CakNun.com

Bershadaqah Paseduluran dengan Khusyuk

Liputan Sinau Bareng CNKK dan Polres Banyumas, 2 Agustus 2018
Redaksi
Waktu baca ± 3 menit

“Dhewek Paseduluran”, kalimat yang dipilih untuk jadi tema utama Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam nanti.

Kalimat ini, ada kesesuaian nada dengan lelaku paseduluran yang selalu dijalankan di Maiyah, Al Mutahabbina Fillah. Paseduluran yang bukan sekadar berdasarkan hubungan darah, kesamaan golongan atau motivasi kekuasaan dan transaksi keduniaan. Namun paseduluran yang mendunia dan akhirat. Paseduluran sejati.

Tema “persaudaraan” atau paseduluran sudah sangat umum dibahas di mana-mana. Dari kumpulan trah sampai arisan geng motor. Atau kumpulan trah arisan geng motor (aduh) tampaknya ini tema yang selalu diulang terus-menerus. Apa tidak bosan?

Bagi Jamaah Maiyah sendiri, menerapkan paseduluran di setiap sendi kehidupan sudah menjadi kewajaran, sewajar rokok dan kopi beserta nyamikan. Konsep Gupuh, Lungguh dan Suguh bukan jargon belaka. Tapi dilakukan begitu saja. Gupuh menyajikan. Memberikan kenyamanan Lungguh. Memberikan Suguh. Repot? Ya ndak donk, memang bahagia dan sebuah kehormatan menjamu sedulur. Nggo sedulur kok repot?

Tema ini berasal dari ide penyelenggara sendiri, yakni Polres Banyumas. Usai event Pilkada Bupati dan Pilkada Gubernur yang menyisakan bermacam golongan, Polres Banyumas mungkin melihat potensi perpecahan di level akar rumput masyarakat.

Dan kalimat tema “Dhewek Seduluran”, artikulasi lokal mengenai persaudaraan dari masyarakat setempat, inilah yang akan dibabar bersama dan dipandu oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng. Sebenarnya konsep paseduluran, persaudaraan, kemesraan dan beragam variannya, sudah terdapat di berbagai komunitas masyarakat Nusantara, pun juga Banyumasan. Tapi kenapa keresahan akan rusaknya paseduluran selalu muncul terutama belakangan ini? Bukankah itu yang tergambar dari beragam selebrasi akan paseduluran itu? Kita jarang melihat ada perayaan yang memperingati “berhembusnya angin” kan? Kenapa? Bukan karena kita tidak menghargai angin berembus, tapi karena saking wajarnya.

Ini juga bukan berarti kalau ada perayaannya lantas salah. Ya tidak juga. Perandaian saja, yang dilakukan dengan wajar-wajar tanpa terlalu ideologis. Cirinya apa kalau sesuatu sifatnya ideologis? Biasanya sih punya musuh ideologi. Maka itu, persaudaraan juga perlu wajar. Gawat kalau kata “persaudaraan” punya musuh. Berarti dia sudah mengkhianati dirinya sendiri.

Wajar itu, mungkin khusyuk. Maka shalat dengan khusyuk, ndak kecepetan, ndak kelambatan. Yah wajar. Begitu pun ber-Islam, begitu pun me-Nusantara. Yang wajar saja semuanya, ndak dramatis ideologis. Bahwa khusyuk itu artinya wajar, nah itu juga tadabbur awam saja. Awam tapi mencoba menggapai samudera makna, boleh kan? Wajar kan?

Sekarang, di tengah banyaknya paseduluran yang artifisial dan apalagi paseduluran yang menolak kehadiran yang liyan, wacana perdamaian yang menyikut pihak yang dirasa anti keberagaman, atau ke-Nusantara-an yang anti Wahabi dan sebaliknya, lelaku paseduluran tanpa pandang bulu yang lumrah-lumrah-awam-saja di Maiyah tampaknya perlu di shadaqahkan ke berbagai pihak.

“Dhewek Paseduluran” malam hari nanti di Halaman GOR Satria Purwokerto, tentu tidak saja jelata seperti kita yang merindukan paseduluran yang wajar. Bapak Kapolda Jateng sampai Kapolres Banyumas, pun bapak-bapak Dandim dan Danrem 0701 juga merindukan persaudaraan yang wajar semacam ini.

Wajar, sebab kita sedang dikepung ketidakwajaran demi ketidaklumrahan. Ya pilkada itu contohnya, dan pilpres itu puncaknya. Pertikaian tak habis itu hasilnya.

Malam ini, sekitar pukul 20:45 Masehi, maaf, WIB maksudnya, kita siap nyinau bareng, menshadaqahkan dan meresapi paseduluran yang khusyuk, yang wajar. (HN/MZF)

Lainnya

Exit mobile version