CakNun.com

Cak Nun dalam Lanskap Sastra dan Sabana Sosial

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 5 menit

Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) dicacah menjadi banyak kategori. Di antara identitas arus utama yang dikenal jamak orang, dimensi personal sebagai seorang sastrawan, mafhum diketahui karena sejumlah aktivitasnya di jagat kesusastraan Indonesia begitu menggeliat.

Cak Nun cukup produktif menulis karya sastra, baik puisi, cerpen, naskah drama, maupun prosa. Tahun 1969 menjadi titik kreatifnya dengan menulis sebiji sajak. Tahun-tahun setelahnya makin produktif setelah bersentuhan dengan Persada Studi Klub (PSK) asuhan Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi.

Prosesnya sebagai penyair menegaskan trajektori Cak Nun di tengah kontestasi kesusastraan nasional. Pijakan demikian pada gilirannya membawa Emha muda diperhitungkan di dalam arena sosial-kemasyarakatan. Titik balik itu diteropong Latief S. Nugraha lewat tesis pascasarjana yang kemudian dibukukan menjadi Sepotong Dunia Emha.

Buku setebal 268 halaman ini diterbitkan Octopus tahun 2018. Bersampul ilustrasi Cak Nun memejamkan mata dan sedekap memakai peci khas Maiyah berwarna merah-putih dengan bubuhan puzzle warna-warni, mengamsalkan Sepotong Dunia Emha menawarkan fragmen rekam jejak Cak Nun dalam pergulatan sosial, kultural, ekonomi, dan simbolik. Latief mendedah preferensi demikian melalui perspektif soiologi sastra Pierre Bourdieu.

Analisis Pierre Bourdieu (1930-2002) yang dipilih Latief meniscayakan eksplorasi kehidupan Cak Nun yang berkelindan dengan arena sosial dan sastra. Dua aspek ini Latief perdalam sampai menemukan strategi, agen, dan perjuangan Cak Nun dalam rangka melegitimasikan posisinya di kancah sastra dan sosial.

Pencapaian khas Cak Nun yang disodorkan Latief diperkuat Aprinus Salam dalam pengantar buku ini yang diberi tajuk Strategi, Legitimasi, dan Kharisma Emha Ainun Nadjib, “…tidak semua sastrawan atau penyair berhasil menduduki posisi legitimatif spesifik dalam struktur arena sastra nasional bahkan lokal” (hlm. xii).

Jejaring pencapaian yang diungkapkan Latief dan dikuatkan Aprinus menandakan betapa buku ini penting bagi sidang pembaca yang hendak mengikuti pergulatan Cak Nun empat dekade terakhir di ranah sastra dan sosial. Pada titimangsa tersebut kiprah Cak Nun bukan sekadar penyair, melainkan juga pekerja sosial yang bergumul pada kaum termarjinalkan, bahkan ikut serta di pucuk politik nasional dengan mengajak Soeharto lengser keprabon.

Latief membagi bukunya ke dalam lima bab pokok. Pertama, Bab I (Lintas Laku) yang mengeksplanasikan dua dunia Cak Nun. Dengan mengumpulkan literatur karya dan tentang Cak Nun ia masuk ke gugusan literasi yang beraneka rupa. Kajian tertulis itu juga didukung dan dikonfirmasikan ke narasumber yang dipilih Latief mempunyai kedekatan personal dengan Cak Nun. Orang-orang itu antara lain Iman Budhi Santoso, Mustofa W. Hasyim, dan Jabrohim. Lateif menulis sebagai berikut.

“Santoso dipilih mengingat kedekatannya dengan Umbu dan PSK, serta peranannya di arena sastra Yogyakarta. Hasyim dipilih karena kedekatannya dengan Emha di arena sastra, posisinya sebagai jurnalis, dan keterlibatannya dalam acara-acara pengajian yang digelar Emha. Sedangkan Jabrohim dipilih mengingat perannya dalam penerbitan buku karya awal Emha” (hlm. 36).

Kedua, Bab II (Kekuasaan Orde Baru dan Keterpusatan Sastra) dipilih Latief karena Cak Nun mengawali proses kepenyairannya ketika Soeharto mulai menarasikan pembangunan berbasis kekuasaan sentralistik yang mutlak. Tampilnya orang nomor satu kelahiran Kemusuk itu sedikit-banyak mempengaruhi atmosfer sastra nasional berikut hegemoni Orde Baru di segala lini.

Pada bab ini Latief menelusuri bagaimana karya sastra diproduksi sebagai respons atas dominasi Orde Baru. Cak Nun, tak terkecuali, berada di lintasan tersebut, bahkan turut mewacanakan keterpusatan sastra di Yogyakarta yang sebetulnya juga merupakan antitesis terhadap kesusastraan Jakarta yang didewakan banyak orang. Secara tegas Latief mencatat, “Geliat sastra tersebut menunjukkan sikap mandiri arena sastra Yogyakarta yang tidak terpengaruh oleh hegemoni sastra di luarnya, termasuk Jakarta” (hlm. 74).

Ketiga, Bab III (Disposisi dalam Arena Sastra dan Sosial) memberi sketsa latar belakang Cak Nun ketika aktif di PSK. Latief menyebut periode ini sebagai “arena pengumpulan modal” karena Cak Nun—bersama penyair muda lain—ditempa di “kawah candradimuka” oleh Umbu yang tiap metode dan laku prosesnya dianggap tak lazim.

Pola didikan inkonvensional ini membekas pada idiosinkrasi (kekhasan) karya-karya Cak Nun yang menurut Latief “memiliki strukur kognitif seorang sastrawan yang masuk pada realitas sosial-religi…Emha sebagai sastrawan telah melahirkan prinsip-prinsip yang membentuk dan mengorganisasikan praktik-praktik serta representasi-representasi di masyarakat” (hlm. 91).

BAB ketiga ditutup Latief dengan menarik benang merah ihwal citra kharisma Cak Nun. Berpijak pada asumsi kepemilikian modal yang dimiliki Cak Nun, berkat ayunan pendulumnya di ruang sastra dan sosial, Latief menyimpulkan dengan negasi: “Sayangnya, dengan modal besar dan kharisma yang dimilikinya, Emha belum kunjung mampu membagikan modal-modalnya” (hlm. 167).

Nada kekecewaan dari kalimat itu didasarkan atas perbandingan kiprah Cak Nun dan Umbu. Latief berargumen bahwa Cak Nun lebih mengutamakan produksi dan reproduksi karya ketimbang pembinaan sebagaimana dilakukan Umbu dan rekannya di PSK.

Lebih jauh Latief menyodorkan segi kuantitas murid Umbu di Yogya dan Bali, sedangkan Cak Nun dikatakan, “Modal yang dimiliki Emha tidak dibagikan maupun diwariskan kepada orang lain di sekelilingnya. Akumulasi modalnya digunakan untuk mengokohkan ketokohannya sendiri dalam sejumlah arena” (hlm. 167).

Bangunan premis yang disampaikan Latief terkesan tergesa-gesa dan ahistoris oleh karena dua hal. Pertama, Latief tak mengungkapkan kiprah Cak Nun bersama Nevi Budianto dan Joko Kamto dengan pertunjukan musik puisinya. Pada tahun 70-an terobosan musikal semacam itu relatif digandrungi banyak orang, terutama di kalangan mahasiswa, karena sarat pesan kritik sosial kepada penguasa. Rekam jejak ini luput diteropong Latief dan kurang menelusurinya dalam konteks modal sosial.

Jika Latief hanya mendasarkan modal sosial dari jumlah pengikut (murid) seperti Umbu sebagai peran yang signifikan, maka seharusnya ia juga adil tatkala meneroka Cak Nun dengan musik puisinya. Sepak terjangnya bersama Nevi dan Joko dalam diskursus musik puisi memang tak mengambil peran untuk mengumpulkan anggota sebanyak-banyaknya, apalagi difungsikan sebagai peneguhan ketokohan sektoral, namun ia mewariskan nilai-nilai puitik—mengekspresikan dimensi imateriel kepada jamak orang.

Keempat, Bab IV (Strategi, Peran Agen, dan Pencapaian) mendedah kehidupan Cak Nun yang telah mendapatkan legitimasi kolektif karena menerima modal sosial, ekonomi, dan kultural, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Menurut konsep Bourdieu yang direlasikan Latief dalam kehidupan Cak Nun, “Emha bergerak pada prinsip heteronom yang memandang seni sebagai arena ekonomis dan politis sehingga ia memiliki dominasi tertentu seperti seni borjuis” (hlm. 172).

Latief mengutip Rahardjo (2006) ketika membentangkan rekam jejak Cak Nun pada kurun waktu 1969-1975. Menurutnya, pada waktu itu, Cak Nun masih berkonsentrasi pada persoalan penulisan sastra, puisi, dan cerpen; sedangkan tahun-tahun setelahnya berubah sebagai “makhluk sosial”—sekalipun ketika berkonversi ke “makhluk sosial” dengan masuk ke wilayah sosial, politik, kultural, dan ekonomi, Cak Nun mempertahankan sastra sebagai cara komunikasi secara praktis.

Selain menyoal kiprah Cak Nun di ranah nasional, Latief melewatkan jejak di lingkup internasional yang sebetulnya sangat relevan bagi konteks arena produksi kultural. Latief hanya menyebutkan kepergian Cak Nun ke luar negeri seperti di Filipina, Amerika Serikat, dan Eropa. Ia tak memperdalam bagaimana dinamika Cak Nun ketika bersemuka dengan publik internasional pada era 80-an itu.

Padahal, keberadaan Cak Nun di tiga wilayah tersebut bukan sebatas vakansi, melainkan berinteraksi selama berbulan-bulan dengan publik luas. Seperti ketika mengadvokasi rakyat kecil di Filipina selatan dan menggelandang di Eropa Timur. Yang terakhir ini Cak Nun mengalami proses pergulatan yang cukup dialektis karena menyaksikan geliat perkembangan sosial, ekomomi, dan politik di negeri Anglo-Saxon. Bukti otentik perjalanannya itu Cak Nun tulis dalam buku berjudul Dari Pojok Sejarah (1985).

Di samping itu, ketika berada di Jerman Timur, Cak Nun bertemu dengan para eksil yang tak berani pulang ke tanah air karena hegemoni Orde Baru. Menurut tuturannya langsung, di negara yang kerap dianggap satelit Uni Soviet itu, Cak Nun juga ikut kursus sosialisme. Kenyataan ini tentu penting diulas lebih mendalam dalam kerangka posisi kultural Cak Nun di arena sosial. Akan tetapi, Latief mengabaikan poin penting ini.

Kekurangjelian Latief juga sampai ke ranah sepak terjang Cak Nun sebagai penengah konflik. Sedikitnya terdapat friksi horizontal yang diadvokasi Cak Nun, yakni perang sampit dan perseturuan Islam-Kristen di Belanda. Di negeri Kincir Angin itu Cak Nun dan KiaiKanjeng diundang khusus oleh Protestantse Kerk Nederland (PKN) atau Persatuan Gereja Protestan Belanda untuk mengusahakan rekonsiliasi karena citra Islam tercoreng akibat film Fitna besutan Geert Wilders.

Bila ranah persinggungan Cak Nun dan rekonsiliasi konflik itu diulas secara mendalam maka, seperti ditandaskan Latief, “Pencapaian posisi sosial Emha semakin langgeng berkat peran agen dalam pertarungan dengan mengakumulasi dan mengelola modal simbolis yang diperolehnya” (hlm. 242). Sayangnya Latief melompati pendalaman khusus pada ranah itu.

Kelima, Bab V (Simpulan) berisi penguatan kembali tesis-tesis yang dibentangkan Latief di bukunya. Ia mengulangi poin-poin penting yang berkaitan dengan arena sastra dan sosial yang dilalui Cak Nun secara deskriptif. Sayangnya penjelasan tersebut absen infografis yang sebetulnya dapat membantu pembaca lebih mudah menangkap bangunan argumentasi yang diajukan Latief. Terlepas dari itu, buku berjudul Sepotong Dunia Emha ini, setidaknya, melengkapi pustaka mengenai Cak Nun dan kiprahnya di jagat sosial dan sastra. Buku ini patut dibaca siapa saja.

Lainnya

Shalat Malam dan Rasa Bersalah

Shalat Malam dan Rasa Bersalah

Sebagai adzab, Covid-19 menghancurkan jasad dan kehidupan, merusak mental dan perekonomian dunia.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version