CakNun.com

Cespleng Kerukunan Deso Mowo Coro di Sariharjo

Liputan Sinau Bareng CNKK di Desa Sariharjo, 1 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 2 menit

Cespleng, Mbah Nun telah naik ke panggung sekitar menjelang pukul 21.00 WIB setelah sebelumnya KiaiKanjeng menemani warga dan para hadirin di Lapangan Palagan Sariharjo, Ngaglik Sleman dalam gelaran Sinau Bareng Mbah Nun dan KiaiKanjeng pada malam 1 November 2018 M ini. Efektif dan cespleng itu maksudnya, tanpa memanjangkan pengantar pembukaan Mbah Nun langsung meminta sembilan orang yang berasal dari Desa Sariharjo–yang sedang merayakan milad ke-70 ini–ditambah tiga orang yang bukan berasal dari sini, kemudian dari dua belas orang yang terkumpul dibagi menjadi tiga kelompok. Cespleng, langsung cakcek. Dengan begitu sendirinya, inisiatif kepemimpinan muncul, kreativitas terpacu.

Tiga kelompok terbentuk, telah bernama dan memiliki jubirnya. Kelompok pertama yang menamai diri “Abdi” ditanya oleh Mbah Nun asal namanya, pemantik ide nama tersebut. Dan berdirilah seorang bapak berpeci Melayu hitam. Dari kawan saya, saya diberi tahu bahwa bapak ini namanya Lek Man. Sehari-harinya seorang pengumpul barang rongsokan, kadang berjaga parkir dan senang ceramah, suka membahas hal-hal kejawen. Istri beliau jualan bakso di dekat lampu merah Pamungkas, jalan Kaliurang.

Kawan saya yang kenal dengan Lek Man itu Yudho namanya, sedang di sebelah saya duduknya. Dia baru saja kembali dari perantauan di Kalimantan.

Adapun kelompok lain selain kelompok Abdi tadi ada kelompok Guyub Rukun dan kelompok Merti Dusun. Masing-masing digali dan dielaborasi dengan kilat oleh Mbah Nun dan pada beberapa hal seperti makna kata “merti” Mbah Nun meminta Pak Camat juga turut menjelaskan. Sebab inilah Sinau Bareng di mana kita diajak untuk siap saling belajar, saling mengenal dan saling memesrai satu sama lain.

Ilmu itu seperti jodoh, Mbah Nun memberi gambaran, “Kalau milih pasangan baiknya yang dipilihkan atau yang Anda pilih sendiri?” Warga kompak menyatukan suara “Milih deweee…” Mbah Nun menegaskan posisi bahwa dalam Sinau Bareng tidak ada yang memilihkan ‘jodoh’ tetapi kita sendiri yang aktif inisiatif mencari ‘jodoh’. Terutama buat yang jomblo.

Di desa hampir tidak ada masalah seperti di kota dan NKRI. Komunalitas, kebersamaan, guyub masih terasa “Deso mowo coro, biarpun negoro masih belum menuju mowo toto” tapi tentu masih ada hal yang perlu meningkat. Seperti peningkatan speed cespleng di awal tadi, adalah latihan bagi kita dan bagi warga untuk selain bisa tetap rukun juga tetap sigap sedia, lincah dan kokoh kuda-kuda menghadapi kelebat jurus tipu-tipu dari kota dan negara.

Lainnya

Desa Tetap Mowo Coro Biarpun Negara Gagal Mowo Toto

Desa Tetap Mowo Coro Biarpun Negara Gagal Mowo Toto

Cultuurstelseel benar-benar tertanam menjadi kultur pada masyarakat kita. Sistem tanam paksa, dengan berbagai varian dan jenisnya ini telah menghasilkan berbagai tradisi, kebiasaan, serta pola-pola pemahaman akan tanah.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil