Cak Nun, Maiyah, dan Keseimbangan Wacana Politik Kekuasaan Indonesia
Dalam pergulatan pemikiran keIndonesiaan, Maiyah memperkenalkan perspektif baru yang radikal dalam hubungan antara warga negara, negara dan pemerintah. Pada dekade 80-an, Cak Nun telah membangun narasi tentang “Indonesia Bagian dari Desa Saya”. Kemudian belakangan disusul juga dengan statemen “Sedekah kepada Indonesia”. Betapa dengan dua kalimat tersebut, Cak Nun berupaya membalik konsep dan cara berpikir umum yang menganggap Indonesia adalah puncak tujuan “karir”. Jika pandangannya adalah bahwa Indonesia merupakan puncak karir, maka motivasinya menjadi berbeda. Potensi untuk berperilaku mengambil apa pun yang bisa diambil, bahkan dikeruk dari Indonesia menjadi besar.
Namun dalam Maiyah, Cak Nun menyampaikan doktrin yang justru mengajak Jamaah Maiyah untuk berpikir: melihat “Indonesia hanya bagian dari imagined village Maiyah”. Ibaratnya Indonesia hanya sebuah Rukun Tetangga dari imagined village Maiyah. Apa keuntungan materi dan sosial yang bisa diambil atau diharapkan dari sebuah Rukun Tetangga? Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan bukanlah mengambil apa-apa dari Indonesia. Melainkan justru “Bersedekah kepada Indonesia”.
Pemikiran ke-Indonesiaan sebagai bangsa yang bermuatan kemanusiaan dan sebagai negara adalah isu yang–nyaris–sudah final dalam Maiyah. Kecuali ada kejadian-kejadian luar biasa yang memaksa peta geopolitik dunia berubah. Sedangkan dalam sistem politik dan pemerintahan, apalagi praktik pemerintahan di Indonesia, Cak Nun dan Maiyah mengambil sikap kritis demi menjaga keseimbangan wacana, mengelola narasi perjalanan bangsa dan mencegah kekuatan kekuasaan menjadi mutlak.
Dalam sejarahnya, sejak pemerintahan Orde Baru hingga reformasi, Cak Nun senantiasa mengambil sikap kritis dan menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan politik. Kritis kepada pemerintah bukan berarti menempatkan diri sebagai lawan, namun demi menjaga keseimbangan, keutuhan dan kemaslahatan masyarakat.
Sebagai salah satu contoh dari upaya menjaga keseimbangan wacana, mengelola narasi perjalanan bangsa dan mencegah kekuasaan menjadi absolut demi kemaslahatan masyarakat itu bisa dilihat dari lahirnya pengajian Padhangmbulan di Menturo, pedalaman Jombang. Kampung halaman Cak Nun. Pengajian Padhangmbulan yang diselenggarakan di pedalaman kota kecil nun jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta, ternyata memiliki resonansi hingga mempengaruhi cuaca politik nasional.
Saat itu, Suharto sedang berada di puncak konsolidasi kekuasaannya. Seluruh lembaga tinggi negara, bahkan lembaga tertinggi negara, berada di bawah kontrol kekuasaan Soeharto. Tak ada satu orang pun yang berani melawan penguasa Orde Baru tersebut. Kala itu, Soeharto sudah menjelma menjadi Raja Diraja. Akan tetapi, kekuasaan yang hampir mutlak itu seolah menjadi tidak efektif di pengajian Padhangmbulan.
Di zaman Orde baru, semua aktivitas mengumpulkan orang, bahkan walaupun cuma belasan, wajib mendapatkan izin dari kepolisian dan penguasa militer setempat dengan proses yang tidak mudah. Jika ada indikasi akan ada kritik pada kegiatan yang diselenggarakan, secara otomatis kegiatan tidak akan diberi izin dan pasti tak dapat berlangsung. Namun, Padhangmbulan yang dihadiri puluhan ribu orang itu berjalan tanpa pernah mengurus izin yang rumit, dan hampir senantiasa merupakan pendidikan politik terbuka di panggung bebas. Sesuatu yang tabu pada masa itu. Secara normal, Padhangmbulan adalah hal yang mustahil dilakukan. Akan tetapi, pengajian Padhangmbulan terjadi. Dan berlangsung terus hingga hari ini.
Di sisi lain, ketika kedudukan Suharto mulai goyah, maka Cak Nun justru yang dipercaya oleh Pak Harto untuk menemani beliau turun dari “tahta”. Sebuah peristiwa yang indah di mana oposan tulen yang menjadi “lawan” sepanjang Suharto berkuasa, justru menjadi orang yang menemani sang Presiden di saat-saat terakhir kekuasaannya. Bahkan ketika Soeharto sudah mulai ditinggalkan oleh orang-orang yang dia besarkan.
Dalam dunia irigasi, Padhangmbulan bisa diibaratkan menjadi semacam sudetan, ketika air di bendungan nyaris meluap dan jalur keluar semua buntu, maka Padhangmbulan menjadi lorong yang bisa dilalui air sehingga potensi jebolnya bendungan bisa–minimal–dicegah. Padhangmbulan menjadi oase di tengah cuaca kehidupan politik Orde Baru yang pengap menekan. Sehingga, potensi luapan berupa ledakan kerusuhan atau pemberontakan akibat frustasi berkepanjangan bisa terhindarkan.
Maiyah–sebagai produk metamorfosis dari Padhangmbulan–menurut hemat penulis, secara algoritma memang di-”develop” sebagai lautan yang memiliki karakter menampung, mencegah benturan, menghindarkan api berkobar, sekaligus melakukan dekonstruksi atas lanskap pemikiran dan implementasi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang telah mapan untuk secara dinamis terus menerus mencari ekuilibrium baru.