CakNun.com
Wédang Uwuh (72)

Bisma-Bisma Muda

Kedaulatan Rakyat, 3 April 2018
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Cobalah sesekali pelajari perbedaan orang-orang dalam memahami kebenaran. Koordinatnya, kedalamannya, konteks ruang waktu dan sejarahnya. Tidak sama pemahaman Kresna atas kebenaran dibanding Arjuna sendiri atau Adipati Karno. Juga misalnya Sumantri dengan Sukrosono. Atau apalagi antara Durna dengan Bisma. Bahkan pun sangat beda antara Bagong, Petruk, Gareng dengan Semar sendiri — meskipun beda antara paham kebenaran Lurah Bodronoyo dengan Panembahan Ismoyo adalah perbedaan antara dua namun dalam satu komposisi dan harmoni.

Untuk menguraikan ini harus manusia kelas Doktor. Itu tema besar dan menggiurkan untuk menjadi sebuah disertasi monumental. Sayangnya Gendhon, Beruk dan Pèncèng, apalagi Simbah si Jadul, sama sekali bukan kelas Doktor. Mereka berempat ini percil-percil, sedang Doktor kalibernya katak raksasa, kalau mengacu ke percil.

Beruk malah hobi omong kata “kaliber”. Jadi belok temanya. Ia menceritakan ratusan kali di berbagai kesempatan menggunakan kata “kalibèr”. Tentu saja kebanyakan teman-temannya generasi zaman Now tampak wajahnya tidak begitu mengerti apa maksudnya. Bahkan menurut Beruk, banyak kata, idiom atau istilah lain — misalnya ksatria, keperwiraan, prajurit sejati, kasepuhan, perbawa dan macam-macam lagi — yang mereka tidak tampak tersentuh hatinya atau paham pikirannya.

Kalau disebut ksatria, asosiasi mereka Satria Baja Hitam atau Satrio Piningit yang mereka pernah dengar sekilas-sekilas, atau mereka baca di baliho-baliho. Kalau disebut keperwiraan, ngertinya Perwira Militer atau AKBP Polisi. Perbawa: Prabowo? Prajurit: Babinsa? Koramil. Kasepuhan: Saur Sepuh zaman Old? Bahkan kalau mendengar kata “iman dan taqwa”, yang muncul di benak adalah wajah Ustadz, bukan Allah.

Beruk menjelaskan, asal-usul kata “kalibèr” adalah tingkat daya bunuh senapan dan peluru. Seberapa besar peluru dan lorong laras tempat peluru ditembakkan. Berapa inci atau milimeter. Sekarang sejarah peradaban manusia sudah sampai ke Rudal, peluru raksasa. Detyakala Misil yang hulu ledaknya hanya dimiliki oleh beberapa Negara. Tidak modern-modern amat, karena secara fungsi dan efektivitas sudah digambarkan oleh wacana Cakra, Konta Sudarsana, Nagapasa, Pasopati, atau Kuku Pancasila, eh – Pancanaka.

Itu kaliber segala kaliber. Seorang prajurit petugas bisa sambil ngopi dan merokok menekan remote untuk meluncurkan Rudal, tanpa ia tahu betapa dahsyatnya kerusakan dan kemusnahan yang ditimbulkannya.

Bahkan jauh sebelum era Rudal, pilot pesawat yang menjatuhkan bom di Hirosima dan Nagasaki, juga tidak berani mengimajinasikan bahwa ia telah memusnahkan sebuah peradaban dan sejarah. Di dunia kesenian ada “bobot”: Almarhum Mbah Surip bobot karyanya jangan dibandingkan dengan Rendra, meskipun Presiden SBY bikin konferensi pers untuk meninggalnya Mbah Surip, dan tidak melakukan apa-apa ketika Rendra dipanggil Tuhan. Manusia yang tidak punya bobot dan tidak ber-kaliber besar, cenderung keliru menilai siapa orang lain yang lebih berbobot, bahkan terbalik.

Kita sudah menjadi anak kecil yang semakin sukar membedakan antara fakta dengan khayal. Yang fakta kita khayal-khayalkan, yang khayal kita fakta-faktakan. Kita bermimpi pepanggihan dengan Perdana Menteri Gadjah Mada, berdiri gagah di depan kita, wajahnya bulat tembem, kedua pipinya menonjol, badannya tegap besar melebihi Bima, kemudian kita ceritakan di café dan warkop-warkop, kita kenang seumur hidup tanpa pernah muncul pertanyaan: “Siapa bilang itu Gadjah Mada?”.

Siapa itu di dalam kuburan panjang di Masjid Demak yang katanya Prabu Dharmakusuma, Yudhistira alias Puntadewa? Kalau ada yang menjelaskan, kita bilang khayal. Tapi kalau ada yang bilang khayal, kita bantah berdasarkan fakta makam fisiknya. Bahkan yang dekat saja: Mbah Petruk, Kiai Gringsing, Syekh Jumadil Kubro, tak kunjung dijawab secara Now. Untung subversi aktivisme-nya sekarang giliran Merbabu.

Di zaman Now yang kalibernya ècèk-ècèk, kebanyakan manusia ambisius memilih peran jadi Sengkuni, Dorna, Duryudana, bahkan mantap jadi Dursasana dan tidak malu jadi Durmagati dan Aswatama.

Andaikan ada Resi Bisma, yang mengorbankan diri untuk maksud persatuan dan perdamaian, yang mengerti qadla dan qadar-nya, malah meminta Srikandi agar hadir di Kurusetra, agar cucu kesayangannya itu bisa membunuhnya dengan seribu anak panah yang menancap memenuhi dan menutupi jasadnya.

Andaikan, sekali lagi andaikan ada Bisma, tak seorang pun di zaman Now ini yang percaya. Manusia dari peradaban plintheng tidak punya aplikasi perangkat lunak untuk mengakses fenomena Bisma. Juga tidak punya aplikasi untuk running Begawan, Panembahan, Filosof, Negarawan, Zahid, Sufi, Empu, Undagi. Sedangkan seniman, sastrawan, penyair, teaterawan saja sudah tinggal di lorong-lorong zaman yang remang-remang. Lha wong Punakawan saja disangka Badut.

“Tapi terus terang, Mbah”, kata Beruk dengan suara agak khusus, “Di Yogya ini saya melihat masih ada Bisma-Bisma muda yang sangat kuat ke-Bisma-annya. Disiplin dan menep dengan kawicaksanan nuraninya. Menahan tangan dan kesaktiannya dari melakukan hal-hal yang malah bisa menambah kerusakan. Sangat menjaga paugeran. Bukan hanya paugeran Kraton, tapi juga paugeran kemanusiaan dan ke-ilahi-an”.

Lainnya

Wayang Indonesia

Wayang Indonesia

“Cuma wayang? Cuma bayang-bayang? Lantas yang nyata yang mana? Kamu pikir Indonesia ini nyata?

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Menarik Busur Panah

Menarik Busur Panah

Masih dalam kegembiraannya sepulang dari Borobudur, seperti anak muda, Pèncèng asyik dengan headphone di telinganya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib