Bershalawat dan Merasakan Situasi Perang Suku
Situasinya mencekam. Nyawa menjadi taruhan. Jika ada dua jenis ancaman, yaitu yang berasal dari alam dan manusia, kali ini acaman berbahaya datang dari manusia. Itu sebabnya dua mini bus yang membawa mereka menuju kecamatan lain dikawal masing-masing di dalam bus itu empat Brimob siap senjata laras panjang stand by dengan amunisinya. Dua berada di pintu belakang, dan dua lagi di pintu depan. Ini belum yang berpakaian bukan seragam.
Ancaman terbesar dan rawan adalah ketika mau ke Rasaujaya. Medan perjalanan sangat berat dan ada titik rawan di suatu tanjakan yang semua kendaraan tidak akan mampu berjalan lancar dan hanya merambat seperti orang berjalan. Di situlah diperkirakan akan terjadi ancaman baik dari para garong maupun orang Dayak sendiri yang sedang mencari orang Madura.
Yang menarik adalah mengetahui seperti apa senjata yang digunakan orang-orang Dayak di sana. Ada jenis mandau, tombak, dan panah yang misterius karena bisa mencari sasaran atau target yang harus dibunuh tanpa dikendalikan oleh si pemilik senjata tradisional ini. Kabarnya memang semua itu terjadi dan akurat mengenai sasaran. Mandau, tombak, dan panah itu konon bisa mengendus bau keringat orang-orang Madura sebagai sasarannya sekalipun target itu sedang naik bus umum atau mobil motor pribadi.
Dag dig dug karena ternyata salah satu anggota rombongan mini bus tadi ada yang berdarah separuh Madura separuh Kalimantan. Akankah senjata-senjata itu juga mencium aromanya, ataukah dia tidak masuk kriteria karena hanya berdarah separuh? Tetap saja, sport jantung yang berlangsung sepanjang jalan. Tetapi alhamdulillah, perjalanan aman dan tidak terjadi apapun yang mengancam keselamatan mereka.
Apakah sudah selesai berhenti di situ? Belum. Situasi seram masih menguntit. Pada setiap acara berlangsung di empat tempat itu selalu saja kekuatan ghaib berseliweran sangat terasa seakan hendak mengganggu, entah ada yang menyengaja atau tidak. Sampai-sampai salah satu di antara mereka ada yang terkapar saat main di atas panggung tak ubahnya orang kesurupan. Kemudian hanya tidur pulas, dan tidak merasa sedang di panggung. Cuek saja. Tidur ngglangsar di bawah. Kalau dibangunkan, raut mukanya bingung.
Lho kok bisa seperti itu? Ternyata sederhana. Pada acara sebelumnya, pemain ini diajak berfoto seorang perempuan, ya laiknya orang meminta foto artis lah, biasa saja. Tapi tampaknya lakinya perempuan ini kurang suka. Maka, itulah mungkin semacam diberi peringatan secara halus pada acara berikutnya, sehingga dia sempat kena. Jadinya ya di panggung tidak maksimal. Ini terjadi pada saat acara yang anda-anda semua mungkin pernah lihat fotonya di mana Cak Nun menggendong anak kecil di atas panggung tengah massa yang begitu banyak dan dalam suatu panas-panasnya konflik etnik Dayak-Madura pada 2001 di Kalbar kala itu.
Kejadian kecil itu sekadar satu gambaran lain dari ngerinya kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dalam konflik etnis ini. Bukan hanya senjata fisikal, tapi teknologi dan daya ghaib siap mengejar dan menyasar. Kendatipun demikian, perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng di sana aman dan lancar. Selama rangkaian agenda di Pontianak, Rasaujaya, Mempawah, dan Sanggau itu KiaiKanjeng tinggal dengan aman di rumah transit di sebuah kampung yang berpenghuni orang-orang Jawa.
Tetapi kadang-kadang terpikir, ngapain tho kok ya jauh-jauh mau datang ke sana memasuki zona perang yang mengerikan? Mengapa kok mau berat-berat memenuhi undangan rekan-rekan forum pemuda Kalbar itu dengan membawa maksud mendamaikan dan meresolusi konflik di sana. Berdasarkan pertimbangan apa Cak Nun dan KiaiKanjeng mau datang ke sana? Apa tak memikirkan keselamatan diri kalau umpamanya ada yang salah dari diri mereka dalam berkomunikasi atau membawa diri di hadapan orang-orang yang sedang bertikai di sana?
Sejauh yang mampu beliyau-beliyau bapak-bapak KiaiKanjeng ingat dari perjalanan 17 tahun silam ini adalah nekat bismillah berangkat dengan didasari nawaitu yang insyaAllah baik yaitu ikut andil mendamaikan saudara sendiri yang bertikai dan sangat berdampak horizontal luar biasa kalau tidak segera diredam. Datang ke sana bukan untuk berada di salah satu pihak, tapi berusaha membangun jembatan menuju perdamaian, dengan menjadi saudara bagi semuanya.
Sementara itu, dengan kharisma yang dimilikinya, Cak Nun coba berbicara kepada mereka dengan sejernih mungkin, dan pelan-pelan tapi dapat dirasakan, dengan pesan-pesan yang mengajak mereka untuk waspada terhadap setiap provokasi dan politik adu domba. Mereka diajak bershalawat bersama-sama untuk menenteramkan hati. Langkah yang secara rohaniah turut menurunkan kemungkinan situasi amarah saat itu.
Begitulah, teman-teman, salah satu konteks atau setting yang pernah dihadapi Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam berkeliling bershalawat. Diperjalankan dengan beragam situasi. Kadang berjumpa masyarakat yang relatif baik dan aman, kadang harus bertemu masyarakat yang butuh uluran, kadang diperjalankan untuk menghadapi masyarakat yang sedang bertengkar atau bertikai, dan ragam background lain yang menyertai.
Yogyakarta, 19 Februari 2018