Berkeluasan Itu Mainstream
Sebuah hipotesis pernah dilontarkan Mbah Nun: gejala-gejala kesempitan itu tidak akan pernah benar-benar menjadi mainstream. Ibarat ikan, sebenarnya orang tak akan pernah betah dan kerasan menghuni kolam yang sempit. Orang yang sekarang terjangkiti kesempitan nanti akan ngguyu-ngguyu sendiri. Di dasar hatinya, diam-diam mereka kangen pada keluasan.
Seperti Anda tahu, kesempitan yang dimaksud di situ adalah kesempitan berpikir, semisal pandangan keagamaan yang dipegang seseorang dengan disertai sikap menyalah-nyalahkan orang lain yang memiliki pandangan atau praktik berbeda dengannya. Satu contoh, pandangan yang menyalahkan dan menyesatkan beberapa laku tradisi di desa-desa atas nama kemurnian agama dan bla bla bla lainnya.
Hipotesis itu sendiri Mbah Nun sampaikan buat memastikan agar kita atau teman-teman semua tidak terlalu terserap dalam kecemasan berlebihan terhadap gelombang kesempitan itu. Dengan hipotesis itu, Mbah Nun meyakinkan bahwa nanti ada masanya mereka capek berada dalam kesempitan itu sendiri. Sementara itu, energi kita mendingan buat ngerjain yang lain saja.
Yang dikerjakan Mbah Nun ternyata memang yang lain saja itu, yaitu Sinau Bareng. Ternyata pula, pengamatan sederhana menyodorkan gambaran bahwa hipotesis itu makin bergayut atau menemukan sedikit demi sedikit bukti-bukti yang muncul. Saya mau sebut salah satunya adalah Sinau Bareng di Dusun Petis Duduk Sampeyan Gresik belum lama ini, 19 Juli 2018.
Anak-anak muda bergairah yang adalah panitia acara mengenakan baju biru bertuliskan “Putune Buyut Pupon”. Bagi saya, visualitas mencolok tersebut sangat frontal mengatakan bahwa mereka punya hubungan yang baik dengan orang-orang yang sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia dan mereka, yakni leluhur mereka, atau sosok-sosok yang punya pertalian sejarah dengan hidup anak-anak muda itu.
Kesadaran dan ekspresi menyambung diri kepada yang telah tiada itu tampaknya kurang dilirik oleh pandangan keagamaan yang “sempit” tadi. Sampai-sampai suatu ketika alm. Prof. Dawam Rahardjo pernah menyebut dengan gemas dan sedikit geram bahwa cara berpikir mereka itu justru ujud materialisme, karena praktik tradisi merawat ketersambungan dengan leluhur yang sifatnya sebenarnya rohaniah ini mereka tolak. Tidakkah sikap mereka itu cermin dari ideologi materialisme? Alih-alih sebuah kemurnian, yang mereka tawarkan justru materialisme. Dan kita tahu materialisme tidak ada dalam kamus agama.
Baju biru yang para pemuda Dusun Petis kenakan itu dengan terang mengafirmasi hipotesis Mbah Nun bahwa yang sempit-sempit tidak begitu punya kans untuk memainstream, terutama di lapisan masyarakat bawah. Sinau Bareng yang bergilir dan bergulir dari satu tempat ke tempat menyajikan profil sosial masyarakat yang sebenaranya bergerak menuju ke keluasan. Tidak hanya di Gresik tadi, di lain-lain Sinau Bareng kita menjumpai pergerakan fenomena yang sama. Ada tema merti dusun, ada peringatan haul, ada polisi bershalawat, ada parguruan silat ngaji bareng, supporter sepakbola juga ngaji,dan macam-macam yang tak cuma mencerminkan orientasi menuju ke keluasan, tapi kebertalian kepada hal-hal rohaniah.
Lewat Sinau Bareng, orang-orang punya kesempatan buat mencicipi keluasan itu. Mereka bisa berlatih diri membangun jiwa dan pikiran yang luas dan meluas. Dari situ, perombakan-perombakan pelan-pelan berlangsung di diri mereka. Untuk keperluan itu, Mbah Nun sangat sabar, tekun, terampil, dan teliti dalam membimbing berkeluasan ini. Silakan dicatat sendiri-sendiri ragam keberluasan di dalam Sinau Bareng, mulai dari sisi berpikir dan pemikiran, ekspresi budaya, fenomena psikologis dan rohaniahnya, sampai butir-butir yang lebih detail dan rinci.
Tentu saya tak sedang ingin melebih-lebihkan Sinau Bareng. Saya cuma terbayang dan membayangkan bahwa sahabat-sahabatku punya gagasan tentang menyinaoni Sinau Bareng itu sendiri dari berbagai sisi dan dimensi.
Sejenak kita perhatikan, setiap kali Sinau Bareng diselenggarakan, yang datang selalu begitu banyak. Ruang-ruang kadang tak mampu menampung. Sound system pernah tak menjangkau tempat yang tinggi di mana ternyata jamaah ambil tempat di situ karena tak kebagian di area bawah (seperti di Kampus PENS Surabaya 20 Juli 2018 lalu), sehingga harus ditambah beberapa toa buat meneruskan suara dari panggung. Mengalirnya lautan anak muda atau hadirin pada umumnya dengan antusiasme dan intensi yang khas itu terbaca oleh mata saya sebagai dorongan kuat pencarian mereka akan keluasan.
Sepanjang berlangsung Sinau Bareng itu, terasa dari ekspresi setiap hadirin, utamanya anak-anak muda itu bahwa berkeluasan itu enak, menggembirakan, bikin hati lega, dan syaraf-syaraf otak jadi rileks. Kemudian kita rasakan dan kita lihat bahwa sebenarnya keluasan itu telah bergerak perlahan memainstream, menjelma menjadi arus utama, lewat anak-anak muda itu yang telah belajar dan menghirup atmosfer keluasan di Sinau Bareng.
Dan saat saya lihat kembali foto-foto Sinau Bareng itu, foto-foto itu seakan berfatwa: barangsiapa tak luas, dia pasti tak asik. Eh…*
Yogyakarta, 26 Juli 2018