Berkelakar Menuju Keutuhan
Kalau nglihat ekspresi, testimoni, dan gejala yang dapat kita temukan dari mereka yakni para jamaah, khususnya anak-anak muda, yang selalu istiqamah hadir, Sinau Bareng atau Maiyahan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng di berbagai tempat terasa jelas sebagai acara yang sisi-sisinya sangat banyak. Sisi-sisi itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan berkaitan dalam satu rangkaian atau alur, membentuk suatu bulatan atau keutuhan.
Keutuhan itu sendiri barangkali cermin dari diri manusia, dan dari sini kita melihat Sinau Bareng bukanlah penggalan yang biasa disematkan sebagai label pada umumnya acara seperti hiburan, pengajian, diskusi, penampilan, pementasan, atau yang lainnya. Penggalan-penggalan itu bukan berarti tidak ada di dalam menu Sinau Bareng, tetapi semuanya berposisi sebagai bagian-bagian, yang disifati oleh: saling berkaitan, saling memberi konteks. Kalau boleh dibilang, Sinau Bareng ini berupaya menghadirkan sesuatu seproyeksi dengan keutuhan manusia itu sendiri.
Sekurang-sekurangnya, jamaah atau siapaun saja yang hadir berkesempatan mendapatkan satu pengalaman akan kelengkapan diri manusia. Untuk sebagian, ihwal kelengkapan ini bisa dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari kita di mana individu-individu di masa modern lebih terbiasa menjalani hidup dalam pola dan pengorganisasian yang berdasarkan bagian-bagian dan spesialisasi-spesialisasi.
Barangkali itu lumrah saja, tetapi agaknya pola yang demikian itu jangan sampai membuat kita lupa bahwa makhluk bernama manusia ini memiliki banyak dimensi dalam dirinya yang perlu disentuh. Selalu ada kebutuhan untuk kembali kepada pengalaman keutuhan. Sebab, tak ada ada manusia yang benar-benar satu bagian saja. Tak ada yang bisa benar-benar betah dalam kesepenggalan. Pada perspektif ini, Sinau Bareng bisa dipahami sebagai satu ikhtiar menyentuh dan mengingatkan akan kekayaan dimensi manusia.
Apabila dideret secara kualititatif, selanjutnya kita bisa menemukan suasana yang ragam di dalam Sinau Bareng: kekhusyukan, perenungan, berpikir, menganalisis, mengkaji, bergembira, dan bercermin. Juga ada pengalaman menikmati keindahan, kemurnian, persaudaraan, interaksi, ekspresi, sublimasi, keluasan hidup, kesegaran, dan macam-macam lagi sisi-sisi yang bisa kita maupun masing-masing hadirin peroleh.
Kalau dirinci secara lain lagi, kita menemukan di Sinau Bareng ini ya ada dzikir, diskusi, shalawatan, bermusik, workshop, dialog, ngobrol, tanya jawab, ger-geran, dan lain-lain. Temanya pun muncul beragam, seringkali secara spontan: ada politik, kebudayaan, seni, tema-tema praktik kegamaan, ekonomi, sosial, dan lain topik, dan yang diupayakan oleh Sinau Bareng adalah bagaimana kita mampun membangun sudut pandang yang utuh akan semua persoalan yang dibahas atau menjadi concern bersama.
Naluri dan visi akan keutuhan manusia yang melekat pada sosok Cak Nun dengan sendirinya memvibrasi pada bagaimana Sinau Bareng dibawakan dari awal hingga akhir acara. Lewat Sinau Bareng atau Maiyahan ini, anak-anak muda dari berbagai latar belakang itu mencoba belajar melihat dan memahami keluasan dan kelengkapan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.
Dan, dengan tetap mengingat akan keutuhan manusia itu, mereka yang hadir di situ bisa membawa pulang apa saja yang mungkin menjadi persentuhan dengan kebutuhannya secara langsung, serta bisa membagikannya kepada keluarga, teman, atau lingkaran lebih luas.
Demikian pula dengan buku Urusan Laut Jangan Dibawa ke Darat ini. Tim Penerbit Narasi membawa pulang dari Sinau Bareng berupa sejumlah cerita atau kisah yang segar yang muncul di dalam obrolan di panggung Sinau Bareng. Di dalamnya kita akan bertemu dengan Pesawat Tujuan Surabaya, Dilarang Mengeluarkan Anggota Badan, Penghuni Neraka yang Dimasukkan ke dalam Surga, Penjual Buah di Stasiun Kereta Api, dan Menolong Sesama Muslim. Di dalam Sinau Bareng munculnya cerita-cerita itu dirasakan dan disyukuri demi mendukung berjalannya kita kembali menuju manusia yang utuh, lengkap, dan luas.
Datangnya cerita-cerita yang dalam batas tertentu bisa disebut humor atau cerita yang mencontohkan lompatan logika tertentu ini sebagian besar berasal dari Cak Nun tetapi juga ada yang berasal dari narasumber lain yang turut berbagi. Tim Penerbit Narasi dengan tekun memetiknya, menyusunnya kembali, dan kemudian menghadirkannya untuk Anda semua lewat buku ini.
Selamat membaca.