Bersyukur “Petik Laut” Bersama Mbah Nun
Sudah hampir jam setengah empat sore ketika acara tengah berlangsung di sebuah lahan terbuka. Suara embusan angin agak menderu, ini memang daerah pantai. Acara “Petik Laut” yang digagas oleh penduduk desa ini yang kebanyakan adalah nelayan merupakan wujud syukur atas hasil laut yang diterima.
Frasa “Petik Laut” cukup menarik perhatian saya. Bunyi-bunyian kata itu terdengar sudah agak modern. Ketika Mbah Nun mempersilakan seorang sesepuh desa menceritakan hal-ihwal desa ini, baru tampaknya menjadi masuk akal. Desa Tambakrejo, Kec. Sumbermanjing Wetan ini memang desa yang berdiri pada tahun 1919 M.
Apa fenomena tahun 1919? Saya temukan sedikit pada Sejarah Statistik Ekonomi. Tahun itu adalah puncak capaian ekonomi Hindia-Belanda. Data-data menunjukkan bahwa tahun itu adalah titik paling gemilang dalam investasi saham yang masuk serta peningkatan produk ekspor keluar (terutama tebu dan kina). Data statistik soal produk olahan hasil laut cukup terbatas, bisa dibilang tidak ada malah. Tapi kalau bisa kita mengira-ngira bahwa daerah pantai tempat berlangsungnya Sinau Bareng kali ini, sepertinya akan cukup terpengaruh dari data-data hasil tani seperti tebu dan padi.
Semua pada titik imbang pada tahun 1919 ini. Hindia-Belanda tidak terlalu terpangaruh dengan Perang Dunia Pertama dan krisis 1912-1914. Sehingga ketika negara-negara Eropa membangun ekonomi kembali pada periode setelahnya, Hindia-Belanda (baca: Nusantara) sudah jadi primadona.
Bicara tebu itu primadonanya Jombang tentu saja. Produk tebu hitam dari Cirebon paling berhasil dikembangkan di Jombang. Saham-saham pengusaha dunia banyak berpusat di sana dan itu juga membuat pemerintah Hindia-Belanda perlu menyalurkan kucuran dana bantuan pinjaman usaha pribumi untuk mengimbangi pengembangan lahan produktif dari saham pengusaha luar, terutama Inggris dan Amerika. Jombang adalah arena pertarungan ekonomi dunia saat itu. Nampaknya daerah Sinau Bareng kali ini tidak begitu jauh dari Jombang dan Malang, mungkin.
Dalam tahun segitu kita tahu, masih banyak lahan kosong yang kemudian ketika investasi saham meningkat, beberapa lahan baru pun dibuka menjadi desa-desa baru. Dulunya, kaum konservatif di parlemen Belanda dan Hindia-Belandalah yang paling menyusahkan investasi saham karena menolak dengan alasan akan terpengaruhnya adat serta budaya pribumi. Mereka yang sangat melindungi beberapa lahan agar tidak dijadikan lahan produktif. Tapi dengan menipisnya suara kaum konservatif, berganti dengan berkuasanya wacana liberal dan keberhasilan ekonomi di awal 1900, saham-saham dari seluruh Eropa dan Amerika sudah masuk tanpa kesulitan.
Tak sulit menarik kesimpulan kenapa bunyi “Petik Laut” tadi saya mendengarnya cukup modern. Oiya sekadar tambahan, sejak 1920 baru kemudian terjadi penurunan daya ekonomi, berpuncak pada krisis ekonomi, jatuhnya harga tebu di pasaran dunia dan krisis dunia tahun 30-an. Kebanyakan kaum pergerakan kita menggunakan masa-masa sulit pada era krisis ini sebagai wajah sulitnya berada dalam penjajahan.
Pembukaan desa tahun 1919 itu diutarakan oleh Pak Darsono, seorang sesepuh yang masih merawat wawasan sejarah desa. Mbah Nun, seperti juga di berbagai wilayah, menggali keistimewaan-keistimewaan setiap daerah yang disambangi. Setiap lokalitas ada ciri khasnya dan dari situ kita belajar.
Ada permintaan dari jamaah agar dilantunkan lagu “Yalal Wathan”, lagu bernada mars ciptaan Mbah Wahab Chasbullah kalau saya tidak salah ingat. Nada mars, nada dewa perang Yunani yang akrabnya dengan dentuman, sorakan, patahan, dan raungan. Tentu ini bukan lagu kebangsaan Maiyah. Juga bukan lagu wajib, lagu sunnah maupun mubah. Ini ya lagu. Dan KiaiKanjeng karena konsep musikalnya adalah melayani, juga sudah siap dengan aransemen yang khas.