CakNun.com

Cak Nun dan Masa Depan Musik Indonesia

#65TahunCakNun
Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 3 menit

Kebetulan saya memutuskan hubungan dengan televisi sudah cukup lama. Saya terseret era di mana manusia hidup dengan jatah data internet. Yang hampir semua jenis tontonan diakomodir dengan sangat luas oleh YouTube. Tetapi saya mencoba sebijak mungkin untuk tidak mengajak si babi buta dalam melahap konten yang ditawarkan. Hanya sekadar tidak ingin ketinggalan apa yang sedang hangat sekarang. Saya mencicipi menu-menu yang ditawarkan televisi via YouTube. Saya kira YouTube dulu mau menjadi anti-hero nya televisi, ternyata mereka tetep menjadi sahabat baik.

Dan, tingkah laku televisi adalah selalu sigap memanfaatkan momen. Kalau bulan Ramadlan seperti sekarang, mereka bertindak semakin agresif. Tidak hanya menayangkan program acara menjelang waktu berbuka puasa, waktu menjelang imsyak bahkan sudah masuk Shubuh semuanya mereka pakai. Ya, biar sahur saya tidak ngantuk, saya pilih beberapa konten di YouTube yang menayangkan acara menjelang Imsyak itu. Acara yang dikemas untuk mendatangkan gelak tawa. Menghadirkan beberapa komedian di channel televisi yang katanya televisi masa kini.

Alih-alih saya tertawa, justru perhatian saya tersedot ke dalam suara-suara latar musik yang ada. Awalnya, tidak ada yang aneh. Tapi kemudian beberapa pertanyaan menghampiri saya karena saya merasa tidak asing dengan bunyi-bunyian yang ada.

Kalau boleh menelisik bunyi-bunyi yang bahkan oleh para penonton, baik penonton yang ada di rumah maupun di studio, dengan cepat sekali saya membayangkan runtutan beberapa kejadian. Yang pertama, sedikit mundur ke beberapa tahun silam. Kelompok musik yang didapuk sebagai pengisi musik utama acara tersebut adalah kelompok yang dulu juga aktif di acara stasiun tivi yang lain. Sebut saja OVJ. Acara lucu-lucuan juga. Komedi dengan guyonan fisik, mendorong, sampai menjatuhkan, merusak properti untuk memancing tawa. Mungkin karena artisnya boyongan juga, sekalian dengan musiknya dibawa.

Yang menarik bagi saya adalah, kalau panjenengan ingat, format musik mereka, campur sari lho. Gaya Sunda. Ada perangkat gamelan Degung Sunda, termasuk suling dan kendhang Sunda sebagai ciri khasnya. Dengan dua ‘sindhen’ sebagai penyanyi utamanya.

Kemudian, berarti saya harus mundur ke belakang lagi. Kalau begitu sejak kapan musik-musik percampuran semacam itu bisa dengan damai dan sejahtera masuk ke ranah industri dan tidak lagi dianggap sebagai benda asing? Sejak kapan para seniman mendapatkan rasa percaya diri yang cukup kuat untuk meramu musik percampuran seperti itu? Era Manthous Campur Sari Gunung Kidul jawabannya.

Lebih baik mundur sedikit lagi, dari mana Manthous mendapatkan ide brilian dengan musik campur sarinya? Dengan siapa beliau bergaul?

Oke saya beri satu kasus lagi. Masih dari YouTube. Sekarang ini ada satu kanal resmi milik grup musik gambus. Yang berhasil dengan mendapatkan penonton hampir lima puluh juta dengan meng-cover lagu ‘Deen as Sallam’ milik Sulaiman Al-Mughny. Cukup heboh mengingat beberapa momen bom meledak di Jawa Timur. Dan lagu hasil cover-an itu mendatangkan simpati yang cukup memukau dari dalam dan luar negeri.

Bahwa wajah Islam, wajah yang teduh. Penuh pengayoman. Penuh perdamaian. Bukan wajah kekejaman. Bukan wajah penghancuran.

Islam juga punya ekspresi keindahan melalui musik. Grup Gambus itu pun menjadi terkenal dan diundang juga di televisi yang menayangkan program sahur itu tadi.

Lagi-lagi saya ajak panjenengan mundur ke belakang. Sejak kapan, ekspresi Islam diterima dengan sangat terbuka di Indonesia? Dulu saja perempuan mau berkerudung sulitnya minta ampun. Foto ijazah harus dilepas kerudungnya. Beberapa perusahaan tidak mau menerima karyawan yang berkerudung. Termasuk universitas. Mahasiswi berjilbab tidak seperti sekarang ini.

Lebih menukik ke persoalan musik, sejak kapan musik bernafaskan Islam menjadi familiar di telinga awam? Terkhusus musik-musik sholawat? Hadad Alwi dan Sulis? Yap bener. Momen mereka diterima industri dan menyita perhatian publik hampir bebarengan dengan musik campur sari. Kurun waktu 90-an menuju reformasi.

Pertanyaan singkat, siapa Hadad Alwi? Dengan siapa beliau bergaul sampai mendapat kucuran hidayah ide membuat komposisi lagu-lagu Islami?

Mungkin pertanyaan sok analisis saya keliru. Mungkin ini pemahaman cekak saya. Tapi mari kita fair play. Bareng-bareng menulusuri alur sejarah musik-musik yang sekarang cukup populis di Indonesia. Bahkan populisnya tidak nanggung. Sampai manca sana. Viewer channel YouTube-nya tak terkira. Populis tentu saja tidak hanya mengacu kepada industrial yang layak jual, namun mengacu juga kepada bahwa musik tersebut disadari atau tidak sudah menjadi denyut jantung masyarakat kita.

Dan jawaban semua itu, ada pada Emha Ainun Nadjib bersama KiaiKanjeng-nya. Seolah ada yang ingin ditawarkan bahwa harus ada upaya-upaya membuat apa yang kita lakukan menjadi abadi, tak lapuk oleh waktu, tak kalah oleh lelah.

Tidak ada salahnya saya dan panjenengan semua menggunakan hak syukur sebanyak-banyaknya. Lewat nasab kepeloporan di bidang musik beliau, bersama grup KiaiKanjeng sekarang kita bisa mengenal bahwa Islam penuh keindahan dengan balutan nada-nada kesyukuran.

Mungkin wajah masa depan musik Indonesia sudah bisa kita temukan di Maiyah. Monggo sinau bareng, ber-Maiyah…

Suwun Cak. Suwun…

Lainnya

Exit mobile version