng yang tidak banyak kesempatannya hadir di kota ini. Begitulah ekspresi cinta yang tidak ‘tedeng aling-aling’.”
Terima kasih banyak, Rizki.
(Helmi Mustofa)