Berkaca Pada Diri dan Zaman
Tiga kali Mbah Nun bertemu dengan jamaah Maiyah Semarang. Dua kalinya saat Mbah Nun menghadiri acara kematian, satu kalinya, malam ini (25/02), saat Mbah Nun mengabarkan kematian. Pada awal bulan Januari lalu, Mbah Nun melayat ke rumahnya Darmanto Jatman. Penyair kondang yang menjadi “kakaknya” semasa menempuh jalur getih sebagai seniman di Malioboro. Dan, pada awal Februari ini, Mbah Nun mengabarkan kematian dan menceritakan proses pemakaman dan kebaikan seorang yang telah menemaninya dalam setiap acara KiaiKanjeng, Pak Ismarwanto.
“Sebelum merespons Pak Ilyas, Pak Saratri, dan judul “Menimba Pada Cermin” saya mohon satu Al-Fatihah untuk Pak Ismarwanto. Beliau adalah empu serulingnya KiaiKanjeng yang sudah 21 tahun bersama Kiai Kanjeng, ” kata Mbah Nun memulai pembicaraan. Mbah Nun lalu memimpin jamaah Maiyah membaca Al-Fatihah untuk Pak Is.
Sebenarnya, pada tanggal 2 Maret nanti KiaiKanjeng dijadwalkan di Padhangmbulan pas Dzikral Ahibba` seri kedua. Dzikral Ahibba` ini artinya adalah mengingat kekasih Allah. “Jadi pada seri kedua nanti kita adakan kecil-kecilan di Padhangmbulan untuk mengenang dan belajar kepada para sesepuh Maiyah yang sudah dipanggil Allah. Ada Pakde Zainuri, Rahmat Mulyono teknisi KiaiKanjeng, Zainul Arifin vokalis utama Kiai Kanjeng. Jebul Pak Ismarwanto melu daftar ke Jombang subuh tadi,” kata Mbah Nun.
Di panggung Mbah Nun tidak sendirian. Ada Pak Ilyas di sebelah kananya, ada Pak Fauzan, takmir masjid Baiturahman di sebelah kirinya. Tidak ketinggalan, ada Gus Aniq dan Pak Saratri. Bisa dianggap pada pertemuan malam ini semacam berkumpulnya keluarga besar Gambang Syafaat. Sebab, kehadiran Mbah Nun di tengah-tengah jamaah Gambang Syafaat menjadi magnet bagi keluarga Gambang Syafaat untuk berkumpul bareng menemani, menyimak, dan mencari berkah dari wejangan Mbah Nun.
Menyoal tema, Mbah Nun mengungkapkan bahwa proporsi hidup kita harus tujuh puluh persen menengok diri kita, tiga puluh persen menengok ke luar. Cermin dalam diri kita itu harus lebih banyak menengok, mengidentifikasi diri kita dulu, dan jangan terlalu sibuk menengok ke luar dan gampang menilai kehidupan orang lain. “Bercermin berarti mencari diri sendiri.”
Tema “Menimba Pada Cermin”, kata Mbah Nun, akan sempit maknanya kalau kita pahami secara linear. Pembahasan kita tidak akan ke mana-mana kalau masih mengartikan cermin itu kaca yang bening yang bisa melihat wajah kita. Pada kesempatan ini kita mengartikan cermin secara luas, tidak linear, dan bertaut kepada hal apapun. Mbah Nun mengajukan satu pertanyaan yang perlu dipahami dan dijawab jamaah. Mbah Nun mengatakan, ”Jika perjalanan Semarang-Jakarta itu hidupmu? Semarang itu apa? Jakarta itu apa?”
Mbah Nun meminta tiga orang jamaah menjawab pertanyaannya. Sebelum tiga jamaah tadi menguraikan jawabannya. Mbah Nun mengingatkan lagi pada empat konsep jalan yang sering dijelaskan dalam beberapa kali pertemuan di Maiyah. Pertama, sabil, kedua syari’, ketiga thariq, dan keempat sirath. Empat hal itu bisa digunakan untuk mencapai perjalanan ke Jakarta. Keempat hal itu bisa membimbing jalan kita agar tidak tersesat, salah jalur, menabrak rambu lalu lintas dalam perjalanan mencapai tempat tujuan.
Tiga penanggap menjabarkan jawabannya mengenai arti Semarang dan Jakarta dan perjalanan dari Semarang ke Jakarta. Tiga-tiganya memiliki cara penyampaian yang berbeda meski isinya sama. Semuanya menganggap seumpama hidupnya adalah perjalanan dari Semarang ke Jakarta, maka Semarang itu dunia dan Jakarta adalah akhirat. Kita tidak bisa mencapai akhirat kalau tidak tinggal di dunia. Dunia dan akhirat menjadi satu bagian yang utuh. Tidak bisa dipecah dan dibedakan.
Melewati separuh malam. Kiai Muzammil tiba di Gambang Syafaat. Kehadiran beliau melengkapi keguyuban silaturahmi sedulur Maiyah Gambang Syafaat dan Jawa Tengah. Menurut Mbah Nun, tiga orang penanggap tadi jawabannya masih empat puluh persen dari yang diharapkan. “Nanti kita minta Pak Muzammil menjelaskan bab dunia akhirat yang ada di Al-Qur`an.”
Kiai Muzammil tidak perlu waktu lama menunggu giliran berbicara. Sudah ada bagian yang disediakan secara khusus oleh Mbah Nun. Kiai Muzammil mengutip salah satu ayat di Al-Qur`an yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi, “Carilah olehmu di dalam apapun yang diberikan Allah padamu dalam kehidupan akhirat dan jangan meninggalkan dunia.” Merujuk pada pengertian ayat itu, Kiai Muzammil mengatakan dunia bukan melulu uang, jabatan, dan wanita cantik. Yang membedakan dunia dan akhirat salah satunya adalah niatnya. Dunia artinya rendah, dekat. Sedangkan akhirat artinya tinggi. Dalam hidup kita yang dipikirkan adalah jangka panjangnya. “Kalau anda mikirnya jangka panjang, jangka pendek pasti terlampaui,” kata Kiai Muzammil. Dan, bisa berarti juga kalau kita memikirkan akhirat pasti dunia terlampaui.
Pengertian dunia dan akhirat, menurut Kiai Muzammil, tidak bisa dibedakan. Jangan sampai berpikir dunia bukan dari bagian akhirat, begitu juga sebaliknya. “Kita mikirnya jangan materialistis,” kata Kiai Muzammil. Lalu Mbah Nun melanjutkan kalau ada yang keliru dalam pemahan kita. Kesalahan itu berupa cara berpikir: “Kalau kesabaran tidak enak, kalau melarat berarti sengsara. Salah kamu, nanti dulu. Kamu dapat uang kamu nikmati secara akhirat. Dan kamu tidak punya uang, kamu nikmati akhirat. Kalau uang dinikmati secara dunia, gampang. Tapi, kalau tidak punya uang, satu-satunya jalan menikmatinya adalah secara akhirat. Jadi kalau kamu punya uang. Kamu nikmati secara dunia bisa, secara akhirat bisa. Dobel. Kalau kamu ndak punya uang, orang yang keduniaan tujuannya. Dia tidak bisa menikmati (kenikmatan) ndak punya uang, kalau dia tidak bertujuan akhirat. Tapi, kalau kamu punya uang tujuannya akhirat, kemelaratan pada momen tertentu itu adalah kenikmatan akhirat. Sudahlah pertimbangan itu akhirat terus. Supaya dunia itu menjadi kamu kuasai.”
Pada 1970-an, dunia terbagi tiga bagian. Pertama, negara dunia pertama. Kedua, negara dunia kedua. Ketiga, negara dunia ketiga. Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa menempati pembagian yang pertama. Cina dan Jepang menempati pembagian kedua. Sedangkan Indonesia dan negara di benua Afrika dan Amerika Latin berada di bagian ketiga.
“Saya ingin katakan kepada anda semua. Sepuluh tahun ke atas. Amerika akan menjadi negara dunia kedua. Eropa akan menjadi negara dunia kedua. Mereka akan turun kelas. Afrika dan Amerika Latin akan tetap menjadi negara dunia ketiga. Tapi, negara Asia Pasifik akan menjadi negara dunia pertama. Indonesia akan menjadi bagian dari supremasi ekonomi dunia. Ning dudu gonmu!,” tegas Mbah Nun.
Perubahan secara besar dan cepat akan menimpa Indonesia dalam jangka waktu sepuluh tahun dari sekarang. Pesan Mbah Nun kepada jamaah: ”Yang Allah kasih kepadamu itu lakukan dengan istiqamah dengan tekun sampai kamu jadi ahli dari bidang yang kamu lakukan itu. Nanti kalau Indonesia sudah menjadi negara dunia pertama kamu adalah pakar, kamu menjadi direktur bagi dirimu sendiri, kamu menjadi konglomerat, atau dibutuhkan konglomerat Tidak apa-apa menjadi konglomerat kalau kamu temukan nikmatnya akhirat di konglomerasi yang kamu jalankan. Temukan bakatmu sekarang.”
Mbah Nun menekankan, berdaulatlah pada diri masing-masing, pada pikiran masing-masing. Kalau kedelai jadilah kedelai. Tidak usah menyaru-nyaru menjadi kacang hanya karena kacang lebih disukai sebagai cemilan. Mbah Nun meminta jamaah menjadi orang yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Menekuninya sampai menjadi ahli. “Berdautlah pada diri sendiri dan tidak usah mengurusi kedaulatan di luar dirimu, ” tegas Mbah Nun di penghujung acara.